Survei sebagai sebuah teknik statistika dapat dianggap sebagai pisau yang bermata dua: berguna untuk mengetahui opini publik, namun juga dapat digunakan untuk membangun opini publik. Secara sains, pada dasarnya teknik survei dirancang untuk mengetahui opini publik, bukan untuk membangun opini publik. Faktanya, berbagai lembaga saat ini sering menggunakan survei sebagai kamuflase sains, karena yang dituju bukan mengetahui opini publik, melainkan membangun atau mempengaruhi opini publik. Survei sekadar digunakan sebagai stempel legalitas keilmiahan sikap dan pemikiran mereka yang ingin dijadikan opini di tengah-tengah masyarakat.
Kamuflase survei seperti itulah yang kini sering digunakan oleh LSM liberal untuk membangun opini publik terkait isu-isu Islam dan umat Muslim. Ide sekularisme dan liberalisme yang dijajakan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) terbukti tidak laku. Mereka lalu beralih menjajakan opini sekularisme dan liberalisme dengan topeng baru: survei.
Survei semacam itu misalnya adalah survei yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Community yang mengukur tingkat intoleransi masyarakat terhadap keberagaman. Hasil survei tersebut telah dirilis melalui jumpa pers di kantor LSI pada 21 Oktober 2012 lalu. Menurut hasil survei tersebut, telah terjadi peningkatan intoleransi masyarakat terhadap keberagaman bahkan sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, 30 November 2010, Setara Institute juga merilis survei opini seputar intoleransi sosial masyarakat perkotaan. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa kecenderungan intoleransi warga di wilayah Jabodetabek sangat tinggi.
Survei LSM liberal ini perlu dicermati, baik dari aspek metodologi survei maupun dari aspek konsep dan standar kebenaran yang mereka gunakan. Tidak tertutup kemungkinan survei serupa akan terus dilakukan secara periodik untuk mempropagandakan sekularisme dan liberalisme sekaligus membangun opini negatif terhadap Islam.
Pertanyaan Manipulatif
Secara metodologi, validitas survei dinilai dari keobyektifan pemilihan responden melalui proses pengacakan (randomized) serta pertanyaan yang digunakan untuk mengukur sikap atau opini seseorang. Untuk sekadar memenuhi syarat metodologi tersebut, LSM liberal selalu memaparkan konsep teknik survei yang mereka lakukan. Misalnya, pada survei LSI di atas disebutkan bahwa survei tersebut dilakukan melalui metode multistage random sampling yang meliputi semua provinsi di seluruh Indonesia dengan 1.200 responden dan margin of error sebesar plus minus 2.9 persen. Survei Setara Institute menggunakan metode systematic sampling dengan 1.200 responden di wilayah Jabodetabek dengan margin of error sebesar plus minus 2.2 persen.
Sering publik menganggap bahwa apabila telah disebutkan informasi seperti di atas maka survei tersebut sudah bisa diterima hasilnya secara ilmiah. Padahal informasi tersebut baru di permukaan, belum masuk pada beberapa hal yang lebih krusial dalam survei. Artinya, banyak celah dalam survei yang bisa digunakan untuk ‘menyiasati’ agar hasil survei mengarah pada kesimpulan yang diinginkan oleh lembaga survei.
Salah satunya adalah dengan cara merancang pertanyaan yang bisa mengarahkan responden pada kesimpulan yang diinginkan oleh lembaga survei. Akibatnya, siapapun respondennya akan cenderung memilih jawaban tertentu apabila diajukan pertanyaan tersebut. Pertanyaan berbau manipulatif seperti ini dalam survei sering disebut sebagai directed questions atau pertanyaan yang diarahkan. Teknik directed questions inilah yang tampaknya digunakan dalam survei LSI untuk mengarahkan jawaban. Misalnya terkait intoleransi, LSI merilis:
Sikap intoleransi terhadap perbedaan identitas oleh publik Indonesia mulai mengkhawatir-kan. Sebanyak 15-80% publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampi-ngan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Sebesar 41.8 % publik Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Syiah. Sebesar 46.6% publik Indonesia merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah. Sebesar 80.6% publik Indonesia yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang yang memiliki hubungan sesama jenis/homoseks. (Lensaindonesia.com, 22/10/2012).
