HTI

Galeri Opini (Al Waie)

Muslimah Internasional Menggugat Kapitalisme

Pengantar Redaksi:

Sebagaimana diketahui, baru-baru ini Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) bekerjasama dengan Central Media Office HIzbut Tahrir  telah sukses menyelenggarakan sebuah Konferensi Perempuan Internasional di Grand Hotel Syahid Jakarta pada Sabtu (22/12/2012). Konferensi bertajuk, “Khilafah Melindungi Premepuan dari Eksploitasi dan Kemiskinan” ini menghadirkan beberapa pembicara tokoh Muslimah dari mancanegara. Selain tentu menawarkan Khilafah sebagai solusi tuntas, para tokoh Muslimah internasional itu juga menggugat Kapitalisme yang selama ini terus memproduksi berbagai krisis kemanusiaan, dimana perempuan menjadi salah satu korbannnya. Eksploitasi perempuan dan kemiskinan dialami oleh sebagian besar perempuan di dunia saat ini, termasuk di negeri-negeri Muslim. Berikut ini instisari orasi yang disampaikan oleh sebagian pembicara mancanegara itu.

 

Ummu Sohayb (Timteng):

Perempuan itu dihormati dalam semua aspek kehidupannya, dalam segala usia. Mereka akan tetap dalam kehormatannya sepanjang Negara Islam ada; Negara Islam yang menerapkan peraturan Allah di bumi. Perempuan di dalam Islam berperan sebagai ibu dan istri yang kehormatannya wajib dilindungi. Karena peran utamanya tersebut, tidak seharusnya dia menderita akibat dari peran yang lain.

Peran sebagai ibu dan istri meniscayakan perempuan mengemban tanggung jawab yang besar, yakni membesarkan anak-anak, mendampingi laki-laki, dan pahlawan yang akan bermitra dengan laki-laki dalam membangun negara. Tidak ada larangan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan mengejar pekerjaan. Dia bisa melanjutkan sekolah, memiliki bermacam profesi dan bekerja selama tidak mengganggu tugas alami dan utamanya, serta menabrak aturan Islam.

Dalam sejarah ada Ummul Mukminin, Khadijah ra., teladan terbaik kita, salah seorang perempuan terpandang dan pengusaha kaya di Makkah. Ada Zaenab ra., istri Nabi, membuat sekaligus menjual rantai, kemudian uangnya digunakan untuk menolong orang miskin. Ada pula asy-Syifa, perempuan yang dipercaya khaifah Umar bin Khaththab menjadi qadhi al-hisbah (hakim di pasar).

Selama pemerintahan Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-15, negara memberikan kredit bagi para perempuan yang memiliki peran besar, ahli dalam menenun karpet yang telah diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Perempuan juga memiliki peran yang kuat dalam dawawin. Di antara mereka menjadi ulama, dokter serta ilmuwan di berbagai bidang pengetahuan dan ilmu di sepanjang sejarah Islam.

Dalam Islam, wanita diijinkan untuk bekerja dan terlibat dalam transaksi ekonomi, sama seperti laki-laki. Dia dapat menginvestasikan harta; memiliki harta, tanah pertanian; berkerja di media dan banyak lagi. Wanita adalah mitra bagi laki-laki di dalam kehidupan.

Namun, tidak adanya Negara Islam (Khilafah) serta hegemoni sistem Kapitalisme saat ini telah mengubah paradigma bahwa pekerjaan bagi perempuan menjadi suatu keharusan. Banyak perempuan sekarang bekerja sebagai pencari nafkah tunggal karena kematian suaminya atau ayahnya, karena perceraian, karena ditelantarkan atau karena walinya menjadi tahanan di penjara tiran.

Kapitalisme berpandangan bahwa peran utama wanita  sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dapat mengurangi dan membatasi peran perempuan. Sebaliknya, Kapitalisme mendorong peran perempuan sebagai konsumen barang dan jasa. Akibatnya, dalam rangka memenuhi peran ini, dia membutuhkan sumber pendapatan sendiri melalui pekerjaannya. Kapitalisme juga memandang wanita sebagai komoditas. Kapitalisme tidak melihat wanita sebagai manusia melainkan dari segi feminitasnya saja. Kapitalisme mengeksploitasi feminitas wanita dengan mempermalukan martabat mereka dan membuat mereka hanya sebagai alat pemasaran.

