Kapitalisme memiliki andil besar menciptakan masyarakat yang egois dan eksploitatif terhadap orang banyak. Ini karena peradaban Kapitalisme tegak di atas tiga sistem nilai dasar:
1. Sekulerisme, sebagai asas/ landasan hidup.
2. Pragmatisme, sebagai konsep kehidupan yang berjalan karena kemanfaatan.
3. Hedonisme, sebagai makna kebahagiaan, yakni kepuasan materi individu (hedonisme).
Tiga nilai mendasar ini berperan membentuk identitas masyarakat kapitalis yang materialistik. Perluasaan kekuasaan Kapitalisme di negeri-negeri Muslim, terutama akibat globalisasi dan ekspansi pasar, telah mensosialisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai ekonomi akhirnya mempengaruhi sistem norma dan hubungan sosial sehingga bersifat transaksional. Di dalam proses transaksi tersebut, setiap orang menghitung ‘harga’ (cost) dan ‘kegunaan’ (benefit) dari setiap hubungan sosial dan praktik-praktik kehidupan yang dijalani setiap hari. Kapitalisme global secara evolutif telah menggeser nilai-nilai sakral dalam ajaran agama dan tradisi menjadi sekadar pelengkap bagi pembentukan gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan (leisure) dan kepuasan (gratification).
Nilai-nilai mendasar seperti sekularisme, pragmatisme dan hedonisme ini harus diakui menjadi pemicu kesenjangan dan kemiskinan akibat iklim kompetisi atau ‘survival of the fittest’, siapa yang kuat dialah yang menang. Konsekuensi berikutnya, perangkat nilai berbahaya ini juga masuk pada bagaimana menciptakan identitas dan makna kesuksesan pada masyarakatnya. Tatanan masyarakat kapitalistik telah mengindividualisasikan masyarakat secara khas berdasarkan profesinya; individu masyarakat dipandang sebagai unit profesional (Beyer, 1991: 378). Wajar jika dalam masyarakat kapitalistik, seseorang baru akan dihargai jika ia memiliki profesi/pekerjaan tertentu dengan penghasilan tertentu, termasuk kaum perempuan.
Semua nilai ini telah meletakkan pondasi yang sangat kuat bagi terciptanya kemiskinan dan eksploitasi ekonomi. Pasalnya, nilai-nilai ini meniscayakan pihak kuat akan mengendalikan yang lemah. Inilah yang menyebabkan lebih dari dua ratus juta laki-laki dan perempuan di negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Selatan dipaksa bermigrasi ribuan kilometer hanya untuk mendapat pekerjaan menjadi buruh migran, meski harus menelan pil pahit perlakuan yang tidak manusiawi di negeri orang. Nilai-nilai ini juga telah melegalkan berbagai bentuk eksploitasi terhadap kaum miskin, baik secara fisik, finansial maupun secara seksual atas nama pekerjaan atau profesi.
Pandangan khas ideologi ini terhadap perempuan dengan sensualitasnya juga telah mendorong kejahatan eksploitasi seksual terhadap ratusan ribu perempuan di Asia. Tubuh perempuan hanya dipandang sebagai barang dan komoditas ekonomi. Mereka akhirnya hanya diperlakukan seperti barang dan komoditas ekonomi untuk kepentingan segelintir orang kaya dan pemilik modal.
Mengeksploitasi Kaum Miskin
Kapitalisme juga memiliki prinsip dan pilar-pilar ekonomi yang konsisten memproduksi kemiskinan secara struktural. Prinsip-prinsip itu sangat efektif menghisap kekayaan negeri-negeri Muslim dan menjadi mekanisme eksploitasi massal bagi jutaan penduduk miskin dunia.
Beberapa prinsip berbahaya ekonomi Kapitalisme yang menjadi basis bagi eksploitasi ekonomi adalah: (1) kebebasan kepemilikan; (2) laissez-faire – campur tangan pemerintah minimal; (3) pertumbuhan ekonomi; (4) akumulasi modal sebagai kunci pertumbuhan; (5) sistem upah besi.
Pertama: Kebebasan kepemilikan menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian. Prinsip ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram.
Kedua: Laissez Faire, campur tangan pemerintah yang minimal. Pandangan ini menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer, let do let pass yang dikembangkan oleh Adam Smith. Menurut mereka, tanpa adanya campur tangan pemerintah, semua tindakan manusia akan berjalan harmonis, otomatis dan bersifat self regulating. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Ketiga: Pertumbuhan ekonomi yang mengendalikan arah perpolitikan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur utama prestasi ekonomi negara-negara maju dan prestasi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Konsekuensinya, tingkat produksi barang dan jasa domestik secara agregat harus digenjot dengan cara meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. Meningkatkan investasi asing ditempuh dengan membuka kran investasi asing, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan dan liberalisasi berbagai bentuk usaha lokal bagi kepentingan investor. Karena itu banyak negara berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi meski harus membayar dengan kekayaan alam, aset strategis dan bahkan nyawa rakyatnya.
