HTI

Muslimah

Kewanitaan: Perempuan Tetap Menjadi Korban

Tahun 2012 hampir berakhir.  Sepanjang tahun ini, masih saja ada perempuan Indonesia yang  mengalami nasib yang mengenaskan. Selama ideologi Kapitalisme masih diterapkan, mereka akan selalu menjadi sasaran eksploitasi baik fisik maupun seksual  dengan segala bentuknya.

Sistem Kapitalisme memandang segala sesuatu hanya sebagai masalah permintaan dan penawaran serta bagaimana memperoleh keuntungan sebagai tujuan utama masyarakat. Pandangan ini telah mendehumanisasikan manusia, khususnya kaum perempuan, menjadi tidak lebih dari sekadar komoditas ekonomi. Ini adalah ideologi yang secara konsisten meletakkan fondasi yang sangat kuat bagi praktik eksploitasi bagi jutaan manusia, termasuk kaum perempuan di negeri ini.

Ekploitasi Fisik

Bank dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global adalah perempuan. Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia atau sekitar 70% dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja sebagai TKW.  Ironisnya, keadaan ini bertolak belakang dengan kesejahteraan dan perlindungan yang mereka dapatkan.  Bahkan kerap mereka mengalami eksploitasi  di tempat kerja mereka. Mereka acapkali menghadapi  kekerasan fisik,  gaji tidak dibayar,  mengalami kekerasan seksual bahkan diperdagangkan.

Situasi pekerjaan bagi perempuan pekerja pun sangat memprihatinkan.  Sebagai contoh, di Majalaya, Ciparay, Kabupaten Bandung, beberapa pabrik menerapkan aturan perusahaan di bawah standar kemanusiaan. Karyawan baru harus melalui  masa percobaan selama 3 bulan sampai 1 tahun dengan sistem non-sift.  Mereka bekerja  sekitar 8-9 jam/hari dengan bayaran sekitar Rp 600 ribuan. Padahal UMR daerah Bandung  pada tahun 2012 berada pada kisaran 1.2 juta/bulan.

Eksploitasi fisik juga dialami pekerja perempuan di sebuah pabrik tekstil di Rancaekek Kulon, Bandung Selatan.  Mereka dipaksa mengerjakan pekerjaan laki-laki seperti mengangkat barang di atas 50 kg.

Populasi pekerja perempuan sebesar 39,8 juta jiwa, 37,9% dari seluruh jumlah pekerja yang mencapai 104,87 jiwa.  Di Indonesia jumlah Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di luar negeri meningkat. Namun, banyaknya jumlah pekerja perempuan itu tidak sebanding dengan yang dihasilkan oleh laki-laki.  Rata-rata, dari satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80 sen.  Ketimpangan pendapatan ini sangat tidak sebanding dengan tingginya risiko perempuan menjadi korban human traficking (Jabartoday.com, 18/9/2012).

Buruh migran Indonesia juga mengalami nasib yang sama.  Mereka tersebar di berbagai negara: Malaysia, Singapura, Hongkong dan beberapa negara di Timur Tengah.  Berbagai perlakuan mengenaskan dialami oleh tenaga kerja Wanita Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Meneg PP dan PA, Linda Gumelar. Beliau mengatakan bahwa masih banyak persoalan yang dialami buruh migran.  Gambaran permasalahan yang dialami perempuan pekerja migran di antaranya yang paling menonjol adalah pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, gaji tidak dibayar, dokumen tidak lengkap, mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, perkosaan, PHK sepihak, dan lain-lain.  Selain itu juga ada permasalahan sosial sebagai akibat bekerja ke luar negeri, yaitu kemampuan keluarga dalam mengolah ekonomi hasil bekerja di luar negeri, masalah keretakan keluarga, dan kenakalan anak-anak (Kalyanamitra.or.id, 10/10/2012).

Akhir Oktober 2012, publik dikejutkan dengan iklan ’ TKI on Sale’ di surat kabar Malaysia.  Iklan ini memposisikan para TKI sebagai barang dagangan, bukan manusia (Voaindonesia.com, 29/10/2012).

Awal Desember 2012, pihak berwenang di Malaysia telah membebaskan 105 orang pekerja migran perempuan, sebagian besar dari Indonesia. Mereka dipaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada siang hari dan tidak menerima gaji, kemudian dikurung pada malam hari oleh agen (Voaindonesia.com, 3/12/2012).

Eksploitasi Finansial

Selain mengalami eksploitasi fisik, para pekerja perempuan juga mengalami eksploitasi finansial. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Gumelar, pertengahan Mei lalu menyatakan saat ini diperkirakan ada sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang berperan sebagai kepala keluarga dan mereka hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan di bawah US$ 1 dolar. Jumlah ini mewakili lebih dari 14% dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Bahkan menurut aktifis LSM Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), sebenarnya jumlah perempuan kepala keluarga di Indonesia datanya jauh melebihi yang tercatat oleh pemerintah, yakni mencapai 10 juta orang. Kaum perempuan ini terpaksa menggantikan posisi suami mereka sebagai pencari nafkah karena faktor kemiskinan, Kapitalisme telah memaksa mereka untuk bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga.

Ketidakberdayaan mereka dimanfaatkan pasar. Kaum perempuan ini digiring menjadi konsumen dari produk-produk kapitalistik. Gaji yang mereka dapatkan dihabiskan hanya untuk memenuhi selera konsumtif. Penelitian Women Research Institute (WRI) berjudul “Moral Ekonomi Perempuan Pabrik Dinamika Kehidupan di Tempat Kerja” menunjukkan perilaku itu. Mereka suka berbelanja pakaian yang sedang trend di mall atau membeli telepon seluler untuk komunikasi di antara mereka. Penelitian itu menyatakan bahwa kaum buruh yang berlatar agraris membayangkan bahwa menjadi orang kota adalah menjadi orang modern, dan menjadi orang modern mesti berperilaku bagaikan kisah-kisah dalam sinetron. Rambut rebounding, make up, “melepas lelah” di pusat perbelanjaan, seperangkat stereo set terpasang di rumah kontrakan, dan berbagai perilaku lainnya membuat mereka semakin sulit dibedakan dengan kelas menengah.

Studi kasus menunjukkan bahwa perilaku konsumtif buruh perempuan sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan budaya pop masyarakat urban. Kasus Enong yang dipotret WRI misalnya, melakukan kerja lembur demi bertahan hidup dan memenuhi “standar” perilaku konsumsi masyarakat kota yang menjadi habitat mereka. Hasil kerja lembur dipakai untuk memuaskan hasrat konsumtif dengan membeli aneka produk kosmetik, sepatu, baju, tas, pernak-pernik perhiasan, bahkan yang ditawarkan lewat Multi Level Marketing (MLM) sesama buruh. Hampir setiap hari Minggu para pekerja perempuan tadi pergi ke beberapa pusat perbelanjaan di kawasan Sunter, Mangga Dua, dan Kelapa Gading, didampingi suami atau teman-teman (http://wri.or.id/id /penelitian).

Eksploitasi Seksual

Para pekerja perempuan ternyata juga tidak luput dari eksploitasi sesksual.  Iswarini, Juru Bicara Forum Keadilan Perempuan, kepada Republika 8 Maret 2012 mengatakan, beberapa buruh perempuan melaporkan pernah menjadi korban kekerasan seksual di tempat kerja. Namun, tidak banyak korban pelecehan seksual yang berani melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Iswarini berani menyatakan, dari 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan kepada polisi, 93.960 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.  Fatalnya, 50 persen dari data kekerasan seksual tersebut adalah jenis kasus perkosaan!

Tidak hanya pekerja perempuan yang menjadi korban.  Remaja perempuan dan kaum perempuan secara umum juga mengalami hal serupa. Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak mencatat banyaknya ribuan remaja perempuan Indonesia menjadi korban perdagangan seksual setiap tahun. Rata–rata, setiap tahun sebanyak 40 ribu hingga 70 ribu remaja perempuan di Indonesia menjadi korban sindikat perdagangan seksual sampai ke Nagoya Jepang.  Mereka dipekerjakan dalam dunia prostitusi, pembantu, dan menjadi korban perdagangan manusia seksual komersial (Okezone.com, 3/10/2012).

Pandangan khas ideologi Kapitalisme terhadap perempuan dengan sensualitasnya  telah mendorong kejahatan eksploitasi seksual terhadap ratusan ribu perempuan di negeri ini, tubuh perempuan hanya dipandang sebagai barang dan komoditas ekonomi. Ideologi Kapitalisme terbukti sangat “berprestasi” dalam melakukan ekploitasi tubuh perempuan dalam industri entertainment, periklanan dan sebagainya. Semua ini akhirnya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sindikat-sindikat narkoba, perdagangan orang, termasuk perdagangan seksual yang semakin mengeksploitasi anak perempuan dalam kenistaan prostitusi.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia juga terbukti mandul dalam melindungi anak dari kejahatan eksploitasi. Dua Undang-undang yang sudah dimiliki Indonesia – yakni UU Perlindungan Anak dan UU UU Tindak Pidana Perdagangan Orang—yang lahir dari rahim demokrasi negeri ini—juga terbukti gagal dalam melindungi hak-hak Anak yang sejatinya merupakan generasi harapan bangsa. Biaya yang besar dan waktu yang lama dalam menyusun kedua UU ini tidak mampu membayar kerusakan generasi akibat penistaan dan belenggu kemiskinan. Wajar, karena setiap kelahiran undang-undang pro rakyat di negeri ini sudah bisa dipastikan hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil di bawah gurita sistem politik yang berpihak untuk kepentingan elit politik, dan juga tidak berkutik di bawah disfungsi sistem ekonomi yang mengkonsentrasikan kekayaan negara di tangan segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar rakyat.

Penutup

Kondisi menyedihkan akibat beban kesejahteraan dan eksploitasi di atas tidak boleh berlanjut terhadap kaum perempuan di kawasan ini. Setiap perempuan seharusnya dipandang dan diperlakukan layaknya manusia, yang senantiasa dilindungi, dijaga dan dilayani. Namun demikian, ini hanya akan bisa diwujudkan di bawah sistem kehidupan yang berpegang pada pandangan yang benar terhadap perempuan dan benar-benar peduli dengan kesejahteraannya. Sistem ini adalah negara Khilafah yang menerpkan syariah secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya sistem Khilafah Islam sajalah yang menawarkan kebijakan ekonomi sehat yang telah teruji oleh waktu mampu mengangkat kaum perempuan di dunia Muslim dari derita kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan, menghapus penderitaan mereka dan membawa perubahan riil bagi kehidupan kaum perempuan.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*