Konferensi Perempuan Internasional sudah berlalu, namun pengaruhnya masih terasa terutama bagi para peserta yang berkesempatan hadir dalam event spektakuler ini. Bagi para akhwat yang berinteraksi dengan para pembicara dari luar negeri, banyak kisah yang terukir dan bisa memberi inspirasi .
Dua hari menjelang konferensi dilaksanakan, para pembicara tamu tiba di Indonesia. Rasa syukur dan haru mewarnai pertemuan mereka dengan para akhwat Indonesia yang menyambut. Jika menjelang persiapan konferensi di antara kami terjadi hubungan hanya melalui skype, kini benar-benar terjadi secara fisik. Di antara para pembicara tamu, Ummu Suhayb, yang paling ekspresif mengapresiasikan perasaan harunya. “Saya sangat bahagia bertemu dengan akhwat di sini. Semoga kita segara dipertemukan dan dipersatukan dalam naungan Khilafah Islam,” ungkapnya dengan berlinang air mata.
Perjalanan melelahkan yang rata-rata ditempuh sekitar 18 jam menuju Indonesia tidak menyurutkan semangat para pembicara tamu untuk berkoordinasi dengan panitia di malam pertama mereka sampai. Meski rasa lelah tidak bisa disembunyikan, mereka menampakkan antusias mengikuti setiap kata yang keluar dari Ustadz Bey Laspriana yang menjelaskan rencana teknik presentasi pada konferensi kali ini. Perbedaan waktu Indonesia dengan negara tempat mereka tinggal tidak membuat mereka memutuskan untuk melepas lelah.
Satu hari menjelang Hari H, detik demi detik diisi dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk kesuksesan acara. Semua dipersiapkan dengan detil, meski harus berada di tempat acara hingga tengah malam demi memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik. Keinginan untuk bisa merasa dekat dan dimengerti oleh audiens Indonesia membuat Ummu Suhayb, Muslimah yang senantiasa menjaga wudhunya ini berusaha keras melafalkan sapaan “Ibu-ibu yang dirahmati Allah”. Begitu juga Sister Nazreen Nawaz yang akan melafalkan tema acara dalam bahasa Indonesia di akhir orasinya. Dengan sabar huruf demi huruf diejakan oleh sang host di malam yang cukup “menegangkan” itu.
Meski lewat larut malam baru sampai di penginapan yang terletak cukup jauh, esok harinya sebelum peserta konferensi memenuhi meja registrasi, para pembicara pun telah hadir di Hotel Grand Sahid. Rangkaian acara demi acara dilalui. Semua pembicara dan panitia pun berusaha memberikan persembahan yang terbaik. Penulis begitu terkesan saat di sela acara Sister Nazreen datang sendiri menghampiri kami yang ada di meja kontrol acara, memastikan semua acara berjalan lancar, termasuk memastikan acara ini bisa disaksikan oleh siapa pun dengan baik melalui live streaming. Bahkan yang tak disangka-sangka, dengan suara lantang beliau sempat mengomandoi yel-yel, takbir dan tahlil dari belakang yang disambut riuh dengan pekikan takbir oleh peserta. SubhanalLah!
Konferensi pun berjalan dengan sukses. Para tokoh perempuan yang hadir semakin mantap dalam perjuangan penegakkan Khilafah. Parade Al-Liwa dan Ar-Rzya di akhir acara semakin menguatkan kerinduan kembalinya Khilafah dengan segera. “Saya seperti melihat pasukan Khilafah saat ini,” ungkap Sister Nazreen sambil berkaca-kaca.
Konferensi bukanlah akhir perjuangan. Selesai acara tidak membuat kendor aktivitas para pembicara tamu. Seperti malam-malam sebelumnya, mereka hanya menyempatkan tidur 1 sampai 3 jam saja. Sedikit tidur demi perjuangan! Esok paginya, tak ada kata santai karena konferensi telah selesai. Pertanyaan-pertanyaan umat yang masuk ke SMS Center dan media sosial yang tak terbahas di acara, menunggu untuk dijawab. Hari itu pun dilakukan shooting untuk menjawab semua pertanyaan umat. Agenda pasca konferensi pun terus terangkai. Dialog di TVRI, shooting reportase, bertemu dengan DPP MHTI, dan sebagainya; semua dilakukan dengan antusias dan penuh ikhlas.
Keinginan yang Mulia
Di sela agenda, Ummu Yahya Muhammad dari Afrika menyatakan keinginan untuk berkunjung ke rumah salah satu syabah demi mempererat silah ukhuwah. Menurut beliau, dalam budaya Arab, mendatangi salah satu rumah berarti sama dengan mendatangi semuanya. “Kami tidak ingin dijamu. Cukup kami bisa berkunjung saja,” kata Ummu Yahya yang selalu punya ide dadakan dan brilian itu.
Karena itu pada hari kepulangan mereka, setelah terlebih dulu menyelesaikan shooting viedo pesan dari Ummu Kholid dan Ummu Yassin menanggapi kasus perkosaan seorang gadis di India, rombongan pun melaju ke rumah Ustadzah Mahbubah yang baru saja kehilangan putri tercintanya. “Di saat saya sedang diuji Allah dengan dipanggilnya Izzah, saya merasakan akhwat ada di sekeliling saya menghibur dan berempati. Itu menguatkan saya. Bahkan sampai-sampai akhwat dari luar negeri menengok juga, disempatkan sebelum mereka pulang,” demikian Ustadzah Mahbubah mengungkapkan rasa harunya.
Satu keinginan Ummu Yahya yang tidak sempat terealisasi adalah mengunjung daerah miskin untuk melihat langsung kemiskinan di Indonesia. Selama di Jakarta mereka hanya sempat melihat gedung-gedung tinggi di jalan utama yang dilalui. “Di balik gedung-gedung bertingkat itulah ada kehidupan kumuh rakyat miskin”, ujar Ukhti Rina yang sering menemani mereka. “Inilah kapitalisme yang selalu menutupi kemiskinan,” Ummu Yahya menyimpulkan.
Akhirnya, para pembicara tamu pun pulang dengan kesan yang mendalam. Mereka sangat mengapresiasi kerja semua tim Indonesia yang dinilai luar biasa karena mampu mempersiapkan agenda dengan detil dan komprehensif dalam waktu yang relatif singkat. “Saya belum pernah melihat di negara lain tim yang excelen dalam menggarap broadcasting, perangkat tim yang lengkap dan teroganisasi, juga santun dalam menerima tamu,” kata Ummu Yasin memberi apresiasi.
Lain halnya dengan Sister Nazreen yang memberi gambaran tentang tim Indonesia. “Goverment in Waiting”, begitu ungkapnya. “Kalian sangat memberi inspirasi bagi perjuangan di negara lain,” tutur Ummu Suhayb.
Kalau negara lain saja sangat terispirasi dengan kerja kita, apakah kita juga selalu bisa menginpirasi diri untuk excelen dalam kerja dakwah ini? [Yus]