Keempat: Prinsip akumulasi modal (the law of capital accumulations). Hukum ini akan menunjukkan bahwa apabila ekonomi dibiarkan berjalan mengikuti mekanisme pasar bebas, maka akan menyebabkan terjadinya akumulasi kapital pada para pemilik modal yang besar. Prinsip ini memberikan kesempatan yang luas kepada para pemilik modal untuk mengeksploitasi kaum buruh yang mereka pekerjakan layaknya budak, hanya untuk kepentingan mereka saja, yakni tujuan akumulasi kapital (modal).
Kelima: Prinsip Upah Besi (The Iron’s Wage Law). Prinsip ini menunjukkan bahwa di dalam mekanisme pasar bebas, upah yang diterima kaum buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan, tetapi juga tidak akan mengalami penurunan. Layaknya besi, dia tetap tidak berubah. Namun, tetapnya upah buruh tersebut ternyata tetap pada titik yang rendah, yakni hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan fisik minimumnya saja. Maksudnya agar supaya buruh tetap eksis, tidak sampai mati atau sakit (sehingga menghambat proses produksi).
Dengan prinsip-prinsip ini Kapitalisme telah melegalkan dehumanisasi massal terhadap kaum miskin dan marginal. Kapitalisme mempekerjakan mereka sebagai buruh dan mempraktikkan perbudakan modern dengan menghisap energi kaum buruh yang miskin hanya untuk kepentingan pemodal. Dampak buruk penerapannya telah demikian kasatmata. Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan semakin menggurita dan mewabah. Bahkan ini terjadi bukan hanya di negeri-negeri Muslim saja, melainkan juga di negeri-negeri maju kapitalis yang menjadi barometer kekuatan ekonomi seperti Cina dan India, juga Uni Eropa. Ambil saja contoh, pertumbuhan ekonomi di Cina dan India berjalan sangat pesat. Bahkan diramalkan oleh Invesment Bank AS Goldman Sachs bahwa kedua negara ini akan menjadi super power pada tahun 2030. Namun, menurut statistik yang dikeluarkan World Hunger Index (PBB) Oktober 2010 masih terlalu banyak penduduk Cina dan India dalam keadaan miskin dan kelaparan. Di Cina kesenjangan pendapatan antarpenduduk yang tinggal di kota dan petani sangat besar. Perbedaan rata-rata pendapatan antar petani dan pekerja di kota diperkirakan 1:5. Adapun di India masih terdapat sekitar 350 juta manusia yang berpendapatan kurang dari satu dolar AS perhari.
Kegagalan Para Pemimpin Boneka
Ironisnya para penguasa negeri-negeri Muslim yang menjadi boneka Barat justru dengan bangga menerapkan dan memuja sistem Kapitalisme ini, baik sistem nilainya maupun prinsip-prinsip ekonominya yang imperialistik. Padahal kerusakan dan kezalimannya sudah dipertontonkan sendiri di negeri-negeri di Barat. Tentu para penguasa ini sejatinya adalah sisa-sisa kolonial dari negara kapitalis Barat yang berlindung di balik ide nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan negara-bangsa, yang merupakan bagian dari strategi negara Barat untuk memecah-belah umat Islam melalui runtuhnya institusi Khilafah Ustmaniyah di Turki tahun 1924. Kekuatan paham nasionalisme kemudian tersebar ke seluruh dunia. Paham ini pun dipaksakan masuk ke Dunia Islam untuk memecah-belah Khilafah Islam yang menjadi pelindung sekaligus kekuatan umat kala itu.
Para penguasa boneka dalam sistem negara-bangsa pada praktiknya selalu berlindung di balik kepentingan nasional dan ide nasionalisme. Padahal pada saat yang sama mereka melegalkan praktik mega korupsi dengan membiarkan uang rakyat dicuri dan kekayaannya dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing demi keuntungan dan kekayaan pribadi yang mereka dapatkan dari tuan-tuan mereka di Barat. Mereka nyaris selalu terbukti gagal menyelesaikan problem negerinya yang dipenuhi dengan persoalan korupsi, ketergantungan terhadap Barat dan utang luar negeri, penegakan hukum yang ambivalen, ancaman separatisme, konflik sosial, dan lain-lain. Hari ini sistem negara-bangsa telah kehilangan vitalitasnya. Apalagi penguasanya sendiri telah dengan sengaja menghilangkan kedaulatannya dengan membolehkan pihak asing mengintervensi negara mereka. Mereka pun membiarkan pihak asing menyajikan solusi-solusi beracun bagi pengentasan kemiskinan seperti program kontrol populasi, legalisasi prostitusi dan bahkan membiarkan rakyatnya menjadi buruh-buruh pabrik yang bekerja di perusahaan asing multinasional.
Sistem negara-bangsa juga telah membuat negeri-negeri Muslim, yang awalnya merupakan satu kesatuan politik dan ideologi, menjadi terfragmentasi. Apa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, adalah potret yang amat memprihatinkan. Kedua negara Muslim yang bertetangga ini telah memiliki kesepakatan puluhan tahun untuk melanggengkan praktik eksploitasi transnasional terhadap jutaan perempuan Muslimah atas nama kepentingan nasional masing-masing negeri tersebut. Para penguasa ini tidak menyadari bahwa nasionalisme dan sistem negara-bangsa yang mereka anut telah membawa pada kehancuran martabat dan perpecahan di antara mereka sendiri sebagai umat Islam. Nasionalisme dan negara-bangsa juga telah mendehumanisasi mereka yang bukan dari bangsanya dengan memperlakukan saudari mereka sendiri sebagai barang dagangan, bukan seperti ajaran Islam yang mewajibkan melindungi dan menjaga kehormatan kaum Muslimahnya.
Islam Melindungi Masyarakat dari Kemiskinan dan Eksploitasi
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan ideologi Islam yang memiliki tingkat integrasi sosial yang sangat tinggi. Misi penciptaan (ibadah) dan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT menjadi fokus utama dalam masyarakat Islam (Lihat: QS adz-Dzariyat [51]: 56). Islam membangun masyarakatnya dengan landasan akidah tauhid. Konsep kehidupannya berjalan untuk menaati perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Makna kebahagiaannya adalah ridha Allah SWT. Sistem nilai Islam menciptakan identitas khas dalam masyarakatnya. Islam memandang kemuliaan manusia dari ketakwaannya, bukan dari materi ataupun atribut fisik lainnya. Hal ini membentuk mentalitas mulia yang mampu menempatkan keridhaan Allah SWT di atas kepentingan pribadi. Sebab, tujuan hidup manusia itu adalah untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat daripada sekadar mengejar kenikmatan dunia sesaat. Hal ini juga akan mematahkan gambaran kepribadian materialistik yang fokus hanya pada uang dan materi tanpa peduli konsekuensinya bagi orang lain apalagi masyarakat. Dengan itu eksploitasi dan kezaliman terhadap orang lain akan dapat diminimalisasi.
Nilai-nilai hidup Islam tidak akan pernah menempatkan materi di atas moralitas, atau uang di atas derajat kaum perempuan, meski mereka miskin sekalipun. Karena itulah sistem nilai Islam akan mencegah kemiskinan dan eksploitasi dari akarnya, dan menempatkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Rasulullah saw. mengibaratkan kehidupan masyarakat Islam seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal; dakwah dan amar makruf nahi mungkar menjadi spiritnya, bukan hedonisme dan pragmatisme seperti pada masyarakat kapitalistik yang individualis.
Profesi di dalam Islam bukan segala-galanya. Menjadi profesional tidak berarti membuat umat Islam melupakan identitas hakikinya sebagai hamba Allah, juga tidak boleh melalaikan peranan utamanya sebagai seorang da’i/da’iyah yang melakukan perbaikan dan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Begitupun terkait profesi (jenis pekerjaan). Bekerja dalam pandangan Islam adalah salah satu sebab kepemilikan (bukan satu-satunya sebab) atas harta dan diarahkan dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Dalam Islam bekerja atau pekerjaan bukanlah satu-satunya jalan mencapai keamanan finansial. Ada peran perwalian kaum laki-laki dan juga ada peran negara di sini.
Islam juga memiliki prinsip-prinsip pengaturan ekonomi yang sehat dan menolak model keuangan cacat kapitalis yang berbasis riba; melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam; juga melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Islam juga memiliki pandangan yang jelas dan tegas terkait pengaturan kepemilikan, peran negara dan hukum-hukum terkait ketenagakerjaan yang akan mencegah eksploitasi pihak kuat terhadap yang lemah. Islam pun menolak konsep kebebasan kepemilikan yang mengizinkan memperoleh kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan jalan mengeksploitasi atau merendahkan orang lain, seperti prinsip riba atau mengeksploitasi tubuh perempuan demi keuntungan. Sistem ekonomi Islam diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya dan bukan hanya demi pertumbuhan ekonomi. Namun, Islam pun menerapkan hukum yang menciptakan produktivitas ekonomi yang sehat untuk mangatasi pengangguran massal dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan.
Karena itu, tentu diperlukan sistem dan kepemimpinan di Dunia Islam. Islam dengan seluruh kesempurnaannya menawarkan visi politik yang sama sekali berbeda untuk kawasan dan seluruh dunia agar terlepas dari belenggu kemiskinan dan eksploitasi. Visi politik Islam adalah kepemimpinan tunggal (Khilafah) untuk umat Islam di seluruh dunia, yang tidak akan membiarkan umat Islam tercerai-berai dan tereksploitasi hanya karena kepentingan nasional yang sempit.
Khilafah Islam akan mengangkat beban ekonomi yang terlampau berat dari punggung-punggung umat Islam dan menempatkannya di atas bahu Khalifah yang kuat. Hanya sistem Khilafah Islam sajalah yang menawarkan kebijakan ekonomi sehat yang mampu mengangkat kaum perempuan di dunia dari derita kemiskinan. Khilafah akan menciptakan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan, menghapus penderitaan mereka dan membawa perubahan riil bagi kehidupan kaum perempuan khususnya dan umat manusia pada umumnya.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dirinya kehidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).
[Fika M. Komara, M.Si; (Member of Central Media Office)]