Jejak UU Migas No. 22 Tahun 2001 diundangkan, liberalisasi migas di Indonesia berjalan kokoh. Menurut BP Migas ada 29 blok dari 72 Minyak dan Gas (Migas) di Tanah Air yang akan habis masa kontrak hingga 2021 mendatang. Beberapa wilayah eksploitasi yang akan habis masa kontraknya itu antara lain blok Siak (Riau) dengan operator Chevron Pacific Indonesia yang habis tahun 2013; Blok Offshore Mahakam (Kalimantan Timur) dengan operator Total E&P Indonesia yang masa kontraknya berakhir pada 2017, serta Blok Sanga-sanga (Kaltim) dengan kontraktor VICO dan Blok Southeast Sumatera yang dikelola CNOOC pada 2018. Ada pula Blok Bula (Maluku) dengan operator Kalrez yang akan habis pada 2019, Blok South Jambi B yang dikelola Conoco Phillips pada 2020, dan Blok Muriah (Jawa Tengah) yang dikelola Petronas pada tahun 2021. Pemerintah selama ini selalu berpihak kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing sehingga banyak menimbulkan reaksi dari masyarakat. Pada tahun 2012 ini ada 3 kasus yang menjadi perhatian publik akibat kebijakan Pemerintah yang pro asing, di antaranya Kasus Blok Siak di Riau yang akhirnya diminta dikelola oleh BUMD, Kasus Blok Tangguh di Papua yang ditukar dengan “Gelar Kstaria Salib” dan yang paling heboh kasus Blok Mahakam sampai menimbulkan reaksi “Disintegrasi” dari masyarakat Kalimantan Timur untuk memisahkan diri dari Indonesia jika Blok Mahakam tetap diberikan kepada asing.
Potensi Pendapatan dari Siak Block
Siak Block terdiri dari dua lapangan utama, yaitu Lindai Field dan sebagian Batang Field. Produksi Lindai Field sekitar 1.300 barrel of oil per day (bopd) dengan peluang peningkatan melalui penambahan sumur sisipan dan aplikasi teknologi waterflood. Adapun Batang Field yang 65% dalam konsesi Siak Block, memproduksi sekitar 1.200 bopd minyak kental/berat, dan dapat ditingkatkan dengan teknologi pemanasan minyak di dalam reservoir, penambahan jumlah sumur, dan merapatkan spacing (jarak pengurasan antar sumur). Jika dirata-ratakan, produksi Siak Block sekitar 2 ribu bopd. Dibandingkan dengan Blok Langgak dengan produksi sekitar 600 bopd, Siak Block adalah ladang tua yang masih menawan di mata investor. Walaupun produksinya tidak besar, Siak Block tetap menjanjikan pendapatan bagus untuk Riau. Dengan asumsi produksi rata-rata 2.000 bopd, maka merujuk metode penghitungan Rafiq Imtihan (2010), Riau berpeluang meraih keuntungan sekitar US$ 4,06 juta dari Siak Block atau sekitar Rp 37,5 Miliar pertahun dengan asumsi US$ 1=Rp. 9.250. Dasar perhitungan dan asumsi yang digunakan adalah: harga Sumatra Light Crude (SLC) yang dihasilkan Siak Block sama dengan harga rata-rata SLC enam tahun terakhir (2005-2010) yaitu US$ 77,3 perbarel, biaya pokok produksi (BPP) diasumsikan US$ 15 perbarel, bagi hasil 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk kontraktor, dan corporate and deviden tax sebesar 40,5%. Melihat tren harga minyak yang terus naik dan masih terbukanya peluang meningkatkan produksi, keuntungan berpotensi naik pada masa depan.
Potensi dan Produksi Blok Mahakam
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh BP Migas, saat ini rata-rata produksinya sekitar 2.000 juta kaki kubik perhari (MMSCFD) atau sekitar 344.000 barel oil equivalen (boe) perhari. Cadangan yang terkandung di blok ini sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf). Dari 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, menghasilkan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar.
Produksi harian dari blok ini mencapai 2,5 bcf (billiun cubic feet) perhari. Sebanyak 80 persen kebutuhan kilang LNG Bontang berasal dari blok ini. Sebagian besar dari LNG tersebut kemudian diekspor ke Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Selain itu, blok ini juga memproduksi 92 ribu barel minyak dan kondensat pada tahun 2011 (platt.com).
Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik. Jika diasumsikan rata-rata harganya US$ 15/MMBtu, maka dari cadangan ini berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari US$ 187 milyar (12,5 x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1.700 triliun. Penghasilan dari satu blok saja diperkirakan sekitar Rp. 1700 triliun. Padahal saat ini ada 79 blok migas? seharusnya ini menjadikan sumber utama bagi pemasukan APBN sehingga bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya!
Potensi dan Produksi Blok Tangguh
Blok Tangguh merupakan ladang gas terbesar di dunia. Menurut Hasil sertifikasi DeGolyer and MacNaughton pada tahun 1998 potensinya menunjukkan angka sebesar 14,4 Triliun kaki kubik (tcf) sebagai cadangan gas terbukti. Sumberdaya gas Tangguh tersimpan pada tiga blok gas yang akan dieksploitasi sesuai KKS Wiriagar, Berau dan Muturi. Ketiga blok gas tersebut berlokasi di Teluk Bintuni, Papua Barat. Gas diproduksi dari 2 anjungan lepas pantai tak berawak, disalurkan melalui pipa sepanjang 22 km ke dua kilang pencair gas, yang masing-masing mempunyai kapasitas 3,8 juta ton gas pertahun. Seluruh kontraktor proyek gas Tangguh adalah perusahaan asing yang terdiri dari BP (nilai saham 37,16%), CNOOC (16,99%), Mitsubishi & Inpex Berau BV (16,3), Nippon Oil Exploration Ltd (12,23%), KG Berau/KG Wiriangar (10%) dan LNG Japan (7,3%). Berdasarkan kontrak dengan para pembeli gas potensial, kilang Tangguh pertama kali direncanakan berkapasitas 7,6 juta ton pertahun, yang akan diekspor terutama ke Amerika, Jepang dan Korea. Distribusi produksi gas 7,6 juta ton pertahun ini masing-masing adalah 3,7 juta ton ke Sempra, California, Amerika (selama 20 tahun), 0,55 juta ton ke K-Power, Korea (20 tahun), 0,55 juta ton ke Posco, Korea (20 tahun) dan 2,6 juta ton ke JCC Fujian, China (25 tahun).
Potensi gas dari Blok Tangguh yang sebesar 14,4 tcf itu dapat menghasilkan ribuan triliun rupiah, dengan asumsi harga rata-rata minyak selama 20 tahun ekplorasi adalah US$ 80/barel, cost recovery sebesar 35%, 1 boe = 5.487 cf dan nilai kurs US$/Rp adalah 10.200, maka dari simulasi perhitungan yang dilakukan diperoleh potensi pendapatan total gas Tangguh adalah sekitar US$ 210 miliar atau sekitar Rp 2.142 triliun (Marwan Batubara, Eramuslim .com).
Pengelolaan Migas Pro Kapitalis Global
Pemberian izin kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing atas tambang yang baru atau perpanjangan kontrak bagi yang sudah berjalan seperti kasus Blok Mahakam, Blok Tangguh yang diberikan kepada British Petrolem, tambang emas di Irian Jaya yang diberikan kepada PT Freeport Amerika Serikat dan ribuan kontrak karya lainnya, selalu bermuara pada dua alasan klasik yang dikemukakan Pemerintah: ketidakmampuan Pertamina dan BUMN lainnya dari sisi teknologi dan ketidakmampuan dari sisi permodalan. Padahal fakta membuktikan, kedua masalah tersebut bukan masalah utama bagi Pertamina. Dari sisi teknologi Pertamina dan BUMN lainnya sudah mampu melakukan ekplorasi migas baik onshore (darat), offshare (lepas pantai) maupun laut dalam (deep water). Begitu juga dari sisi permodalan. Seandainya Pemerintah atau Pertamina tidak memiliki dana, sebenarnya banyak lembaga keuangan atau perbankan yang bisa menjamin kucuran kredit jika Pertamina memiliki underlying asset (jaminan). Apalagi jika hal ini didukung oleh jaminan Pemerintah melalui pemilikan cadangan nasional migas oleh Pertamina sebagai BUMN seperti halnya negara lain, misalnya Venezuela atau Malaysia melalui Petronasnya.
BP Migas Bubar, Kedaulatan Migas Pulih?
Di tengah hujatan dan keprihatian atas kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan sumberdaya alam (SDA) khususnya migas, Mahkamah Konsistusi memberikan angin segar dengan mengabulkan gugatan ormas Islam dan beberapa tokoh terhadap keberadaan UU Migas dan BP Migas. Dampak dari pembatalan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU Migas ini dan menjadi sandaran keberadaan BP Migas seperti Pasal 1 angka 23 dan pasal lainnya adalah pembubaran BP Migas. Sebagian kalangan menganggap pembubaran BP Migas bisa mengembalikan kedaulatan negara atas migas. Benarkah?
Esensi Liberalisasi Migas
Esensi liberalisasi migas sebenarnya bukan pada keberadaan lembaga seperti BP Migas. Esensi Liberalisasi migas terletak pada Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta . Kata dapat pada pasal 9 ayat 1 inilah yang menyebabkan Posisi BUMN kedudukannnya sama dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Dengan Penyamaan kedudukan ini, membuat BUMN kehilangan keistimewaannya dalam pengelolaan migas yang semestinya memang diberikan oleh konstitusi sebagai tangan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selanjutnya bila BUMN migas hendak mengelola sebuah blok migas, maka ia harus ikut tender bersama BUMS lainnya. Hasilnya memang luar biasa: hampir 90% sumber minyak kita dikuasai oleh swasta baik lokal maupun asing. Bahkan untuk anggaran tahun ini menurut menteri BUMN, Dahlan Iskan, kontraktor asing masih mendominasi 75% proyek migas di Tanah Air. Meski BP Migas bubar tapi tetapi kalau pasal 9 ini tetap ada, maka liberalisasi migas masih tetap eksis. Percuma BP Migas dibubarkan tetapi semangat liberalisasi masih ada, ketika BP Migas ini dibubarkan kemudian dibentuk badan di bawah Kementerian ESDM, misalnya, kalau mindset Departemen ESDM sangat liberal seperti saat ini tidak ada jaminan ekplorasi migas bisa jatuh ke Pertamina, karena dalam pasal 9 tadi, BUMN dalam hal ini Pertamina sama kedudukannya dengan BUMD, swasta dan koperasi.
Pertamina Tolak Kelola Industri Hulu Migas
Setelah BP Migas bubar, Pemerintah membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas). Sebagian menilai ini hanya ganti baju saja, terbukti walaupun BP migas bubar seluruh kontrak kerja dengan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) aman dan tetap berjalan seperti biasa. Bahkan yang menyedihkan adalah pernyataan Direktur Pertamina yang menolak diserahi tanggung jawab pengelolaan industri hulu migas dengan alasan Pertamina ingin fokus ke bisnis. Penolakan Dirut Pertamina ini merupakan bukti bahwa mind set liberalisasi bukan hanya ada pada Kementerian ESDM dan BP Migas, tetapi juga pada Pertamina khususnya Dirut Pertamina. Jadi wajar kalau yang ada di otaknya hanya bisnis, bukan untuk mengurus rakyat. Padahal Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memang punya tugas bisnis, tetapi juga punya kewajiban mengurus rakyat. Bahkan justru kepentingan rakyat yang harus didahulukan daripada kepentingan bisnis.
Perlu Political Will yang Sesuai Syariah
Teknologi dan modal sebenarnya bukan masalah utama. Apalagi Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibandingkan dengan perusahaan asing. Masalah utamanya adalah political will Pemerintah yang tidak pro rakyat alias lebih pro kapitalis global. Ini terbukti dalam beberapa kasus seperti tambang migas Blok Cepu atau tambang emas Freeport dan Newmont. Dalam kasus Blok Cepu dan Freeport, misalnya, karena tekanan Amerika dengan begitu mudahnya Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, sedangkan tambang emas di Irian Jaya terus dibiarkan dikuasai Freeport. Akibatnya, kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya. Di bidang pengelolaan migas, saat ini ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama: Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua: Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga: perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 50–100 triliun pertahun andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara, bukan swasta. Sebagian besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir 53% kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang nikel Indonesia.
PoIitical will yang tidak pro rakyat atau yang tidak sesuai denga syariah ini muncul dari pola pikir atau mindset Pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR. Lahirlah UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009.
Dalam pandangan Islam, minyak bumi dan gas merupakan sumberdaya alam yang melimpah sehingga masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-‘ammah) yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan tentu bebas korupsi agar seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. WalLahu a’lam. []