Toleransi menjadi perbincangan hangat di Dunia Islam. Namun, pernahkah Anda mendengar isu toleransi ini di dunia Barat? Hampir tidak ada. Kalaupun ada itu tidak sampai mengemuka sebagai isu publik yang besar. Sebaliknya, di Dunia Islam, sedikit saja kasus yang menerpa minoritas, opininya begitu besar bahkan bisa meng-internasional. Aneh, kan? Padahal ada obyek yang sama yang menjadi sasaran dari isu toleransi tersebut. Ada apa?
Standar Ganda
Jika isu toleransi dan sebaliknya intoleransi ini dilihat dari cara pandang yang sama, mungkin tidak terlalu masalah. Namun, fakta menunjukkan, isu ini sangat pro pada cara pandang orang kafir juga Barat yang memiliki landasan ideologi tertentu. Walhasil, ketika konsep toleransi dan intoleransi diterapkan, ada dominasi kepentingan Barat di Dunia Islam.
Secara terminologi, kata ”tolerance” (toleransi) sebagaimana dalam The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language (1996:1320) diartikan dengan menahan perasaan tanpa protes (to endure without protest). Artinya, seseorang tidak berhak protes atas argumen orang lain, meskipun itu adalah gagasan yang salah dalam keyakinan. Inilah toleransi dalam pengertian Barat.
Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasamuh”. Dalam kamus Al-Muhit, Oxford Study Dictionary English-Arabic (2008: 1120) istilah tasamuh memiliki arti tasahul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan.
Dari sisi konsep di atas, perbedaannya sudah sangat jelas. Ketika konsep Barat dipaksakan kepada kaum Muslim, tentu tidak bisa diterima. Menurut Barat, keyakinan dalam bentuk apapun—kendati mengobok-obok agama lain tetapi itu diyakini sebagai sebuah kebenaran—maka harus diterima.
Nah, kalangan liberal menggunakan terminologi ini dalam melihat berbagai persoalan di tengah masyarakat Muslim. Namun demikian, mereka tidak konsisten dengan konsep mereka sendiri untuk ‘tidak/tanpa protes’ terhadap pendapat yang berbeda dari pemikiran/konsep yang mereka bawa. Kaum Muslim dipaksa tunduk pada argumentasi mereka, kendati itu menyalahi konsep mereka sendiri.
Ketika toleransi berbicara pada ‘penghormatan perbedaan’, konsep ini tidak pernah dipakai oleh kalangan liberal. Mereka memaksa pihak lain (baca: Muslim) untuk sama persepsinya dengan pandangan ala Barat. Barat sendiri tak pernah melihat sesuatu—termasuk agama—itu dari benar atau salah. Menurut cara pandang ini, semua agama adalah sama. Mereka menganggap semua agama sedang menuju hakikat yang sama, yaitu “The One”. Inilah yang dikenal kemudian dengan konsep “pluralisme”; semua umat beragama harus menjauhkan perbedaan-perbedaan dan meleburnya menjadi satu keyakinan.
Cara pandang yang stereotif Barat ini membuahkan penilaian negatif terhadap kaum Muslim. Dalam soal kekerasan dan terorisme, misalnya. Kalangan liberal begitu antusiasnya menghakimi kaum Muslim seolah-olah kaum Muslim adalah orang-orang yang tidak memiliki adab dan kasih sayang. Sedikit saja ada aksi kekerasan, opini yang dikembangkan begitu besar. Tidak hanya ditujukan kepada pelaku kekerasan, tetapi langsung diarahkan untuk ‘menembak’ kaum Muslim yang lebih besar.
Namun, mereka membisu jika yang melakukan aksi kekerasan adalah orang-orang non-Muslim. Kasus pembantaian kaum Muslim di Ambon dan Poso oleh orang-orang Kristen tak pernah disorot sama sekali oleh kalangan liberal ini. Mereka seolah membenarkan aksi brutal kelompok Kristen ini.
Aksi-aksi kekerasan massa yang berlangsung belakangan oleh berbagai kelompok masyarakat tak pernah dijadikan argumentasi oleh kelompok liberal ini untuk menjustifikasi perilaku kekerasan oleh kelompok tersebut. Padahal aksi-aksi tersebut telah menciptakan kerugian yang besar di tengah masyarakat. Kalangan liberal seolah enggan atau pura-pura tidak tahu terhadap aksi brutal tersebut.
Demikian pula halnya dalam masalah terorisme. Keberpihakan kelompok liberal ini begitu nyata. Mereka tak mau tahu tentang apa yang terjadi di balik tudingan terorisme yang disematkan oleh aparat keamanan. Mereka langsung saja percaya dan mengopinikan secara lebih luas ihwal tersebut tanpa ada check and recheck.
Sebaliknya, mereka tak mau menyebut kaum Kristen di Papua sebagai teroris kendati mereka hingga kini mengangkat senjata dan telah menewaskan banyak orang. Mereka juga tak mau menyebut Kristen Poso dan Ambon sebagai teroris. Padahal orang-orang Kristen itu telah membunuh ratusan orang dengan keji. Eh, orang-orang Ambon dan Poso yang mempertahankan diri malah mereka sebut teroris. Sebutan itu terus disematkan hingga kini.
Standar ganda kelompok liberal ini pun terlihat dalam masalah kebebasan beragama. Pernahkah Anda melihat pembelaan mereka terhadap kaum Muslim yang dizalimi oleh orang-orang non-Muslim? Bahkan untuk mengucapkan bela sungkawa pun tidak. Namun, lihatlah semangat luar biasa mereka dalam membela orang-orang non-Muslim, meski sebenarnya tidak ada persoalan sebesar yang diderita kaum Muslim dan dalam beberapa kasus sebenarnya justru orang-orang non-Muslim itu yang bermasalah.
Banyak kasus menunjukkan hal itu. Kaum Muslim di Bali dipaksa untuk mengikuti ritual agama Hindu ketika ada Hari Raya Nyepi. Kaum Muslim harus mematikan lampu dan tidak boleh melaksanakan aktivitasnya dengan bebas pada hari itu. Bahkan belakangan, Raja Bali meminta kaum Muslim tidak menyembelih sapi karena binatang tersebut dianggap sebagai dewa. Terhadap kondisi ini, tidak ada kelompok liberal yang protes.
Sebaliknya, ketika kaum Muslim mengumandangkan azan melalui pengeras suara, mereka protes. Padahal suara keras itu ada di wilayah yang mayoritas Muslim. Kaum Muslim diminta menghormati non-Muslim dengan mengecilkan suara panggilan orang shalat tersebut. Tak tanggung-tanggung, tuntutan itu disuarakan oleh Wakil Presiden Boediono di depan muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) beberapa waktu lalu.
Standar ganda yang paling kasat nyata dari kaum liberal adalah dalam pelaksanaan kebebasan beragama. Mereka mengecam peraturan daerah yang dibuat di beberapa daerah yang mengatur warganya menjalankan ketentuan agama dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk belajar baca tulis Alquran, menutup aurat bagi perempuan, larangan minuman keras, pengelolaan zakat dan sedekah, pelarangan pelacuran dan sebagainya. Lho, apa salahnya? Sebab, peraturan itu sebagian besar ditujukan bagi kaum Muslim. Non-Muslim tentu tidak termasuk di dalamnya. Namun, tetap saja kalangan liberal tidak suka akan hal itu. Mereka menentang keras formalisasi syariah karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi. “Hal ini bertentangan dengan Konstitusi dan prinsip negara Indonesia. Konstitusi mengatakan sumber segala hukum adalah Pancasila…. Jika ada UU dan Perda yang mengacu pada agama tertentu meski [agama itu] mayoritas, jelas bertentangan dengan Konstitusi,” kata Bonar Naipospos dari Setara Institute.
Walhasil, kalangan liberal sangat intoleran terhadap implementasi Islam di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Aneh, bukan? Itulah fakta yang tak terbantahkan.
Membantah Argumentasi Liberalis
Kasus Ahmadiyah.
Dalam beberapa kasus, kaum liberal berusaha mengeksploitasi kasus ini sedemikian rupa sehingga memojokkan umat Islam. Mereka menutup mata terhadap fakta dan argumentasi yang ada. Tanpa malu-malu, mereka membela habis-habisan pihak-pihak yang membuat masalah dengan kaum Muslim. Caranya dengan membalik fakta dan menimpakan kesalahan pada kaum Muslim.
Kasus Ahmadiyah bisa menjadi contoh nyata ketidakobyektifan mereka. Selama ini, mereka menutup mata terhadap kekurangajaran Ahmadiyah terhadap umat Islam. Ahmadiyah yang sudah nyata-nyata merusak agama Islam, mereka anggap sebagai kelompok yang teraniaya sehingga harus dibela.
Ketika aksi kekerasan muncul di beberapa daerah, kaum Muslim yang dituding. Padahal fakta menunjukkan, justru orang-orang Ahmadiyahlah yang memicu kekerasan itu muncul. Bahkan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, orang-orang Ahmadiyahlah yang melakukan tindak kekerasan terlebih dulu. Demikian pula kejadian di Kuningan, Jawa Barat.
Hampir di semua pemberitaan media—yang notabene liberal—Ahmadiyah diposisikan sebagai korban. Jarang sekali, mungkin tidak ada, yang menempatkan Ahmadiyah sebagai biang kerok aksi kekerasan tersebut. Narasumber dari berita-berita itu—yang juga liberal—bersikap sama. Ahmadiyah dianggap korban dari ketidaktoleransian kaum Muslim.
Padahal tidak ada asap kalau tidak ada api. Logika sederhananya, tidak mungkin kaum Muslim bertindak jika tidak ada pemicunya. Pemicu tersebut sangat jelas yakni tindakan Ahmadiyah yang merusak akidah umat Islam. Mereka bukannya sadar ketika kaum Muslim mengingatkannya. Sebaliknya, mereka justru tak peduli dan terus-menerus melaksanakan aktivitas dakwahnya dengan mengabaikan aturan negara.
Jemaat Ahmadiyah bahkan sama sekali tak mengubah prinsip-prinsipnya. Berbagai pengakuan di luar tidak disertai adanya perubahan pemahaman secara internal. Mereka tetap saja mengobok-obok agama Islam. Ini pun sudah dibuktikan dengan nyata oleh Pemerintah.
Sesungguhnya, kaum Muslim cukup toleran terhadap adanya perbedaan jika perbedaan itu merupakan suatu yang dimungkinkan dan dibolehkan. Masalahnya, prinsip-prinsip Ahmadiyah itu bukan lagi sebuah perbedaan, tetapi itu sebuah penyimpangan karena menyangkut hal yang paling prinsip dalam Islam, yakni mengenai Nabi dan kitab suci.
Dalam konteks inilah seharusnya kasus kejahatan Ahmadiyah didudukkan. Ini bukan sekadar adanya diskriminasi dari kaum Muslim yang mayoritas terhadap minoritas Ahmadiyah. Justru Ahmadiyah yang memicu konflik di tengah kaum Muslim. Andai saja Ahmadiyah mengaku bukan Islam, habis perkara. Masalahnya, mereka tidak pernah mengaku di luar Islam meskipun akidahnya bukan Islam.
Di sini terlihat, Ahmadiyah adalah subyek dari kasus kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Ahmadiyah adalah penyebab. Ini yang ditutup-tutupi oleh kaum liberal. Apakah sikap seperti ini disebut toleran? Justru Ahmadiyah adalah kelompok sesat yang tidak toleran terhadap agama Islam. Mereka memaksakan pemahamannya agar bisa diterima oleh kaum Muslim.
