HTI

Refleksi (Al Waie)

Politik: Kontra Terorisme Tetap Menyasar Umat Islam

Global War on Terrorism (GWOT) yang dicanangkan AS mengalami kemunduran. Sebabnya, Pertama: di dalam negeri AS sendiri tidak semua rakyat mendukung kebijakan pemerintahnya. Para jurnalis yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah AS banyak mengkritik operasi militer melawan apa yang disebut terorisme. Amy Goodman & David Goodman, dua orang jurnalis dalam bukunya, Perang Demi Uang, membeberkan fakta bahwa media massa raksasa dan para politisi secara sistematis men-drive opini publik AS agar mendukung rencana GWOT. Padahal rakyat AS sendiri termasuk banyak keluarga korban WTC tidak menginginkan operasi ‘balas dendam’ terhadap para pelaku penyerangan tersebut (Perang Demi Uang, hlm. 9).

Kedua: munculnya sikap frustrasi di kalangan pejabat militer AS sendiri. Pada awal Desember 2012 Jenderal Je Jhonson, seorang  perwira senior yang bertugas di Pentagon, misalnya, mempertanyakan kapan GWOT ini akan berakhir. “US officials must ask themselves how the conflict with al-Qaeda will end,” katanya seperti dikutip al-Jazeera.

Johnson juga mengkritik kebijakan Pemerintah Amerika Serikat yang menggunakan pesawat tanpa awak (drone) di sepanjang perbatasan Pakistan-Afganistan, yang justru memperluas dukungan terhadap kekuatan al-Qaidah di seluruh dunia Islam.

Sikap Johnson ini bisa diduga berasal dari besarnya biaya yang dikeluarkan bangsa Amerika selama operasi GWOT di Irak, Pakistan dan Afganistan. Ditambah lagi banyak keluarga di Amerika yang meratapi kematian sia-sia anak-anak atau suami mereka di medan perang. Sampai Juni 2012, jumlah tentara AS yang mati di Afganistan dan Irak sejak invasi tahun 2001 mencapai 6500 jiwa.

Besarnya biaya yang dikeluarkan AS diakui Senator Jim Webb sebagai salah satu penyebab besarnya hutang yang harus ditanggung Pemerintah AS. Presiden Barack Obama sendiri mengumumkan bahwa Perang Amerika telah merugikan negara sebesar $1 triliun dolar. Sebuah laporan baru yang dikeluarkan oleh Brown University mengatakan, biaya Perang Amerika di Irak dan Afganistan—juga operasi di Pakistan—akan  merugikan negara hampir $4 triliun.

Berbeda dengan kondisi di AS, operasi war on terror di Tanah Air masih mendapat support dari Pemerintah. Ini terlihat dari naiknya anggaran yang dialokasikan Pemerintah untuk BIN, BNPT dan Densus 88. Anggaran Densus 88, misalnya, naik dari Rp 19 miliar ke Rp 69 miliar tahun 2012. Itu berarti naik Rp 50 miliar. Dana untuk aparat intelijen dan keamanan (intelkam) Polri juga naik. Anggaran per Polsek Rp 500 ribu naik jadi Rp 5 juta perbulan. Lalu, dana Rp 7,5 juta perbulan per Polres menjadi Rp 30 juta perbulan per Polres.

Anggaran untuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga diberi porsi yang besar dalam APBN 2012. Untuk program pencegahan dijatah dana Rp 40 miliar. Untuk operasi deradikalisasi dijatah Rp 12,5 miliar.  Untuk operasi penindakan Rp 40 miliar dan kerjasama internasional Rp 10 miliar. Ditambah dengan anggaran rutin untuk pegawai, belanja peralatan, kendaraan operasional dan sebagainya total BNPT mendapat dana Rp 476,6 miliar.

Dengan anggaran sebesar itu program war on terror dilakukan dalam dua cara; melalui strategi represif dan deradikalisasi.

Strategi Represif

Sepanjang tahun 2012, operasi kontraterorisme yang dilakukan Densus 88 masih setia dengan pola lama; hardpower yang mengarah pada overacting. Densus 88 masih senang menggunakan tindakan represif dan menggunakan senjata mematikan tersangka teroris ketimbang menangkapnya hidup-hidup. Hingga tahun 2010 saja Densus sudah menembak mati 44 orang tersangka teroris.

Sikap arogan dan cenderung menggunakan hardpower ini menjadikan siapapun yang sudah dilabeli teroris meski baru terduga, legal untuk ditangkap, disiksa atau bahkan ditembak mati. Padahal sebagian dari orang yang dituduh teroris adalah warga tidak berdosa. Beberapa kali Densus melakukan aksi salah tangkap bahkan sejumlah orang tewas karena tindakan overacting Densus. Label teroris yang disematkan Densus menjadi pengesahan untuk melakukan extra judicial killing.

Di Poso, pada bulan November, tindakan brutal Densus mengakibatkan dua orang tak bersalah menjadi korban, yakni Ustadz Yasin sebagai ustadz setempat, dan Kholid seorang polisi kehutanan yang juga jemaah masjid. Bila media massa nasional yang hanya mengutip pernyataan pihak kepolisian menyebut keduanya sebagai teroris, warga Poso yang menjadi saksi mata justru memberikan keterangan sebaliknya. Menurut warga keduanya ditembak tanpa perlawanan karena baru pulang dari shalat subuh. Dari luka yang didapat kemungkinan keduanya ditembak dari jarak dekat. Jatuhnya korban mengakibatkan kemarahan massa yang memblokir jalan.