Ummu Yahya Mohammed (Afrika):

Perempuan adalah mutiara umat; pendidik para ulama-ulama hebat. Perempuan juga menjadi kehormatan bagi umat. Rasul saw. dalam nasihat terakhirnya memerintahkan  untuk memperlakukan kaum perempuan dengan baik.

Saat ini, kita hidup dalam era yang penuh dengan konflik, ketidakadilan, korupsi, ekploitasi dan kemiskinan massal; kemiskinan yang juga melanda perempuan. Perempuan menjadi yang termiskin di antara para kaum papa.

Walaupun pemerintah melakukan bermacam upaya untuk mengesampingkan dan menutupi semua fakta buruk ini, gambaran pemukiman kumuh di samping gedung-gedung pencakar langit, keberadaan para pengemis perempuan dan tangisan dari saudari-saudari kita telah menjadi bukti tak terbantahkan.

Kenyataan tersebut memerlukan solusi, bukan sembarang solusi, namun solusi yang benar. Beberapa solusi ditawarkan seperti: pendidikan, pemberdayaan kerja, kontrol populasi dan pemberdayaan perempuan, melalui pelibatan perempuan dalam aktivitas sosial/politik. Ironisnya, pendidikan di dunia Muslim telah meningkat signifikan, tapi kemiskinan juga meningkat. Adapun pemberdayaan kerja sebenarnya adalah cara untuk keluar dari kemiskinan dengan jalan memberdayakan perempuan. Maroko adalah salah satu negara yang memimpin dalam hal ini. Di Maroko pemberdayaan kerja perempuan meningkat selama beberapa dekade sebagai pekerja tanpa perlindungan dan pemanfaatan remaja terdidik di pasar kerja. Akibatnya, para remaja ini diekploitasi dan dihinakan dengan upah rendah.

Pemberdayaan adalah tipuan lain. Saat kita melihat proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional, prosentase jumlah perempuan di jabatan tertentu seperti ekonomi, administrasi, manajerial, profesional dan posisi teknis meningkat. Namun, kemiskinan juga meningkat.

Ummu Kholid (Asia Selatan)

Banyak kalangan melihat Turki sebagai kisah sukses dan model pemerintahan yang sesuai untuk negara-negara Arab saat para diktator telah berjatuhan. Menlu AS Hillary Clinton dalam kunjungan ke Turki tahun lalu memuji kemajuan demokrasi dan ekonomi Turki yang disebutnya “luar biasa”. Kata dia, Turki bisa menjadi contoh bagi negara-negara tetangganya di Timur Tengah dan Afrika Utara yang sedang melakukan proses reformasi. Dia mengatakan, “Tingkat pertumbuhan 11% sungguh fenomenal, salah satu yang tertinggi di dunia. Apa yang saya harapkan adalah bahwa Turki akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di wilayah ini.” Tahun 2012 Komisi Eropa memuji kemajuan ekonomi dan penurunan pengangguran di Turki.

Namun, seperti negara-negara lain, sistem ekonomi Turki bertumpu pada utang dan bunga. Defisit pembayaran Turki saat ini mencapai angka 10% dari PDB (Produk Domestik Bruto) akibat ketergantungan pada modal asing. Diukur dalam dolar, angka tersebut adalah yang kedua setelah Amerika. Tingkat inflasinya sekitar 10%. Utang luar negerinya US$306 miliar lebih. Utang publik sebesar 40% dari PDB. Tak terbantahkan bahwa setiap perekonomian yang bertumpu pada utang—seperti yang telah kita lihat pada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat pada krisis global—layaknya kartu yang bisa jatuh setiap saat. Bagaimana ini bisa menjadi sistem yang dapat memberikan keamanan finansial dan stabilitas bagi perempuan?

