Konflik Poso kembali mencuat. Bulan Januari 2013, sebanyak 14 orang Muslim tidak bersalah ditangkap Densus 88. Bahkan 4 orang secara terbuka memaparkan pengakuan penyiksaan yang mereka alami. Beberapa hari setelah penahanan, mereka dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Tragis! Ditangkap, disiksa, lalu dilepaskan dalam kedudukan tidak bersalah. Setelah itu, selesai sudah. Tidak ada rehabilitasi. Seakan-akan Densus 88 legal melakukan semua itu. Pengumuman bahwa mereka yang ditangkap itu tidak bersalah cukup untuk melegalisasi tindakan tak berperikemanusiaan tersebut.
Herannya, konflik horisontal tersebut selalu dikaitkan sebagai tindak terorisme. Siapa terduga terorisnya? Selalu umat Islam! Padahal konflik tersebut terjadi antara kaum Muslim dengan non-Muslim. Layak dipertanyakan dengan lantang, mengapa kalau berbicara teroris selalu saja yang ditunjuk hidungnya adalah umat Islam? Hampir 800 orang yang diduga teroris sudah ditangkap dan ditindak. Lalu 38 orang tewas pada saat penindakan? Mengapa terus terjadi? Operasi demikian, kalau mau jujur, sudah mengarah pada tindakan pelanggaran HAM berat.
Reaksi pun datang dari banyak pihak. “Saat Pemerintah ngomong soal teroris, sejak masa Orde Baru, sasarannya pasti Islam dan orang Islam! Ini skenario CIA untuk habisi Islam, Ustadz!” Begitu, pandangan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Nasional, Daryoko. Pernyataan ini bukan tanpa alasan.
Sejak pemerintahan Amerika Serikat (AS) menabuh genderang perang ‘war on terrorism’, dan semua pemerintahan, termasuk para penguasa negeri-negeri Muslim, disuruh memilih ‘either you are with us or with terrorists’, umat Islam selalu menjadi tertuduh. Bahkan dengan penuh kesadaran, AS melalui Presidennya ketika itu George Bush menyebutnya dengan istilah ‘crusade’ (Perang Salib).
Mantan Rektor IAIN Sumatera Utara dan Ketua Umum al-Ittihadiyah Nadzri Adlani mengungkapkan, “Seharusnya ormas-ormas tidak tinggal diam, termasuk dalam kasus Densus 88 yang main tembak orang tersangka teroris.”
Beliau segera menambahkan, “Sebaiknya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengambil inisiatif.” Tindakan ini disadari sebagai tindak kezaliman. Di tengah sistem seperti ini, sulit mendapatkan keadilan. Hal ini tergambar dari salah seorang tokoh PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, “Saya hanya berdoa, semoga orang yang berbuat zalim tersebut dibalas oleh Allah perbuatannya.”
Hal ini perlu mendapatkan perhatian bersama. Benar kata Pembina Tim Pengacara Muslim, Mahendradatta, “Ya, faktanya memang begitu. Tentunya, baik diadakan gerakan protes bersama.”
Benar, tindakan kesewenang-wenangan penguasa harus dilawan. Bila tidak, kezaliman akan dipandang sebagai keadilan. Sangat jelas, perintah Nabi Muhammad saw.: “Seutama-utama jihad adalah perkataan yang lurus di depan penguasa yang keliru.” (HR Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Hal di atas hanya satu saja bentuk kezaliman. Banyak kezaliman lainnya yang dilakukan penguasa. Padahal kezaliman merupakan perkara serius, tak boleh dianggap sepele. Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Tahanlah tanganmu dari menzalimi kaum Muslim dan takutlah terhadap doa orang-orang yang dizalimi sebab doa orang yang dizalimi itu mustajâbah (terkabul).” (HR al-Bukhari).
Perbuatan orang zalim tidak hanya akan menimpa pelakunya saja melainkan juga menimpa orang lain yang tidak mencegah kezalimannya itu. Secara tegas, Allah Rabbul ‘âlamîn berfirman: “Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (TQS al-Anfal [8]: 25).
Imam Ibnu Katsir memaparkan dalam kitab tafsirnya, “Dalam ayat ini Allah SWT memperingatkan para hamba-Nya yang beriman tentang ‘fitnah’, yakni ujian dan cobaan, yang umum menimpa orang yang berbuat buruk dan selainnya, tidak dikhususkan bagi pelaku maksiat dan dosa besar saja, melainkan berlaku umum, tidak dapat dicegah dan ditahan” (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘âzhîm, IV/37).
Adapun Imam ath-Thabari mengatakan: Berkata Abu Ja’far, “Allah berfirman mengingatkan kaum Mukmin dan Rasul-Nya: Takutlah wahai kaum Mukmin akan fitnah (ujian dari Allah dan malapetaka yang Dia timpakan kepada kalian) yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim (mereka melakukan perkara yang dilarang ia lakukan, baik tindak kriminal yang mereka kerjakan atau dosa antara mereka dengan Allah yang mereka lakukan). Allah Maha Terpuji memperingatkan agar mereka tidak melakukan kemaksiatan atau dosa yang menjadikan mereka berhak mendapatkan sanksi karena tindakannya itu.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XIII/473).
Kini, Jakarta dikepung banjir. Seorang tokoh menyampaikan kepada saya, “Ketika Tuhan dipisahkan dari masalah sosial, bencana pun datang. Namun, tetap saja kita tidak memohon pertolongan Allah. Seperti banjir yang saat ini mengepung Jakarta. Presiden pun harus menggulung celana, Istana kena malapetaka. Lagu lama pun disampaikan, ‘Ini kiriman dari orang Bogor.’ Sehebat apapun manusia, kalau Allah berkehendak menurunkan malapetaka, tidak akan ada orang dapat mencegahnya. Apakah kita baru akan kembali kepada Allah, memohon ampun kepada-Nya, dan menerapkan hukum-Nya setelah Jakarta hancur? Perlukah Jakarta terkena tsunami agar kita segera sadar bahwa kemaksiatan hanya akan melahirkan malapetaka?”
Barangkali, tidak ada hubungan langsung antara banjir dengan kezaliman yang dilakukan. Kezaliman tidak harus ditetapkan sebagai penyebab datangnya banjir. Namun, semua ini harus menjadi i’tibar bagi orang-orang beriman. Tidakkah layak banjir yang spektakuler ini, dengan korban berjatuhan, Ibu Kota Jakarta lumpuh, dijadikan momentum kita bertobat dan segera taat? Bukan tobat dan taat secara pribadi saja, melainkan tobat dan taat secara total. Warga, bangsa dan umat ini harus kembali kepada Allah SWT. Bukankah selama ini tidak sedikit di antara kita telah minggat dari hukum Allah SWT? Kita harus pulang dan kembali menerapkan hukum Allah, Pencipta kita. Kita harus melanjutkan kehidupan Islam, isti’nâfu al-hayâti al-islâmiyyah. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk menerapkan Islam secara kaffah? Belumkah sampai waktunya bagi kita untuk menerapkan sistem peninggalan Nabi saw., yakni Khilafah? Bukankah Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan pada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)…dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (TQS al-Hadid []: 16).
Wallâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]