Penangkapan yang dilakukan secara brutal juga terjadi di Pesantren Darul Akhfiya Nganjuk, Jawa Timur. Kepolisian Jawa Timur menangkap puluhan santri dan seorang ustadz dengan tuduhan melakukan pelatihan jihad. Akan tetapi kemudian, kepolisian meralat tindakan mereka dan menyatakan Darul Akhfiya tidak terlibat terorisme.

Gaya represif, kasar dan brutal yang dilakukan Densus 88 dalam menangani kasus terorisme akhirnya menjadi blunder bagi mereka sendiri. Densus justru menjadi common enemy bagi mayoritas umat Islam dan pengamat terorisme serta aktifis HAM. Anggota Komnas HAM DR. Saharuddin Daming misalnya dengan tegas menyatakan kalau Densus 88 dan BNPT sebaiknya dibubarkan saja karena telah melanggar HAM.

Saharuddin menyatakan gaya represif yang diperagakan Densus terhadap warga yang diduga melakukan tindakan terorisme justru menjadi penyebab lahirnya lingkaran kekerasan. Orang yang tewas di tangan Densus malah dianggap warga sebagai pahlawan. Sebaliknya, sebagian warga memendam kebencian terhadap Densus.

Meski kinerja Densus sudah menuai banyak kecaman, Pemerintah justru melebarkan tindakan represif melalui jalur perundang-undangan. Setelah RUU Intelijen disahkan, Pemerintah berusaha keras mengesahkan RUU Kamnas.

Berbeda dengan UU Intelijen, pencegahan dan penanganan terhadap ancaman gangguan keamanan oleh aparat keamanan bersifat lebih semesta dan dini. Dengan RUU Kamnas aparat keamanan dapat memberangus apa yang disebut sebagai potensi ancaman dan gangguan, baik terhadap negara, kelompok bahkan perorangan. Ancaman dan gangguan yang ditangani tidak mesti harus sudah berupa wujud nyata, baru berupa potensi maka dapat ditindak.

Program Deradikalisasi

Strategi represif dan militer dilakukan oleh Polri melalui Densus 88, sementara BNPT secara serius menggarap program deradikalisasi. Ada beberapa target yang disasar oleh BNPT dalam program deradikalisasi ini, yaitu:

1.     Membuat phobia di tengah umat terhadap perjuangan syariah dan Khilafah dengan menciptakan stigma bahwa tujuan terorisme adalah untuk mendirikan Khilafah dan menegakkan syariah Islam. Untuk itu sejumlah even seperti Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme di gelar di berbagai tempat.

2.     Mencegah penyebaran dakwah Islam khususnya dakwah penegakkan syariah dan Khilafah melalui berbagai penyebaran opini di tengah umat seperti melalui seminar, publikasi hasil penelitian radikalisme sehingga umat akan bersikap antipati terhadap dakwah syariah dan Khilafah serta memusuhi para pengembannya. Berulangkali di media massa Ketua BNPT Ansyad Mbai menyebut dengan jelas tujuan kelompok teroris adalah ‘untuk mendirikan Negara Islam’.

3.     Menciptakan permusuhan terhadap para pengemban dakwah syariah dan Khilafah. Dengan begitu tidak akan ada regenerasi dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat. Dipublikasikan pula hasil penelitian yang mengatakan rohis sebagai sarang teroris. Hal ini ditujukan agar orangtua mewaspadai anak-anak mereka agar tidak terlibat dalam kegiatan pengajian yang menyuarakan syariah Islam dan Khilafah.

4.     Menebar kecurigaan dan adu domba di tengah umat dengan pola ‘belah bambu’. BNPT merangkul kelompok Islam tradisionalis dan modernis, lalu menginjak kelompok-kelompok garis keras.

Pada bulan Maret, Ketua BNPT Ansyad Mbai, dalam Seminar Internasional ‘Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global’ di Apita Green Hotel Cirebon, Jawa Barat,  Mbai menyatakan bahwa meski umat masih mendengar tokoh NU, tempat dakwah sudah diambilalih kelompok radikal (RMOL, 17/3). Pernyataan ini jelas mengarahkan agar warga NU bergerak melawan apa yang dinamakan kelompok radikal. Jelas sudah merupakan upaya adu domba.

Pada perkembangan selanjutnya kelompok-kelompok yang telah dirangkul oleh BNPT itulah yang secara otomatis akan melakukan perlawanan terhadap kelompok Islam radikal. PBNU, misalnya, akhirnya bekerjasama dengan aliran sesat LDII sebagai bagian menangkal radikalisme.

5.     Membiayai penerbitan buku-buku Islam yang berisi penafsiran ngawur terhadap sebagian ajaran Islam yang dianggap berbau radikal seperti jihad, syariah Islam dan Negara Islam. Tahun ini bahkan dibuat film berjudul Nassir Abas: Captain Jihad. Isinya adalah penafsiran Nasir Abbas untuk menjelaskan makna jihad menurut tafsir BNPT. BNPT juga membiayai penerbitan buku-buku yang menyerang kelompok-kelompok yang dianggap radikal, menyuarakan syariah Islam dan Khilafah, seperti Hizbut Tahrir. Beberapa buku yang menjadikan Hizbut Tahrir sebagai obyek serangan terbit pada tahun ini.

Diluar semua itu, ada hal yang menggembirakan yaitu kian naiknya resistensi umat Islam terhadap gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme yang dilakukan pemerintah. Kesadaran masyarakat awam akan kemungkinan rekayasa, fitnah terhadap dakwah Islam sudah mulai tumbuh. Seandainya saja gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme tidak didukung oleh media massa sekular, atau ada media massa yang berani mengambil sikap berseberangan dengan mereka, bisa dipastikan program deradikalisasi dan kontraterorisme ini mendekati ajalnya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*