Dampak sebenarnya dari ekonomi kapitalis Turki, saat ini 12 juta penduduk Turki hidup di bawah garis kemiskinan (16% dari jumlah penduduk). Lebih dari 14 juta orang rentan jatuh miskin. Proporsi penduduk yang memiliki masalah keuangan yang parah sekitar 60%. Pengangguran mencapai sekitar 10%. Keluarga berpenghasilan rendah bahkan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan gizi yang cukup dan seimbang.

Gagasan kapitalis, yaitu meningkatkan kekayaan dan kesejahteraan perempuan hanya dengan bekerja, sayangnya telah menjadi pandangan dominan di kalangan masyarakat Muslim di Turki. Banyak wanita merasa, mereka tidak memiliki pilihan lain selain bekerja, bahkan meski sengsara, dengan kondisi mirip perbudakan. Ini adalah apa yang diinginkan Kapitalisme, yaitu untuk memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan martabat perempuan dan hak-hak mereka.

Perempuan Turki umumnya harus bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Bekerja selama berjam-jam biasanya menunjukkan kualitas yang rendah, upah yang rendah dan kondisi kerja yang  keras. Menurut penelitian, hampir 5 juta perempuan, sekitar 57% dari perempuan yang bekerja, tidak memiliki hak kerja yang memadai. Prostitusi telah meningkat 220% antara 2002 dan 2010. Pemerintah Turki yang berhaluan “Islam moderat” telah gagal untuk membatalkan hukum yang melegalkan prostitusi. Efek berbahaya dari perendahan perempuan  yang didorong oleh kapitalis-liberal, dapat dilihat pada wanita berpendidikan dan non-berpendidikan yang relatif sama. Sebuah survei di antara pengacara perempuan mengungkap bahwa 4% dari pengacara telah diperkosa dan 84% telah menghadapi pelecehan seksual. Selama periode 7 tahun dari 2002 sampai 2009, ada kenaikan 1.400%  kasus pembunuhan perempuan di Turki.

Apa yang kita miliki di tangan kita hari ini dari ekonomi Turki yang dipuji-puji, demokratis dan sekular, yang disebut kesuksesan tidak lebih hanya fatamorgana. Pemerintahan sekular bahkan tidak mampu melindungi hak-hak perempuan sama sekali. Ini menggambarkan secara dramatis bagaimana model Islam moderat dari pencampuran beberapa tradisi Islam dengan sistem yang dibentuk dari sistem sekular dan demokrasi telah benar-benar gagal menjaga hak-hak ekonomi, kesejahteraan dan martabat perempuan.

Ummu Yaseen (Eropa)

Pandangan umum tentang  wanita yang sukses saat ini didasarkan pada cara pandang Barat, yaitu jika sukses bekerja dan mandiri secara finansial. Dia bekerja, memiliki uang sendiri, membayar semua kebutuhannya tanpa membebani negara dan tidak perlu laki-laki sebagai penopangnya. Dia secara sosial bebas dan tidak terikat pada “kehamilan dan urusan rumah tangga”. Begitu banyak wanita—di dunia Barat dan Muslim—bercita-cita untuk mencapai sukses model  ini. Mereka merasakan tekanan untuk mengejar pekerjaan atau karir agar merasa dihargai dalam keluarga mereka atau masyarakat.

Saat ini, ada banyak program di seluruh dunia Muslim yang mengarahkan perempuan ke tempat kerja sebagai sarana untuk mengakhiri kemiskinan dan memberdayakan perempuan Muslim. Jutaan dolar telah dikeluarkan dalam berbagai program untuk mempromosikan wanita Muslim  bekerja di Indonesia, Pakistan dan Timur Tengah. Jadi, ada agenda internasional serius tentang ini dan  berkembang di Indonesia.

Pertanyaannya adalah,  apakah profil wanita bekerja yang didoktrinkan Barat layak menjadi model bagi wanita Muslim  yang harus diikuti? Apakah dengan mendorong  perempuan untuk memasuki lapangan kerja benar-benar memberdayakan perempuan atau malah mengeksploitasi mereka?

Hari ini, semua pembicaraan di dunia Muslim tentang pemberdayaan perempuan melalui pekerjaan didorong oleh agenda kapitalis untuk mengamankan keuntungan ekonomi dan bukan untuk meningkatkan kehidupan perempuan. Hiliary Clinton dalam pidatonya di Konferensi di Peru dengan judul,”Kekuasaan: Perempuan sebagai Pendorong Pertumbuhan dan Inklusi Sosial,” menyatakan, “Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan regional di setiap kawasan di dunia. Di Asia Pasifik, misalnya, lebih dari $ 40 miliar  hilang dari PDB setiap tahun.”

Jadi, kampanye  agar  lebih banyak perempuan di Indonesia  memasuki dunia kerja bukanlah untuk meningkatkan taraf hidup wanita, tetapi lebih tentang peluang bagi negara-negara kapitalis Barat untuk mendapatkan pendapatan potensial   miliaran dolar.

Jika penghormatan datang dengan pekerjaan, mengapa di Inggris lebih dari 50% wanita mengalami pelecehan seksual di tempat kerja (menurut laporan tahun 2000 oleh Komisi Persamaan Kesempatan) dan seorang wanita diperkosa setiap 10 menit (menurut Departemen Kesehatan Inggris)? Mengapa di AS  seorang wanita mengalami pelecehan setiap 2 menit (menurut Departemen Kehakiman AS) dan satu dari  5 wanita mengalami perkosaan (menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS)?

Perlakuan yang merendahkan perempuan merupakan akibat langsung dari Kapitalisme yang mengeksploitasi tubuh perempuan dalam iklan, hiburan, bisnis, atau pornografi untuk mencari  keuntungan. Gambar wanita nyaris telanjang di majalah sekarang dijual di sebelah counter coklat batangan di 50.000 toko di seluruh Inggris. Lalu dimana kehormatan yang diberikan oleh “pekerjaan” kepada wanita?

Akibatnya, kita melihat wanita menunda atau menghindari pernikahan atau memiliki anak. Statistik saat ini menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan daripada sebelumnya mengalami kehamilan risiko tinggi dengan memiliki anak pertama mereka pada 40 tahun atau lebih karena mereka menempatkan pekerjaan lebih utama. Bagi banyak wanita, menunda memiliki anak sering berarti bahwa mereka berkorban tidak memiliki kehidupan keluarga yang sebenarnya mereka harapkan.

Bandingkan dengan Islam, yang tidak melihat keberhasilan seorang wanita berdasarkan berapa banyak uang yang dia hasilkan untuk keluarganya atau negara. Sebaliknya, wanita yang sukses adalah orang yang memiliki ketakwaan yang paling tinggi kepada Penciptanya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (TQS al-Hujurat [49]: 13).

Islam memberi wanita peran utama dalam kehidupan sebagai seorang istri dan ibu yang sesuai dengan sifatnya sebagai pelestari keturunan di tengah masyarakat. Ini merupakan penghargaan yang tinggi kepada wanita dan memberinya peran besar dalam mengasuh dan mendidik anak-anak dan generasi masa depan. Banyak dari kita yang akrab dengan contoh pada masa Nabi saw. ketika seorang pria datang kepadanya dan berkata “Saya telah menggendong ibuku mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali. Apakah ini membalas kebaikannya kepada saya sebagai anak?” Mendengar itu Nabi (saw) menjawab, “Itu  bahkan tidak membayar satu kontraksi rahim!”

Inilah pemberdayaan saat perempuan dan masyarakat mengakui dan menghargai peran natural perempuan  daripada menyangkal, meminggirkan, atau bahkan membenci itu.

Karena itu, sistem Khilafah—yang menerapkan semua hukum Islam pada masyarakat dan mendorong ketakwaan dan muhasabah di kalangan warganya—menjamin martabat dan hak-hak perempuan selalu terjaga.

Jadi saudariku, kita harus  menolak pemberdayaan perempuan model Barat,  yang telah dijual sebagai kebohongan untuk mengeksploitasi dan memperbudak perempuan. Mari kita hanya menerima model Islam dan sistem Islam yang benar-benar akan meningkatkan dan memberdayakan perempuan.[]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*