Kasus Pembangunan Rumah Ibadah.
Kasus lain yang menunjukkan adanya standar ganda kaum liberal adalah dalam hal pembangunan rumah/tempat ibadah. Mereka memainkan opini sedemikian rupa sehingga muncul kesimpulan bahwa kaum Muslim itu tidak toleran terhadap agama lain.
Kasus pembangunan gereja liar dan ilegal merupakan contoh yang nyata. Dalam beberapa waktu belakangan, pembangunan gereja liar memang digugat oleh kaum Muslim. Soalnya, pembangunan itu menyalahi ketentuan negara.
Orang-orang Kristen memaksakan diri membangun gereja di tengah komunitas Muslim tanpa memenuhi persyaratan. Kalau ada persyaratan yang disertakan, terbukti kemudian itu adalah tindak penipuan. Beberapa persetujuan yang dilampirkan terbukti palsu. Itulah yang menyebabkan penolakan masyarakat muncul.
Bila ditengok lebih jeli, kaum liberal menggeneralisasi persoalan. Mereka tidak membedakan kebolehan beribadah dengan pembangunan gereja. Seolah-olah tindakan masyarakat menolak pembangunan gereja yang tidak memenuhi syarat sebagai cerminan dari sikap menentang ibadah agama lain.
Fakta menunjukkan, kaum Muslim sangat toleran dengan agama lain. Soalnya, Islam sendiri melarang umatnya memaksakan keyakinan/agama kepada orang lain. Bahkan dalam pandangan Islam, orang yang tidak mau beragama pun tidak bisa dipaksa memeluk Islam. Di sinilah toleransi luar biasa kaum Muslim.
Bila menengok ke belakang, justru pembangunan gereja jauh lebih meningkat dibandingkan dengan pembangunan masjid. Data yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia pun membantah data intoleransi mereka. Pertumbuhan rumah ibadah dari 1977-2004 terjadi peningkatan. Gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah (naik 131,38 persen); gereja Katolik dari 4.939 menjadi 12.473 (naik 152,8 persen); pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25 persen); dan vihara Budha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen). Bandingkan dengan masjid yang hanya bertambah 64 persen dari 392.044 menjadi 643.843. Melihat data tersebut, toleransi seperti apalagi yang diharapkan dari kaum Muslim?
Sebaliknya, jika mau jujur, justru nasib mengenaskan diderita oleh kaum Muslim minoritas di tengah mayoritas non-Muslim. Mereka tak bisa membangun rumah ibadah baru meskipun sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh negara. Kasus di Jayapura, Papua dan Kupang, Nusa Tenggara Timur bisa menjadi contoh fakta tersebut.
Orang-orang non-Muslim menentang pembangunan masjid tanpa argumentasi. Pokoknya tidak boleh. Dalam kondisi seperti ini, kalangan liberal tak sedikitpun berkoar bahwa ada sikap intoleransi di kalangan non-Muslim. Mereka diam seribu bahasa.
Sudutkan Islam
Wajar jika kemudian bisa disimpulkan suara-suara kaum liberal tentang toleransi itu ada kepentingannya. Mereka tidak netral. Mereka memiliki tujuan untuk menyudutkan Islam.
Memang, cara yang mereka lakukan dibungkus dengan jargon-jargon universal yang begitu manis, tetapi fakta di lapangan tak terbantahkan. Kaum liberal sangat tidak toleran terhadap aktivitas kaum Muslim, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Mereka tidak ingin kaum Muslim hidup dengan Islam, karena itu berarti mengubur peradaban Barat yang sedang mereka bangun. Mereka hanya toleran terhadap kaum Muslim yang mau hidup dengan peradaban Barat, yakni melepaskan Islam dari kehidupan.[ Mujiyanto; Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia]