HTI

Refleksi (Al Waie)

Hukum dan Peradilan: Hukum Bobrok, Aparat Bengkok

Reformasi yang telah berjalan di Indonesia lebih dari satu dasawarsa tidak banyak memberikan perubahan yang berarti dari sisi hukum. Hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus-kasus tebang pilih masih saja terjadi. Tak mengherankan jika kemudian masyarakat tidak banyak berharap terhadap proses hukum. Selain karena memakan waktu berkepanjangan, keadilan yang diharapkan ibarat jauh panggang dari api. Bahkan muncul istilah di masyarakat, jika lapor kehilangan ayam maka yang hilang nanti kambing atau sapi.

Masyarakat merasakan ketidakadilan itu dengan kasatmata. Bagaimana bisa disebut adil jika hukuman bisa dikurangi dengan seenaknya dengan alasan-alasan yang jauh dari persoalan hukum. Inilah yang ditunjukkan oleh Presiden SBY. Presiden yang katanya anti terhadap narkoba itu justru memberikan grasi (peringanan hukuman) kepada para terpidana narkoba kelas kakap.

Sejak berkuasa tahun 2004 hingga 2011 SBY telah memberikan grasi kepada 19 orang terpidana narkoba dari 128 permohonan yang masuk ke Istana. Lima dari 19 terpidana tersebut mendapat keringanan hukuman dari vonis hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup. Tiga dari lima terpidana mati itu adalah Deni Setia Maharwan alias Rafi Mohammad Majid, Merika Pranola alias Ola alias Tania dan Rani Andriani. Ketiga terpidana ini merupakan sindikat narkoba jaringan internasional. Deni dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Agung pada 18 April 2011. Sebelumnya Presiden juga telah memberikan grasi kepada terpidana narkoba yang merupakan warga negara asing, antara lain Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz Groobman.

Pemberian grasi terhadap terpidana narkoba ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Langkah Presiden SBY dianggap bertentangan dengan kebijakan pengetatan atau moratorium pemberian remisi kepada napi korupsi, narkotika, terorisme dan kejahatan transnasional terorganisir, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2006. Kebijakan grasi SBY ini bisa menyuburkan peredaran narkoba di Indonesia di mana setiap hari ada 41 orang yang tewas akibat narkoba.

Bukan hanya SBY, Mahkamah Agung pun pernah membatalkan vonis mati atas terpidana narkoba Hillary K Chimize pada 2004. Nah, pada Nopember lalu, terpidana yang dikurangi hukumannya menjadi 12 tahun penjara itu ternyata menjadi pengendali narkoba dari balik jeruji LP Pasir Putih Nusakambangan.

Pemerintah pun memberikan remisi kepada para koruptor. Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2012 remisi ini diobral sehingga pada saat itu ada 32 narapidana koruptor bisa menghirup udara bebas. Munculnya remisi para koruptor ini tidak lepas dari aturan Pemerintah sendiri yang memungkinkan mereka dipotong hukumannya. Pantas kalau korupsi tak pernah terhenti.

Penegak Bengkok

Bagaimana hukum akan tegak jika aparat penegaknya sendiri bengkok. Pertengahan Agustus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (17/8), kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua orang hakim dan seorang pihak swasta di Semarang, Jawa Tengah.  Mereka ditangkap lantaran diduga terlibat transaksi suap-menyuap. Parahnya, dua hakim itu adalah Hakim Adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang biasa mengadili kasus korupsi, termasuk suap-menyuap. Mereka ditangkap di pelataran parkir PN Semarang dengan nilai barang bukti Rp 100 Juta lebih.

Tahun sebelumnya, KPK pernah menangkap beberapa orang hakim, yaitu hakim PTUN DKI Jakarta, Syarifuddin dan hakim Pengadilan Industrial Negeri Bandung, Imas Diana Sari.

Perilaku buruk para pengadil ini terjadi hingga di level tertinggi institusi hukum di Indonesia, yakni Mahkamah Agung. Di akhir 2012, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) memecat hakim agung Ahmad Yamani. Ia terbukti melakukan pemalsuan berkas putusan peninjauan kembali (PK) terpidana gembong narkoba Hengky Gunawan. Ia mengubah berkas putusan PK Hengky Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara. Hengky yang di tingkat kasasi dihukum mati, hukumannya dikurangi menjadi 15 tahun. Namun, oleh Ahmad Yamani malah dikurangi lagi. Dalam pemeriksaan oleh Komisi Yudisial terungkap indikasi keterlibatan majelis hakim lainnya. Kepada yang memeriksanya, Yamani mengaku hanya sekadar tanda tangan saja.

Tidak beda dengan pengadil, para jaksa pun pada bengkok. Jaksa Agung resmi meneken surat pemecatan secara tak hormat terhadap jaksa Cirus Sinaga. Pemecatan itu setelah Kejaksaan mengeksekusi terpidana lima tahun penjara dalam kasus korupsi itu di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat, pada 4 September lalu. Cirus diketahui terlibat main mata dengan tersangka korupsi pajak, Gayus Tambunan.

Ternyata bukan hanya Cirus. Jaksa lain pun sama. Dua jaksa di Kejaksaan Agung berinisial AFP dan A dibekuk karena diduga turut membantu jaksa gadungan DP memeras pengusaha Rp 2,5 miliar. Keduanya diberhentikan sementara.

Selain melibatkan dua jaksa, Kejaksaan juga membekuk petugas staf Tata Usaha Kejaksaan Agung yang diduga terlibat. Dari penangkapan para pelaku, kejaksaan menyita barang bukti Rp 50 juta.

Adapun jaksa nonaktif Sistoyo divonis hukuman enam tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Bandung. Sistoyo dinilai bersalah menerima suap. Selain vonis enam tahun, Sistoyo juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan penjara.

Kondisi buruk juga dialami kepolisian. Sebagai institusi penegak hukum yang langsung berhubungan dengan masyarakat, justru banyak pelanggaran yang dilakukan oleh mereka baik secara etika maupun pelanggaran hukum itu sendiri.

Lebih parah lagi, ternyata banyak aparat hukum yang terlibat mengonsumsi narkoba. Hakim Puji Wijayanto, yang bertugas di Pengadilan Negeri Bekasi, tertangkap tangan sedang asyik pesta narkoba bersama wanita penghibur di sebuah klub malam di Jakarta. Bersama dia ikut diringkus seorang yang diduga pengacara dan seorang PNS Pemda Jayapura serta empat orang wanita penghibur. Belakangan seorang polisi di Pekanbaru menjadi bos pembuatan pil ekstasi dalam jumlah besar.

Data kepolisian menunjukkan, hingga pertengahan tahun saja, sedikitnya sudah terdapat 12.987 personel Polri yang diduga melanggar kode etik profesi maupun pelanggaran hukum.

Berdasarkan penelusuran Indonesia Police Watch (IPW), sepanjang 2011 terdapat 97 orang tak bersalah yang kena pelor polisi alias tertembak. Dari jumlah tersebut, 19 tewas dan 78 lainnya luka. Lalu pada semester pertama tahun 2012, sedikitnya ada 18 kasus penzaliman yang dilakukan polisi dengan melibatkan 34 anggotanya. Delapan di an­tara­nya kasus sa­lah tembak dan 10 lainnya kasus penyiksaan.

Tak heran bila tren pemecatan anggota kepolisian cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, ada 429 polisi dipecat. Lalu pada 2010 ada 294 polisi yang dipecat. Pada 2011 jumlahnya naik hampir dua kali lipat, jadi 474 polisi yang dipecat. Pelanggaran yang diidentifikasi itu pun sangat beragam, dari tindak kekerasan hingga terlibat dugaan korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga akhir tahun 2012 belum mampu menyelesaikan kasus-kasus besar terutama kasus skandal Bank Century. KPK terlihat tidak berani menetapkan orang yang paling bersalah dalam kasus ini, kecuali hanya menetapkan tersangkanya adalah deputy gubernur Bank Indonesia. Gubernur BI yakni Boediono yang memiliki peran paling besar pun tak berani disentuh KPK dengan alasan Boediono adalah warga negara istimewa. Banyak pihak mempertanyakan alasan itu karena hal itu tidak dikenal dalam hukum. Namun, itulah nyatanya, hukum memang tumpul ketika berhadapan dengan penguasa.

Extra Judicial

Satu fenomena menarik dalam penerapan hukum di Indonesia adalah adanya extra judicial killing, yakni pembunuhan di luar pengadilan. Mirisnya, proses ini dilakukan oleh aparat penegak hukum, yakni  Densus 88 Mabes Polri.

Tindakan di luar pengadilan ini secara hukum positif menyalahi/melanggar hukum. Soalnya, orang yang ditembak tersebut belum tentu bersalah. Kalau pun memang bersalah, seharusnya yang memutuskan adalah pengadilan, bukan atas subyektivitas personel kepolisian. Sayangnya, tindakan main hakim itu sendiri dibiarkan dan dianggap sebagai pembenaran.

Khusus dalam masalah terorisme, hukum terlihat sangat tidak adil. Ketika seseorang baru sebagai ‘terduga teroris’, aparat keamanan bisa menahannya. Namun, para koruptor, sudah ‘tersangka’ saja masih bisa berkeliaran.

Sikap aparat hukum ini pun langsung atau tidak langsung ditiru oleh masyarakat. Budaya main hakim sendiri hidup subur di tengah mereka.  Tanpa ada pembuktian apapun, masyarakat berani menghakimi seseorang, bahkan sampai mati.  Ini sebuah ironi di sebuah negara yang menyebut negaranya sebagai negara hukum.

Hukum Rusak

Ketika rakyat menuntut kepastian hukum, sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum yang tidak pasti. Sistem hukum yang ada adalah hukum positif yang dibangun atas dasar relativitas kebenaran dan keadilan. Apalagi sudah jelas bahwa sistem hukum ini adalah peninggalan penjajah Belanda.

Di sisi pelaksananya pun bermasalah. Soalnya bukan akidah Islam yang menjadi landasan mereka dalam menegakkan hukum. Mereka tidak mendasari tindakannya atas halal-haram dan takut kepada Allah, tetapi semata-mata kepentingan negara atau kekuasaan.

Walhasil, kondisi ini akan terus buruk selama sistem hukum dan penegak hukumnya tetap seperti sekarang bagaimana pun perbaikan-perbaikan yang dilakukan. Kondisi ini akan berubah jika sistem hukumnya diganti sistem hukum Islam dalam naungan Khilafah.  []

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*