Gejolak buruh hampir secara periodik terjadi di negeri ini. Terakhir terjadi pada awal November lalu berupa aksi besar-besaran di 35 kabupaten/kota di 12 provinsi. Aksi tersebut merupakan realisasi dari rencana mogok nasional untuk menyuarakan dan memperjuangkan tiga tuntutan: penghapusan sistem outsourcing, perbaikan tingkat upah dan pemberian jaminan sosial kesehatan mulai 2014. Aksi ini juga merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap Pemerintah yang dianggap tidak peka merespon aspirasi mereka.
Aksi tersebut turut berdampak pada kelesuan produksi dan iklim investasi. Tidak kurang dari sepuluh perusahaan, di antaranya PT Sepatu Bata Tbk (pabrik sepatu asal Chekoslovakia), PT S (pabrik kabel asal Indonesia), PT BHI (pabrik injeksi plastic asal Korea), PT DGW (pabrik agro chemical asal China) dan PT P (pabrik alat berat untuk pertambangan asal Jepang), telah memutuskan akan menutup pabriknya. Apindo memperkirakan adanya kerugian 900 miliar akibat penutupan tersebut (Kompas.com, 9/11).
Akar Masalah Perburuhan
Salah satu pemicu utama problem perburuhan adalah kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu biaya hidup terendah. Akibatnya, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya. Mereka hanya mendapatkan gaji sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya, terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja; juga tidak lagi menjadikan biaya hidup terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan; seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan biaya hidup terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal-sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas itu hanya klaim tanpa fakta.
Solusi Islam
Sistem Kapitalisme yang menetapkan kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan penentuan gaji buruh berdasarkan biaya hidup terendah adalah akar permasalahan perburuhan. Islam sebagai satu-satunya ideologi yang diridhai oleh Allah SWT telah memberikan pemecahan secara tuntas terhadap permasalahan tersebut.
Pertama: Islam mengharamkan kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah). Namun, Islam justru mengajarkan konsep ibahah al-milkiyyah. Dua konsep ini jelas berbeda. Konsep hurriyah milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal-haram. Sebaliknya, konsep ibahah al-milkiyyah jelas tidak, karena justru faktor halal-haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah; seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.
Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep ibahah al-milkiyyah dalam Islam yang berbeda secara diametral dengan konsep hurriyah milkiyyah dalam Kapitalisme.
Kedua: Islam mengharamkan kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) dan mensyariatkan konsep ibahah al-‘amal. Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara.
Ini berbeda dengan konsep ibahah al-‘amal karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia yang hukum asalnya mubah/boleh. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, atau berkebun yang memang dibolehkan oleh syariah. Sebaliknya, dia tidak boleh memproduksi khamr, melakukan jual-beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Jelas, semua pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.
Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep ibahah al-milkiyyah dan ibahah al-‘amal.
Ketiga: solusi Islam dalam penentuan standar gaji buruh. Standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan biaya hidup terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Sebab, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, kebolehan berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayah as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayah as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap kewajiban ri’ayah as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Pasalnya, kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal-sulam sistem kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Padahal kewajiban ini merupakan kewajiban negara, bukan kewajiban majikan atau perusahaan.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi, tetapi sekadar obat penawar rasa sakit, sementara penyakitnya sendiri tidak pernah berkurang apalagi sembuh, karena sumber penyakitnya memang tidak pernah diselesaikan oleh sistem ini.
Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji ketika dulu diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak Khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []