Salah satu isu yang terus hangat dibicarakan saat ini adalah perlindungan terhadap perempuan dari kemiskinan dan eksploitasi. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki cara pandang khas untuk menyelesaikan persoalan ini.
Khilafah Menjaga Status, Peran dan Hak-hak Perempuan
Islam telah memberikan status terhormat bagi kaum perempuan: ibu dan pengatur rumah tangga. Berkaitan dengan status ini berlaku kaidah, “al-Ashlu fi al-mar’ah annaha umm[un] wa rabbatu bayt[in] wa hiya ’irdh[un] yajibu an yushana (Hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga).” Karena itu peran utama kaum ibu adalah membina anak-anak mereka, menggelorakan semangat mereka, menanamkan kepada mereka kecintaan kepada Allah, Rasul dan al-Quran serta menempa kepemimpinan mereka. Di ranah domestik inilah ada cikal bakal generasi umat terbaik.
Kedudukan mulia dan strategis ini benar-benar dijaga oleh Islam. Baginda Nabi saw. bahkan bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya. Aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri di antara kalian.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Pernah ada seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah, saya hendak ikut berperang.” Beliau lalu bertanya, “Apakah kamu punya ibu?” Dia menjawab, “Ya.” Beliau pun segera bersabda, “Tetaplah bersama ibumu karena surga itu ada di bawah kedua kakinya.” (HR an-Nasa’i, hadis hasan shahîh).
Selain sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, perempuan memiliki hak untuk berperan di ranah publik. Perempuan memiliki hak dan kewajiban laki-laki kecuali dalam hal-hal yang dikhususkan bagi perempuan atau bagi laki-laki. Perempuan berhak untuk berkecimpung dalam bidang pertanian, industri, bisnis, pendidikan, kesehatan, dakwah, partai, dan sebagainya.
Pada zaman Nabi saw., kemah Rufaidah al-Aslamiyah merupakan rumah sakit pertama yang dibangun pada zaman Rasulullah saw. Kemah ini dibangun oleh seorang perempuan bernama Rufaidah binti Kaab al-Aslamiyah. Beliau mempunyai ilmu pengobatan dan telah mewakafkan dirinya untuk membantu umat Islam yang memerlukan, terutama bagi para tentara yang mengalami cedera pada saat pertempuran. Pekerjaan beliau dibantu oleh beberapa shahabiyah lain.
Khilafah pun memberikan jaminan bagi perempuan di ruang publik. Sebagai contoh, Prof. Nila Sari, guru besar pada Fakultas Kedokteran Cerrahpahsa Universitas Istanbul Turki, dalam sebuah penelitiannya mengung-kapkan bahwa pada era Kekhalifahan Turki Utsmani sudah mulai banyak perempuan yang berprofesi sebagai dokter. Mereka sudah berpraktik baik di dalam Istana Kekhilafahan maupun di luar istana.
Kiprah perempuan di tengah masyarakat pada masa Khilafah tercatat dengan baik dalam sejarah. Sebut saja Syifa binti Sulaiman yang pernah diangkat oleh Khalifah Umar ra. sebagai qadhi hisbah (hakim yang mengurusi pelanggaran terhadap peraturan yang membahayakan hak masyarakat).
Perempuan mendapat hak yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan. Rasulullah saw. mengabulkan permintaan para perempuan yang meminta hari khusus bagi mereka untuk belajar dari beliau. Aisyah ra. dan istri-istri Rasulullah saw. mengajarkan agama kepada para sahabat. Ash-Shiwa binti Abdullah pernah bertugas sebagai guru yang mengajar wanita-wanita Islam membaca dan menulis ketika Baginda Nabi Muhammad saw. masih hidup. Pada masa Kekhilafahan telah didirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang terkenal dengan kemajuan ilmu dan teknologinya. Bahkan Raja Inggris pernah mengirim putri-putri Kerajaan untuk bersekolah di Negara Khilafah.
Khilafah Memberantas Eksploitasi dan Perbudakan Perempuan
Pada saat sekarang eksploitasi dan trafficking (perbudakan) terhadap perempuan tak kunjung berhenti. Salah satu bentuk eksploitasi tersebut adalah menampakkan sensualitas dan keindahan tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis. Sales promotion girl (SPG) berpakaian seksi menjajakan barang dagangan dengan sasaran utama kaum laki-laki. Dalam industri media elektronik, perempuan menjadi obyek seksual. Tubuh perempuan dan kemolekan tubuh dijadikan salah satu alat untuk memancing daya tarik. Keindahan atau sensualitas tubuh perempuan dijadikan alat untuk menjual produk yang diiklankan atau memperoleh keuntungan dari industri pornografi dalam media elektronik seperti TV dan internet.
Kasus pekerja pabrik perempuan yang harus shift siang dan malam banyak ditengarai sebagai bentuk eksploitasi. Begitu juga kasus trafficking (perbudakan) terus terjadi. Tenaga Kerja Perempuan (TKW) yang tidak jarang berakhir pada prostitusi dan tindakan kekerasan tidak dapat dipisahkan dari trafficking. Trafficking juga mewujud dalam perekrutan remaja putri sebagai pekerja seks komersial atau dipaksa dijual untuk melunasi hutang dan keuntungan materi.
Mengapa hal ini terjadi? Eksploitasi dan trafficking disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya adalah pergaulan yang mengumbar aurat. Kebiasaan wanita mempertontonkan aurat menjadikan dia tidak risih ketika ada pihak yang mengeksploitasi kecantikannya. Perempuan demikian tidak sadar bahwa ia dieksploitasi atau boleh jadi rela mengeksploitasi dirinya sendiri. Sistem Kapitalisme justru mendorong pornoaksi ini.
Berbeda dengan itu, Khilafah memerintah-kan perempuan mengenakan jilbab dan kerudung saat keluar rumah (QS an-Nur [24]: 31 dan al Ahzab [33]: 59). Khilafah juga melarang khalwat; memerintahkan perempuan yang melakukan safar lebih dari sehari semalam untuk didampingi mahram; menjaga kehormatan perempuan dan melarang eksploitasi terhadapnya; membentengi seluruh masyarakat, termasuk perempuan, dari bahaya pornografi-pornoaksi.
Hal lain yang memunculkan eksploitasi dan trafficking adalah sistem bisnis eksploitatif yang dikembangkan oleh Kapitalisme. Kapitalisme memandang perempuan sebagai sarana yang dapat dieksploitasi demi kepentingan bisnis. Padahal Islam justru menentangnya. Râfi’ bin Rifâ’ah meriwayatkan, “Rasulullah saw. melarang pekerjaan perempuan kecuali apa yang dikerjakan oleh tangannya.”
Hadis ini melarang perempuan dari setiap pekerjaan yang dimaksudkan untuk mengeks-ploitasi sifat keperempuanan, namun diboleh-kan perempuan bekerja yang lain. Hal ini juga dididasarkan pada kaidah, “Al-Wasîlah ilâ al-harâm muharramah (Sarana yang mengantar-kan pada perkara haram adalah haram).”
Pekerjaan yang mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan berakibat pada terbukanya aurat, pornografi dan pornoaksi yang secara syar’i haram. Oleh sebab itu, berdasarkan kaidah syariah tersebut, pekerjaan yang mengeksploitasi perempuan hukumnya haram. Bukan hanya itu, eksploitasi pun dilakukan melalui bisnis esek-esek. Bisnis demikian secara syar’i jelas haram. Perkara yang haram, haram pula untuk dibisniskan.
Secara praktis, berbagai upaya eksploitasi kemolekan tubuh perempuan atau aurat dihadapi tegas oleh Pemerintahan Islam. Islam telah mengajarkan agar Pemerintah benar-benar menjaga perempuan dari eksploitasi dan trafficking. Rasulullah saw. sangat tegas berkaitan dengan aurat. Beliau mengusir Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah karena menyingkapkan aurat seorang Muslimah dan membunuh seorang Muslim yang membelanya. Khalifah al-Mu’tashim Billah mengirimkan ratusan ribu pasukan menaklukkan kota Ammuriyah (sekarang Ankara) karena prajurit Romawi melecehkan seorang Muslimah di sana. Sikap-sikap ini menunjukkan bagaimana Pemerintahan Islam sedari awal sangat menjaga perempuan dari unsur eksploitasi dan trafficking.
Prinsip-prinsip perlindungan terhadap kehormatan perempuan dan menjauhkan perempuan dari eksploitasi harus dilakukan secara terpadu. Di antara kebijakan terpadu Khilafah dalam menyelesaikan eksploitasi dan trafficking adalah:
1. Salah satu faktor yang dituding sebagai penyebab eksploitasi dan trafficking adalah rendahnya tingkat pendidikan. Dalam Khilafah, pendidikan ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam setiap individu. Sistem pendidikan Islam akan menanamkan nilai-nilai tentang kedudukan laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat; tentang perilaku terpuji dan tercela; juga tentang akhlak Islam yang tidak materialistik. Sifat materialistik merupakan bagian dari hubbud-dunya’ yang dilarang oleh Rasulullah saw.
2. Ekonomi yang eksploitatif pun disinyalir menjadi penyebab eksploitasi dan trafficking. Sistem ekonomi Islam melarang aktivitas ekonomi yang menzalimi orang lain, memberi upah tak layak, dan menjauhkan semua jenis aktivitas memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan demi keuntungan materi. Praktik kemaksiatan seperti prostitusi tidak dianggap sebagai aktivitas ekonomi, apa pun alasannya. Karena itu semua pintu menuju zina ditutup rapat-rapat.
3. Media massa sangatlah urgen. Media memiliki fungsi memberi informasi yang mendidik, menggambarkan pelaksanaan syariah Islam, tidak menayangkan pornografi dan gaya hidup hedonis, serta menyebarluaskan keteladanan. Media juga merupakan sarana untuk mengontrol dan menasihati pemerintah.
4. Sistem peradilan Islam akan memberlakukan sanksi secara tegas dan adil. Sanksi atas kriminalitas menghadirkan fungsi pencega-han (zawâjir) dan penebus dosa (jawâbir). Dengan begitu akan tercipta masyarakat yang bersih dari perilaku maksiat.
Khilafah Menjamin Kesejahteraan Perempuan
Islam telah menjamin perempuan berhak untuk memiliki, menggunakan dan mengembangkan harta kekayaan yang halal sebagaimana laki-laki. Hanya saja, Islam menghendaki perempuan lebih mengutamakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah (umm[un] wa rabbah bayt). Apabila tugas utama tersebut sudah ditunaikan, tidak ada larangan kaum perempuan berkecimpung dalam dunia publik, termasuk bisnis. Salah satu pebisnis ternama pada zaman Nabi saw. adalah Ibunda Khadijah ra.
Di samping adanya kesempatan untuk berkarya dan memiliki kedaulatan ekonomi, Islam juga menjamin kebutuhan pokok setiap warga baik laki-laki maupun perempuan. Pemenuhan kebutuhan pokok setiap perempuan ditempuh dengan banyak strategi. Pertama: mewajibkan laki-laki menafkahi perempuan. Islam memerintahkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Allah SWT pun berfirman yang maknanya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Kedua: jika individu itu tetap tidak mampu bekerja menanggung diri, istri dan anak perempuannya maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT juga di dalam al-Quran: “Ahli waris pun berkewajiban demikian.” (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Ketiga: jika ahli waris tidak ada atau ada tetapi tidak mampu memberi nafkah, maka beban itu beralih kepada negara melalui lembaga Baitul Mal. Tegas sekali Nabi saw. bersabda: “Aku lebih utama dibandingkan dengan orang-orang beriman daripada diri mereka. Siapa yang meninggalkan harta maka harta itu bagi keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR Ibnu Hibban).
Negara Khilafah memaksimalkan pengumpulan zakat, infak dan sedekah hingga bisa diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya baik laki-laki maupun perempuan. Kebutuhan pokok masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan juga akan dipenuhi oleh Khilafah secara langsung dan gratis. Untuk membiayai semua itu, selain berasal dari harta milik negara, juga dari hasil pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, danau, sungai, hutan dan sebagainya. Negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia adalah wilayah yang sangat kaya sumberdaya alam. Sekadar contoh, hasil dari 2 blok migas di Indonesia (Blok Tangguh dan Mahakam) saja mencapai 4000 Triliun (APBN tahun 2012 1.358 Triliun, dengan 74.5% berasal dari pajak). Padahal Indonesia memiliki setidaknya 37 blok migas. Belum lagi hasil laut dan hutan yang melimpah ruah. Semua itu lebih dari cukup untuk mensejahterakan setiap individu rakyat bila sistem ekonomi Islam diterapkan.
Dengan mekanisme tersebut tidak akan ada lagi perempuan, sebagaimana laki-laki, yang harus menanggung kemiskinannya sendiri dengan bekerja keras menjadi buruh kasar bahkan menjadi buruh migran dengan risiko perlakuan tidak manusiawi hingga ancaman kehilangan nyawa.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dedeh Wahidah Achmad]