Kemiskinan dan eksploitasi tengah menjadi isu sentral di hampir seluruh penjuru dunia. Problem kemiskinan menjadi penyebab munculnya sejumlah problem sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah 1 miliar penduduk dunia yang kelaparan dan jutaan anak dengan gizi buruk. Kemiskinan juga mengacaukan naluri seseorang hingga seorang ibu tega meracuni anaknya hingga tewas sebelum akhirnya bunuh diri. Kemiskinan menjadikan keluarga rentan perselisihan hingga terjadi perceraian. Kemiskinan pula yang telah mendorong jutaan kaum perempuan terjebak dalam pekerjaan yang eksploitatif. Salah satunya membuat sekian banyak perempuan menempuh perjalanan ribuan mil dan meninggalkan keluarganya menjadi pekerja migran yang rentan perlakuan tak manusiawi. Eksploitasi terhadap perempuan dalam berbagai bentuk lainnya bahkan menyerupai kondisi perbudakan. Perempuan diperas fisik, harta dan kemolekan tubuhnya demi keuntungan segelintir pemilik modal.
Begitu besarnya problem kemiskinan hingga pada September tahun 2000 perwakilan 189 negara menandatangani deklarasi yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan—MDGs-Millenium Development Goals—yang bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama “kemiskinan”. Resep mengatasi kemiskinan yang ditawarkan tak jauh dari dua agenda. Pertama: Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) dengan mendorong secara massif dan terstruktur agar perempuan masuk ke dunia kerja. Kedua: mewujudkan kesetaraan jender agar bisa dihilangkan semua penghambat baik kultur, ajaran agama maupun nilai-nilai moral bagi kiprah ekonomi perempuan. Inilah watak sejati sistem Kapitalisme yang melihat perempuan sebagai sekadar penyumbang materi untuk menaikkan GNP belaka. Risiko, eksploitasi dan beban ganda yang harus ditanggung perempuan tidak dipedulikan. Kini menjelang akhir perjalanan MDGs di tahun 2015, bisa dipastikan—dan diakui oleh banyak pemerintah pelaksananya—bahwa program pengentasan kemiskinan tersebut telah gagal total.
Bila resep Kapitalisme terbukti gagal melindungi perempuan dari kemiskinan dan eksploitasi, sebaliknya malah menyeret perempuan pada berbagai bentuk eksploitasi mirip perbudakan, apakah ada solusi yang ditawarkan Islam? Pertanyaan para perempuan intelektual dan aktifis yang tulus ingin mengubah kondisi buruk umat di atas terjawab dalam Konferensi Internasional untuk Perempuan di Jakarta akhir Desember lalu. Central Media Representative Hizbut Tahrir, Dr. Nazreen Nawaz dalam rilis Konferensi menyatakan:
Harus ada yang mengakhiri semua ini. Saatnya bagi visi politik dan ekonomi baru untuk kaum perempuan di seluruh dunia Muslim. Diperlukan lahirnya sebuah sistem yang menempatkan jaminan kebutuhan manusia di atas keuntungan materi; sebuah sistem yang menempatkan pengentasan kemiskinan melalui ditribusi kekayaan sebagai jantung perekonomiannya; sebuah sistem yang mewujudkan kebijakan ekonomi yang sehat yang mendampingkan kesejahteraan dengan keadilan ekonomi, dan tidak membangun kekayaannya dari penderitaan rakyat; sebuah negara dimana kaum perempuan secara global dapat benar-benar melihatnya sebagai sebuah model terbaik yang mampu melindungi mereka dari kemiskinan dan eksploitasi, dan memandang mereka sebagai manusia bermartabat bukan sebagai obyek penghasil kekayaan. Sistem ini adalah sistem Khilafah yang akan mewujudkan visi ini. Ini adalah negara yang sangat menghargai peran keibuan dan mewajibkan agar kaum perempuan harus dijamin nafkah dan kesejahteraannya oleh kerabat laki-laki atau oleh negara, sementara secara simultan juga memandang hak-hak ekonomi perempuan adalah sakral, termasuk hak mereka untuk bekerja di lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan dan eksploitasi.
Tawaran solusi yang disampaikan dalam konferensi tersebut menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir tidak mengajak dunia sekadar untuk mengenang masa keemasan Khilafah Islamiyah. Hizb membangun kesadaran umat bahwa Khilafah adalah bagian dari tuntutan iman. Lebih dari itu, dunia bisa mendapati Hizbut Tahrir telah menyiapkan rancangan konstitusi yang komprehensif dan rinci bagaimana negara Khilafah berperan nyata memecahkan masalah umat. Berbagai pasal dalam rancangan konstitusi Negara Khilafah dikutip dalam orasi-orasi hingga bisa memvisualisasikan bagaimana Khilafah, sistem dan lembaga-lembaganya menjamin pemenuhan peran, posisi, dan hak-hak ekonomi perempuan.
Konferensi yang diselenggarakan di Jakarta-Indonesia tersebut telah dihadiri oleh para aktivis politik perempuan, pimpinan ormas, mubalighah dan tokoh Majelis Taklim, jurnalis, akademisi, guru, profesor, aktivis mahasiswi, pengacara, tokoh masyarakat, dan perwakilan organisasi buruh. Mereka berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, juga para aktifis dan intelektual dari Malaysia dan Australia. Mereka adalah kalangan yang sangat potensial untuk membina masyarakat, menyebarluaskan kesadaran dan membangun opini publik tentang tawaran solusi Islam.
Para pembicara berasal dari berbagai kawasan di dunia di antaranya dari Sudan Afrika, Pakistan, Turki, Yordan dan Palestina, Indonesia juga dari masyarakat Western. Para pembicara tidak hanya menyerukan secara global untuk kembali kepada ekonomi Islam dan Khilafah guna mengentaskan kemiskinan dan mengakhiri eksploitasi. Mereka juga menjabarkan tentang prinsip-prinsip, kebijakan dan hukum-hukum dari sistem ekonomi Islam yang bila diterapkan dapat mengangkat Indonesia dan negeri-negeri Muslim keluar dari kemiskinan. Makalah orasi merinci bukan hanya menunjukkan hak financial security perempuan sepanjang hayatnya—bahwa tidak ada tuntutan bekerja bagi perempuan mana pun untuk memenuhi kebutuhannya—namun juga menunjukkan mekanisme Islam untuk mewujudkannya secara nyata.
Sebagai contoh: pemaparan dalil tentang kewajiban laki-laki bekerja mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya; pemaparan tentang bagaimana prinsip ekonomi Islam menjadikan kekayaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir orang, tetapi didistribusikan sehingga menghapus kesenjangan antara kaya dan miskin; pemaparan solusi tentang bagaimana lapangan kerja akan dihasilkan, bagaimana Khilafah menangani masalah pekerja migran, bagaimana meniadakan industri sweatshop, dlll; pemaparan bahwa kebijakan negara Khilafah akan mewujudkan jaminan harga pangan yang terjangkau, memastikan kebutuhan dasar semua individu terpenuhi, menyediakan secara cuma-cuma pelayanan publik berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan yang berkualitas.
Para pembicara juga menggambarkan kemampuan Khilafah untuk meminimalkan korupsi, memerangi riba/bunga dan penimbunan kekayaan, melarang privatisasi sumberdaya alam milik publik – sehingga semua orang bisa mendapatkan imbalan dari jerih payahnya secara adil, tidak dizalimi dan tidak dieksploitasi. Pengelolaan sumberdaya alam oleh negara juga akan menciptakan lapangan kerja, memampukan negara untuk banyak membangun bidang pertanian, industri dan teknologi. Dijelaskan pula bahwa tanggung jawab negaralah untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan bagi perempuan yang tidak memiliki seorang pun untuk menanggung kehidupan mereka. Contoh dari sejarah diungkap untuk menguatkan gambaran tentang bagaimana Khilafah memecahkan kemiskinan.
Pada puncaknya dibahas bagaimana penerapan prinsip dan sistem ekonomi Islam sangat bergantung pada keberadaan sistem politik Islam untuk melayani umat demi kesejahteraan mereka, bukan mengabdi pada penjajah. Hanya dengan kepemimpinan Islam sajalah, campur tangan Barat dalam politik dan ekonomi negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia akan bisa diakhiri. Hanya dengan menegakkan Khilafah Islamiyah cita-cita melindungi perempuan dari berbagai kondisi buruk bisa diwujudkan.
*****
SubhanalLah walhamdulilLah Allahu akbar. Dengan izin dan pertolongan Allah Konferensi berjalan baik dan mendapat sambutan luar biasa baik dari peserta yang hadir di ruangan maupun mereka yang mengikutinya melalui live streaming dari berbagai penjuru dunia. Pertanyaan, tanggapan dan kesan positif disampaikan oleh puluhan bahkan ratusan orang baik di dalam forum maupun melalui media sosial yang dipublikasikan. Panitia bahkan harus menyelenggarakan, “konferensi hari ke-2 (off air)” khusus untuk merespon antusiasme umat terutama dari dunia Arab. Sebagian besar pertanyaan meminta gambaran praktis kebijakan Khilafah mengatasi problem-problem faktual yang dialami perempuan. Melalui akun resmi fanpage Muslimah HTI juga banyak kita dapati dukungan dan harapan besar umat terhadap kiprah Hizbut Tahrir untuk menjelaskan lebih banyak lagi tentang bagaimana keunggulan sistem Islam dan Khilafah Islamiyah menjawab problematika yang ada.
Kalangan media juga melihat urgensitas persoalan yang diangkat dalam konferensi. Hal ini tampak dari berbagai pertanyaan yang dikemukakan oleh belasan awak media yang hadir dalam Konferensi Pers di tengah berlangsungnya acara. Pemberitaan yang cukup obyektif tentang konferensi bisa kita dapati di lebih dari 30 media portal nasional, belum termasuk media cetak dan media daerah.
Sebuah komentar unik tentang konferensi ini datang dari Dr. Noora Khalid al-Sa’d, seorang doktor sosiologi penyusun kurikulum Perguruan Tinggi untuk Perempuan di Saudi Arabia, aktifis senior pergerakan perempuan yang telah mengikuti berbagai Konferensi Perempuan tingkat dunia termasuk menjadi pengamat implementasi CEDAW, “Saya mengikuti seutuhnya video streaming konferensi perempuan ini. Sungguh luar biasa. Tidak hanya istimewa dalam tema dan penyampaian pembahasan, tapi juga menjadi pioneer dalam penyelenggaraan rangkaian acara dan kehadiran peserta (tokoh dari berbagai bidang). Konferensi ini selayaknya menjadi rujukan berbagai agenda yang membahas tentang perempuan. Mengapa media Arab dan internasional tidak banyak hadir dan memberitakan? Satu-satunya alasan adalah karena konferensi ini tidak diselenggarakan oleh lembaga PBB yang mendapatkan pembiayaan dari dana perusahaan yang menguras kekayaan rakyat.”
Demikianlah, tindak lanjut konferensi ini adalah amanah bagi kita semua untuk semakin serius menyusun kekuatan, merapatkan barisan dan menggencarkan serangan terhadap semua jenis ide, pemikiran dan kebijakan yang bersumber dari ideologi Kapitalisme. Para tokoh membutuhkan lebih banyak lagi diskusi dan penelaahan konsep Islam yang ditawarkan Hizbut Tahrir agar semakin mantap menyampaikannya ke tengah umat. Salah satu hal krusial yang mendesak dilakukan sebagai tindak lanjut konferensi adalah mencabut kepercayaan umat terhadap nilai dan sistem demokrasi. Sebagian besar umat tidak melihatnya sebagai bagian integral dari sistem Kapitalisme. Bagaimana caranya? Dengan membongkar borok-borok demokrasi, juga menunjukkan kemustahilan jargon demokrasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Harus kita tegaskan ke tengah umat, “Demokrasi memuluskan jalan untuk memiskinkan dan mengeksploitasi perempuan. Khilafah solusinya!” [Iffah Ainur Rahmah Juru Bicara MHTI]