Konflik sosial atau konflik antarwarga di Tanah Air menjadi salah satu persoalan besar yang mengemuka sepanjang tahun 2012. Kemarahan dan kekerasan seolah menggantikan sopan-santun dan jiwa gotong-royong yang dulu acap dislogankan di ruang-ruang publik. Kini cap yang gampang melekat bukan lagi bangsa yang ramah, melainkan bangsa yang gampang marah. Konflik antarwarga itu nyaris sepanjang tahun 2012 dan bertebaran hampir di seluruh daerah di Nusantara.
Konflik sosial ini telah terjadi di hampir semua strata sosial dan pendidikan, warga biasa maupun organisasi massa hingga parpol. Kalangan terpelajar pun tak luput ikut terlibat melakukan konflik. Tawuran anak sekolah hingga kini belum bisa dihentikan. Ironisnya, tawuran bahkan sudah merembet ke tingkat sekolah dasar seperti yang terjadi di Jakarta dan Bogor.
Konflik juga terjadi di dalam kampus. Sejumlah kampus tercatat kerap melakukan aksi tawuran. Mendiknas M Nuh misalnya sampai mengancam akan menutup kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) sebagai buntut tawuran pada bulan Oktober lalu yang menewaskan dua orang mahasiswa.
Ormas daerah dan kepemudaan, anggota atau massanya juga kerap terlibat bentrok. Hal itu seperti yang terjadi di Jakarta, Medan dan daerah lainnya. Beberapa kali konflik yang terjadi terutama di sejumlah titik di Jakarta bahan mengakibatkan jatuh korban tewas.
Kelompok lain yang kerap terlibat bentrok adalah gerombolan preman. Seperti di Jakarta, pada bulan Agustus 2012 terjadi bentrokan di kawasan Cengkareng antara kelompok Hercules dengan John Kei. Korban tewas pun berjatuhan.
Jumlah Kasus
Sampai saat ini memang belum ada data akurat yang dilansir oleh Pemerintah mengenai jumlah konflik sepanjang tahun 2012. Ada perbedaan signifikan antara data yang dikeluarkan Pemerintah dan pihak lain. Berdasarkan data yang dimiliki Kemendagri, jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus, namun kemudian meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus (Antaranews.com, 25/9/2012).
Gamawan Fauzi tidak merinci jenis konflik yang termasuk dalam jumlah tersebut. Namun, bila melihat jumlah konflik yang dibawa ke jalur hukum, jumlahnya sangat banyak. Menurut Sudaryono, tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sosial Lemhanas, ada peningkatan tajam dalam penanganan konflik melalui jalur hukum, sejak 2011. Jumlahnya kini mencapai lima juta kasus (Tribunnews.com, 12/10/2012).
Salah satu konflik sosial yang terbilang tinggi disebabkan sengketa lahan. Kepala Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kurnia Toha, menyebutkan bahwa saat ini hingga 2012 masih tersisa 4.005 kasus sengketa dan konflik pertanahan di seluruh wilayah Indonesia (Tribunnews.com, 24/9/2012).
Konflik berupa tawuran juga antarsiswa mengalami peningkatan. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Lalu pada tahun 2012, periode Januari-Juni, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.
Kerusuhan seperti tawuran antarkampung juga antar (massa) ormas belum terdata. Akan tetapi, dari berbagai pemberitaan tampak jelas maraknya konflik seperti ini di Tanah Air.
Faktor Pemicu
Konflik antarwarga yang terjadi di Tanah Air dipicu oleh beragam faktor. Ada konflik yang terjadi akibat sebab tunggal, tetapi tidak sedikit yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. Secara umum ada beberapa sebab yang melatarbelakangi konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
1. Primordialisme dan persaingan antar-kelompok.
Sejumlah bentrokan antarwarga terlihat disebabkan alasan primordial seperti kesukuan dan persaingan antarkelompok. Jika bukan menjadi pemicu, faktor ini turut memperdalam konflik dan menjadikan penyelesaiannya makin rumit. Dalam konflik yang terjadi di Lampung Selatan ada sentimen kesukuan antara etnis Jawa yang telah lama mendiami wilayah tersebut dengan warga pendatang dari etnis Bali. Sentimen kesukuan ini meledak setelah terjadi kasus pelecehan seksual oleh warga pendatang terhadap wanita dari etnis Jawa.
Persaingan antarkelompok yang memicu konflik juga terlihat dalam tawuran pelajar dan bentrok antarmahasiswa di sejumlah kampus, juga antar organisasi kemasyarakatan. Arogansi almamater yang melekat pada sejumlah sekolah dan kampus, termasuk antarfakultas atau jurusan, menyebabkan hubungan antarkelompok di masyarakat menjadi renggang dan tensinya meningkat.
Celakanya, sistem politik yang ada justru membuat semangat dan paham priomordialisme itu makin menancap dalam. Ambil contoh, otonomi daerah. Semangat otonomi itu justru memperdalam semangat rasial. Seolah rakyat di daerah lain tidak ada hubungannya, tidak perlu diperhatikan. Kekayaan dan potensi satu daerah seolah hanya menjadi hak daerah itu.
Menguatnya sentimen primordialisme ini menunjukkan bahwa masyarakat telah kehilangan perekat yang dapat menyatukan semua elemen. Spirit kesukuan, kekelompokan dan kedaerahan jauh lebih dominan dan sanggup menghilangkan rasa kebersamaan di tengah-tengah masyarakat.
2. Persaingan dan kesenjangan ekonomi.
Sejumlah konflik sosial ada yang dipicu bukan oleh faktor tunggal. Dalam bentrok antarormas sering juga ditambah dengan faktor ekonomi semisal perebutan ‘lahan kekuasaan’ yang berarti ‘perebutan uang setoran’ dengan berbagai dalih dan sebutan. Bentrok massa Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila pada bulan Januari di Johar Baru, misalnya, dipicu karena perebutan lahan parkir. Begitupula bentrokan FBR dengan Forum Kerukunan Betawi (Forkabi) disebabkan perebutan lahan parkir di Depok. Konflik dua kelompok preman di Jakarta, kelompok Hercules dan John Kei pada bulan Agustus juga ditengarai dipicu persaingan ‘jatah preman’ dan penguasaan lahan.
Kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi juga berulang memicu konflik di tengah warga. Kerusuhan di Lampung Selatan, selain dilatarbelakangi sentimen kesukuan, juga ditambah dengan kesenjangan sosial di antara kedua etnis tersebut. Warga etnis Bali secara umum hidup lebih sejahtera ketimbang etnis Jawa di daerah tersebut.
Sengketa lahan yang tak kunjung usai jelas berangkat dari persoalan hajat hidup masyarakat yang merasa kepemilikan dan sumber penghidupannya dirampas oleh pihak lain, baik oleh swasta maupun oleh lembaga. Merasa tuntutannya tidak dipenuhi dengan adil maka penyerangan dan pendudukan atas tanah mereka pun dilakukan. Konflik pun tak bisa dihindari. Apalagi mereka merasa ruang dan jalan untuk mencari keadilan tertutup sebab penegak hukum dan pengadilan sering terlihat lebih berpihak kepada kapitalis, swasta dan kekuasaan dan menutup mata dengan rasa keadilan masyarakat.
3. Lemahnya penanganan dan penegakkan hukum oleh aparat.
Banyak pihak menyebutkan bahwa maraknya kerusuhan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kian menjadi karena penanganan yang lambat oleh aparat keamanan. Bahkan dalam beberapa konflik seperti antarkelompok preman atau ormas kedaerahan tampak kentara ada pembiaran oleh aparat.
Selain dinilai lamban mencegah dan menangani kerusuhan, proses hukum terhadap para pelaku tindak kerusuhan juga dipertanyakan. Sering pelaku kerusuhan tidak mendapatkan sanksi yang membuat efek jera. Akibatnya, konflik sosial terjadi berulang-ulang.
Lambannya aparat keamanan dalam melindungi kepentingan warga juga menjadi salah satu faktor terjadinya konflik sosial. Dalam kasus Sampang yang dipicu oleh ulah pengikut ajaran Syiah, sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya aparat keamanan dengan sigap segera mengamankan para pengikut Tajul Muluk. Pasalnya, telah lama MUI Sampang dan segenap tokoh Islam melaporkan kesesatan ajaran tersebut dan meminta aparat segera membekukan kegiatan mereka.
Kasus yang sama juga terjadi pada konflik umat Islam dengan pengikut Ahmadiyah di beberapa daerah, atau umat Islam dengan pengikut Nasrani seperti di Bekasi dan Bogor. Kelambanan Pemerintah dan aparat keamanan memproses laporan umat Islam akhirnya berujung pada konflik sosial.
Kelambanan aparat dalam mencegah, mengantisipasi dan menangani berbagai kasus konflik yang ada menunjukkan rendahnya penegakan hukum. Rendahnya low enforcement ini bisa menjadi salah satu faktor terjadinya konflik sosial atau bahkan lebih parah lagi justru melanggengkan konflik sebab penanganan tidak secara tuntas.
4. Ketidakpercayaan masyarakat pada proses hukum.
Konflik sosial yang semakin subur juga akibat eskalasi ketidakpercayaan masyarakat dan kekecewaan demi kekecewaan publik terhadap proses hukum. Rasa keadilan dirasakan tidak bisa dipenuhi oleh proses hukum yang ada. Akhirnya, mereka mengambil cara main hakim sendiri untuk mendapatkan keadilan. Sebagai contoh sengketa lahan yang pecah di banyak daerah dan hingga kini banyak yang belum terselesaikan, terjadi karena masyarakat merasa frustrasi dan putus asa dengan proses hukum yang dilakukan. Malah sebagian besar pihak yang bersengketa merasa tidak pernah mendapat keadilan dalam sengketa lahan tersebut jika mencarinya melalui proses hukum.
Dalam konflik umat Islam dengan umat lain maupun dengan aliran sesat seperti Ahmadiyah juga terjadi karena kekecewaan mayoritas umat Islam terhadap tidak jelasnya penanganan yang dilakukan Pemerintah terhadap berbagai kasus yang dianggap merugikan umat Islam.
Kecurigaan masyarakat bahwa aparat hukum bertindak berat sebelah terhadap pihak-pihak yang berkonflik juga mendorong mereka untuk bertindak main hakim sendiri. Hal ini bisa terjadi karena memang ada aparat penegak hukum yang berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai, atau bisa juga karena lambannya penanganan persoalan tersebut. Semua sikap aparat baik yang lamban maupun yang berpihak bermuara pada konflik sosial.
5. Ekses Pilkada.
Pemilihan kepala daerah langsung mau tidak mau memunculkan kubu-kubu di antara masyarakat yang mendukung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Persaingan antarpasangan calon bisa dipastikan juga membawa gerbong dan pendukung masing-masing. Akibatnya, terjadilah persaingan antarkubu di masyarakat. Persaingan itu tentu juga menyertakan faktor emosi dan ego masing-masing kubu. Hal itu sering mengarah pada persaingan sengit, kadang menjurus pada perpecahan bahkan tak jarang mengarah pada penggunaan fisik dan kekerasan. Sering ada saja pihak-pihak yang merasa aspirasinya tidak terwadahi atau merasa dirugikan dalam proses Pilkada. Semua itu tidak jarang menyebabkan terjadinya gesekan antarpasangan beserta kelompok pendukungnya bahkan sampai terjadi bentrok dan tindakan anarkis. Contohnya adalah kasus paling akhir pada tahun 2012 berupa bentrok di Bangkalan Madura. Jika demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung tidak lagi membawa berkah bagi masyarakat, tetapi lebih banyak membawa bencana, termasuk bencana berupa kepala daerah yang melakukan korupsi yang jumlahnya bejibun.
Kegagalan Bhinneka Tunggal Ika
Pada bagian inilah kesahihan konsep Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua) perlu dikritisi. Persatuan dan kesatuan juga kerukunan yang selama ini diyakini terbentuk dengan konsep itu ternyata belum bisa menghasilkan kerukunan sejati. Kebersamaan yang terbentuk adalah kerukunan semu, tidak mampu menciptakan perasaan ingroup pada semua elemen masyarakat.
Ajaran Bhinneka Tunggal Ika hanya hidup di buku-buku pelajaran dan perkuliahan, tidak sanggup merekatkan pemikiran dan perasaan masyarakat. Kebersamaan yang tercipta pun bisa diibaratkan seperti bara dalam sekam. Diam tetapi permusuhan tetap menyala.
Selama ini Pemerintah terus memaksa masyarakat untuk mempercayai kesakralan konsep ini, tetapi di lapangan fakta berbicara lain. Gesekan antarkelompok dan paham primordialisme justru kian membara.
Selama kemerdekaan berlangsung hingga era reformasi tanda-tanda keretakan hubungan antarelemen masyarakat kian nyata, baik yang bersifat kedaerahan maupun benturan kepentingan antarparpol. Kerusuhan Pilkada di beberapa tempat adalah gambaran betapa rapuhnya ikatan kebersamaan di antara masyarakat. Akhirnya, muncul slogan ‘senggol, bacok’. Persoalan sepele dapat menyulut konflik di tengah masyarakat.
Berpangkal Pada Kapitalisme
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa masalah konflik sosial jauh lebih rumit dan mendasar dari apa yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Konflik itu pada akhirnya berpangkal pada sistem Kapitalisme yang memang bobrok yang diterapkan untuk mengatur kehidupan masyarakat di negeri ini.
Karena itu, sudah saatnya masyarakat, khususnya kaum Muslim, mengkaji ulang kelayakan konsep kesatuan dan persatuan yang selama ini dijejalkan kepada mereka. Padahal dalam ajaran Islam sudah terkandung prinsip ukhuwah islamiyyah yang jauh lebih luhur dan telah teruji dapat mempersatukan umat manusia selama berabad-abad. Bahkan kebersamaan yang diciptakan Islam juga turut dirasakan oleh elemen non-Muslim pada saat mereka berada dalam naungan Khilafah Islam. Yakinlah hanya Islam yang sanggup menciptakan kebersamaan sejati antarumat manusia. []