Perhatikan pilihan pertanyaan yang digunakan adalah ‘nyaman’ atau ‘tidak nyaman’ hidup bertetangga dengan Syiah, Ahmadiyah, dan pelaku homoseks. Tanpa survei pun, sebenarnya jawaban sudah bisa ditebak: akan banyak yang menjawab ‘tidak nyaman’. Pasalnya, secara manusiawi seorang Muslim akan merasa tidak nyaman hidup bertetangga dengan Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, padahal dalam akidah Islam tidak ada nabi lagi setelah Rasulullah Muhammad saw. Seorang Muslim juga akan merasa tidak nyaman hidup bertetangga dengan pelaku homoseks karena hal tersebut merupakan kemaksiatan besar dalam Islam.
Perasaan tidak nyaman terhadap tetangga yang berbeda pemikiran dan perilaku seperti itu merupakan hal yang wajar, siapapun orangnya akan cenderung menjawab tidak nyaman terhadap hal semacam itu. Misalnya, seorang pengurus parpol akan merasa lebih nyaman bertetangga dengan simpatisan satu parpol dibandingkan dengan yang berbeda parpol, seorang pencinta burung yang banyak memelihara burung di rumahnya akan merasa tidak nyaman bertetangga dengan seorang pencinta kucing yang juga banyak memelihara kucing di rumahnya, dan sebagainya.
Jadi, pertanyaan tentang ketidaknyamanan seperti itu sebenarnya bias karena jawabannya sudah bisa diprediksi secara pasti sehingga survei tersebut tidak layak digunakan sebagai alat ukur opini responden. Namun, itulah yang digunakan oleh LSM liberal, karena yang menjadi fokus perhatian mereka bukan keobyektifan survei itu sendiri, melainkan opini publik yang ingin mereka propagandakan dengan cara menjebak responden melalui directed questions.
Contoh lain terkait obyek yang ditanyakan. Pada survei LSI, obyek tersebut adalah Syiah, Ahmadiyah, dan homoseksual. Lalu pada survei Setara Institute adalah hukum sekular versus syariah dan demokrasi versus Khilafah. Semua obyek tersebut berkaitan dengan Islam sehingga bisa dikatakan bahwa sejak awal memang kedua survei tersebut dirancang untuk menghantam umat Islam.
Pemaksaan Standar
Ciri khas survei yang digunakan untuk mempengaruhi opini publik adalah adanya standar penilaian yang bersifat stereotif dan diskriminatif. Menanggapi hasil survei LSI yang menyatakan 46.6 persen publik merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah dan 80.6 persen publik yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan pelaku homoseksual, para aktivis LSM liberal memberikan penilaian secara stereotif. Misal, peneliti dari Yayasan Denny JA dan LSI Community, Novriantony Kahar, mengatakan, “Ini adalah kabar buruk bagi Indonesia. Ini menandakan bahwa secara politik Indonesia sangat bebas, tapi sebenarnya secara sosio kultural Indonesia mengandung berbagai persoalan. Kekerasan-kekerasan komunal dan kekerasan berbasis agama, etnik, gender dan sebagainya masih terjadi di Indonesia yang sudah 14 tahun mengalami reformasi.”
Aktivis anti diskriminasi Guntur Romli kepada VOA juga mengatakan, “Negara tidak hanya telah membiarkan berlangsungnya sejumlah kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia, tetapi dalam banyak kasus negara juga terlibat dalam melakukan kekerasan itu.” (Voaindonesia.com, 22/10/12).
Hal serupa juga terjadi pada survei Setara Institute. Ketika hasil survei mereka menunjukkan bahwa 78.8 persen responden tidak setuju kalau ada anggota keluarganya yang berpindah agama, maka mereka menilai bahwa hal itu menunjukkan sikap intoleransi. Pada laporan yang dirilis, mereka berkomentar, “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.” (Setara-institute.org, 30/11/10).
Perhatikan penilaian stereotipe mereka. LSI menyatakan sebagai kabar buruk ketika umat Muslim merasa tidak nyaman bertetangga dengan Ahmadiyah dan juga dengan pelaku homoseksual. Lalu Setara Institute menyebut sikap tidak toleran ketika seseorang tidak setuju ada anggota keluarganya yang pindah agama. Penilaian sebagai ‘kabar buruk’ dan ‘tidak toleran’ itu 100 persen standar liberalisme yang mereka paksakan untuk menilai sikap Muslim. Karena itu, apapun yang dilakukan seorang Muslim dalam rangka menjalankan syariah Islam tentu akan dinilai buruk oleh mereka. Tentu saja, yang baik dalam standar liberalisme adalah semakin menjauhnya seorang Muslim dari aturan Islam, khususnya menyangkut hubungan di area publik, masyarakat, dan negara.
