HTI

Jejak Syariah

Masjid Datuk Badiuzzaman: Basis Dalam Perang Sunggal

Keberadaan masjid bersejarah di Kota Medan tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Deli. Kesultanan Deli sebagai penguasa ketika itu berperan banyak dalam pengembangan masjid di Medan khususnya. Namun, sejarah Kesultanan Deli yang kerap bekerjasama degan Belanda dan Tjong A Fie (etnis Tionghoa penguasaha besar kala itu) dalam pembangunannya dianggap aneh oleh sebagian orang di Medan sekarang. Namun, hal ini tidak aneh bagi Masjid Datuk Badiuzzaman. Masjid ini dibangun pada tahun 1885. Sekarang masjid ini terletak di samping PDAM (yang dulu Istana Kedatukan Sunggal) Jl. PDAM Sunggal No.1 Medan.

Masjid seluas 19×25 meter dengan halaman seluas + 1ha ini memang tidak begitu megah kesannya. Namun, pembangunan masjid ini meninggalkan pesan perjuangan umat Islam yang sangat kuat bagi kita sekarang. Datok Amansyah Surbakti, salah satu keturunan ke–4, memaparan bahwa kalau masjid ini bisa dikatakan sebagai basis perjuangan melawan Belanda di Sunggal kala itu yang dikenal dengan Perang Sunggal. Pembangunan masjid ini juga memberikan pesan lain karena dulu pembuatan masjid ini menggunakan ribuan putih telur sebagai perekat pasir dengan batu. Pasalnya, pendirinya, Badiuzzaman, sangat menentang keras Belanda. Ia tidak mau bergantung pada Belanda yang saat itu sedang menjajah dan menguasai ekonomi, termasuk bahan bangunan.

Hampir sudah diketahui oleh banyak pihak bahwa ketika itu Kesultanan Deli selalu bekerjasama dengan Belanda dalam pengelolaan tanah rakyat. Inilah Pemicu terjadinya ‘Perang Sunggal’ ini. Pada 1870 Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli) memberikan tanah yang subur di wilayah Sunggal untuk dijadikan konsesi perkebunan perusahaan Belanda yang bernama De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa Sunggal serta rakyat wilayah Sunggal. Akibatnya, muncul perlawanan hingga 25 tahun lamanya. Ini termasuk perang besar di Hindia Belanda ketika itu.

Datuk Badiuzzaman Sri Indera, Pahlawan Surbakti, sejak masih di bawah umur 12 tahun  sudah menunjukkan keteladanan sifat-sifat pemimpin, kuat ilmu agamanya, sangat dekat dengan rakyat Sunggal serta disayangi oleh saudara dan rakyatnya. Saat usianya 26 tahun, Datuk Badiuzzaman Surbakti memimpin rapat rahasia di sebuah kebun lada, untuk mengantisipasi pengambilan tanah-tanah rakyat—yang telah dimiliki/diusahakan selama berabad-abad secara turun-temurun—oleh Maskapai Perkebunan De Rotterdam.  Sejak 15 Mei 1872 Datuk Badiuzzaman Surbakti memimpin rakyat Sunggal dengan mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dengan kekuatan pejuang bersenjata sebanyak 1500 orang.

Saat sebelum Masjid Badiuzzaman di bangun pola gerak Badiuzzaman menggunakan gerilya. Setelah masjid ini dibangun, masjid ini kerap dijadikan sebagai tempat pengatur strategi perang melawan Belanda. Pola gerakan gerilya itu dilakukan karena daerah sekitar masjid memang merupakan daerah pegunungan dan hutan, kala itu hingga ke Karo. Cukup lama hal ini berjalan.

Atas konpirasi Belanda dengan orang dalam Datuk Badiuzzaman, maka Belanda berhasil menjadikan dia sebagai tahanan Kota. Ia diminta untuk memutuskan hubungan koordinasi Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan komandan pasukan dan pejuang di daerah Timbang Langkat dan daerah hutan pegunungan. Asisten Residen Siak, Locker de Bruijne, menekan dia untuk menyerahkan gerilyawan pejuang rakyat Sunggal kepada Belanda. Namun, strategi Belanda tersebut tidak berhasil. Datuk Badiuzzaman tetap tidak mau menyerahkan mereka kepada Belanda. (Assisten Resident Siak Locker de Bruijne kepada Residen Riau 26 Mei 1872).

Karena berbagai hal dialami oleh pasukan Kedatukan Sunggal kala itu, Datuk Badiuzzaman Surbakti mengubah pola perjuangan dari penyerangan secara langsung kepada serdadu Belanda menjadi penyerangan dengan cara membakar bangsal-bangsal perkebunan Belanda dan maskapai perkebunan asing. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa tidak aman bagi tuan kebun dan keluarganya, menghentikan kegiatan produksi dan ekspansi areal. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, atas intruksinya.

Di Deli sendiri selain pembakaran bangsal-bangsal tembakau, Datuk Badiuzzaman Surbakti juga berhasil menggerakkan rakyatnya sehingga petani tidak bersedia menjual beras kepada Belanda. Akibatnya, Belanda terpaksa mengimpor beras dari Ranggoon. Pada tahun 1886 timbullah gerakan pengacauan di perkebunan (onderneming). Gerakan ini semakin meluas dan serentak terjadi di perkebunan milik Belanda dan maskapai perkebunan asing. Pembakaran bangsal dengan ranjau ini mengakibatkan tidak satu pun bangsal dapat diselamatkan (W.H.Schadee, Greschiednis van Sumatra Ooskust, Deel II).

Untuk memecah hubungan orang Karo dan Melayu Sunggal, Pemerintah Belanda  memasukkan Zending Kristen dari Netherland ke Tanah Karo dan Deli Hulu, kemudian menciptakan pula kontelir khusus untuk urusan Batak dan membendung pengaruh Islam. Politik pecah-belah ini tidak berhasil malah makin mengeratkan hubungan antara orang Melayu, Karo dan Batak yang bertekad untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan (T.Luckman Sinar, Perang Sunggal Percetakan Perwira II tahun 1996).

Akhirnya, atas penghianatan orang dalam itulah Datuk Badiuzzaman Surbakti  ditahan beserta adiknya. Mereka dibawa ke pusat Hindia Belanda kala itu. Mereka dijanjikan untuk perdamaian, tetapi mereka malah akhirnya ia ditahan seumur Hidup.

Sampai akhir hayatnya, Datuk Badiuzzaman telah menggagas, memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata bersama rakyat Sunggal, suku Karo, Gayo, Aceh dan suku lainnya dalam mempertahankan wilayah atau Tanah Sunggal dari penjajahan Belanda dengan berbasis di masjid. Ia memiliki konsistensi sikap dan perjuangan serta jiwa dan semangat tinggi. Ini ia buktikan bersama pejuang Perang Sunggal yang lain. Mereka tidak pernah menyerah kepada Belanda meski ditangkap dan dibuang sampai akhir hayatnya. [Dani Umbara]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*