Kita umat Islam bisa memberikan penilaian yang berbeda terhadap hasil survei tersebut. Perasaan seorang Muslim yang tidak nyaman bertetangga dengan Ahmadiyah atau homoseksual justru menunjukkan bahwa Muslim tersebut semakin baik pemahamannya terhadap akidah dan syariah Islam. Hal itu ditunjukkan oleh sikapnya yang tidak nyaman bertetangga dengan orang yang menodai akidah Islam, yakni Ahmadiyah, serta sikap ketidaknyamanannya bertetangga dengan pelaku maksiat besar, yakni homoseksual. Demikian juga dengan hasil survei Setara Institute, seorang Muslim yang tidak setuju apabila ada anggota keluarganya yang pindah agama justru menunjukkan adanya kekuatan akidah umat serta keseriusannya dalam beragama.
Pengelabuan Opini
Hasrat LSM liberal untuk mempengaruhi opini publik juga dilakukan dengan cara memutar balik hasil survei. Misalnya, jawaban yang prosentasenya tinggi diabaikan karena tidak sesuai dengan opini mereka, sedangkan jawaban yang prosentasenya rendah justru ditonjolkan karena dapat mendukung apa yang ingin mereka opinikan. Teknik pengelabuan seperti inilah yang dipakai dalam survei LSI dan Setara Institute. Pada survei LSI tingkat persetujuan terhadap penggunaan kekerasan sebagai salah satu cara dalam menegakkan prinsip agama adalah sebesar 24.0 persen. Menanggapi hasil survei ini, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menyatakan, “Kondisi semakin memprihatin-kan karena sikap intoleransi itu juga disertai dengan kekerasan. Hasil riset ini bisa dijadikan peringatan bagi pengambil kebijakan” (VIVAnews, viva.co.id, 21/10/12).
Penarikan kesimpulan bahwa sikap intoleransi itu disertai kekerasan terlihat sangat dipaksakan. Pada survei ini responden yang setuju dengan penggunaan kekerasan adalah 24.0 persen, artinya 76.0 persen responden tidak setuju dengan penggunaan kekerasan. Karena itu, kesimpulan yang obyektif semestinya adalah sebagian besar responden, 76.0 persen, tidak setuju dengan penggunaan kekerasan. Namun sifat obyektif seperti itu mereka tinggalkan, mungkin karena tidak sesuai dengan tujuan mereka yang memang ingin mengaitkan antara intoleransi dengan tindak kekerasan.
Pada survei Setara Institute, responden yang menginginkan syariah Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara dan setuju penegakan Khilafah cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 35.3 persen dan 34.6 persen. Namun, hasil ini tidak ditonjolkan bahkan cenderung dikesampingkan dalam laporan hasil survei Setara, karena menurut mereka prosentase yang menolak syariah dan tidak setuju Khilafah lebih tinggi. Coba perhatikan, 24.0 persen (setuju penggunaan kekerasan) sebenarnya jauh lebih kecil daripada 35.3 persen (setuju syariah Islam). Namun, penggunaan kekerasan ditonjolkan oleh LSI, sedangkan persetujuan terhadap syariah Islam dikesampingkan oleh Setara. Survei ini dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, namun memiliki metode yang konsisten yakni tidak obyektif dan cenderung manipulatif.
Walhasil, survei-survei yang dilakukan oleh LSM liberal tersebut pada dasarnya bukanlah survei yang berbasis pada sains secara obyektif, tetapi lebih tepat disebut sebagai propaganda sekularisme dan liberalisme dengan kamuflase survei.
Saat ini benturan Islam dengan sekularisme dan liberalisme berada pada skala global sehingga apa yang dilakukan oleh LSM di atas tidak dapat dipisahkan dari benturan global tersebut. Jadi, wajar USAID mendukung survei Setara Institute dan VOA Indonesia mendukung mempublikasikan hasil survei LSI Community pada situs resminya. Perlu juga dicatat bahwa bersembunyi di balik survei untuk ‘menjual’ liberalisme dan ‘memukul’ Islam dengan cara-cara yang menipu pada dasarnya tidak lebih dari bukti kekalahan sekularisme dan liberalisme secara intelektual. WalLahu a’lam. [Dr. Ir. Kusman Sadik; Dosen Pascasarjana Departemen Statistika IPB, Bogor]
Harusnya tukang2 survey liberal, aktifis2 LSM itu disurvey juga, jangan2 tingkat keberagamaan mereka sudah mengkhawatirkan, lebih cenderung atheis komunis, pembenci risalah wahyu dari langit.