Menarik klasifikasi persoalan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Fahmi Amhar ketika menyoroti persoalan banjir di Jakarta kemarin. Menurut Fahmi, kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Namun, kalau banjir itu selalu terjadi, berulang dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Kalau banjir sistemik itu dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dan lain-lain maka itu sistem-teknis.
Namun, kalau itu menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dan sebagainya, maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis. Sistem non-teknis kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan pada mekanisme pasar dan proses demokratis, maka persoalannya sudah ideologis.
Karena itu, lanjut peneliti utama di Geospatial Information Agency (former Bakosurtanal), kalau benar masalahnya ideologis, maka benar bahwa usaha tuntas mengatasi banjir itu adalah dengan mengganti ideologi itu dengan Islam. Sebuah negara yang ideologinya Islam disebut Khilafah.
Benar, persoalan teknis sebenarnya telah diketahui oleh banyak pihak. Pakar-pakar lingkungan maupun tata kota juga sudah banyak bicara tentang itu. Yang menjadi masalah utama justru adalah persoalan non-teknis yang sifatnya ideologis tersebut.
Lajnah Siyasah Hizbut Tahrir Indonesia dalam analisisnya telah menegaskan, menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir adalah lari dari tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya yang merupakan persoalan ideologis, yakni keserakahan dan sikap abai terhadap pengurusan rakyat. Keserakahan Pemerintah—khususnya Pemerintah DKI Jakarta—terlihat dari bertambahnya titik banjir setiap tahun. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tindakan Pemerintah DKI membiarkan—lebih tepatnya mengizinkan—kawasan itu diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial.
Dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi telah menghilang. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh Pemda. Luas total situ di Jabodatabek pun berkurang drastis, yaitu 2.337,10 hektar untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektar untuk 184 situ. Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik pertahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah.
Akan tetapi, dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD), Pemerintah merusak lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis, dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Karena itu, program penanggula-ngan banjir apapun, termasuk rencana pemba-ngunan deep tunnel, tidak akan menyelesaikan persoalan. Pasalnya, akar persoalannya ada pada ideologi yang dianut oleh negeri ini.
Sejarah Kekhilafahan Islam telah menunjukkan betapa syariah Islam sanggup menciptakan Pemerintah yang peduli pada masyarakat dan menjaga lingkungan mereka. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan, misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah Bendungan Shadravan, Kanal Darian, Jareh, Kanal Gargar dan Bendungan Mizan.
Di dekat Kota Madinah al-Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah. Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter. Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. Pada masa Kekhilafahan ‘Abbasiyyah dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak. Bendungan-bendungan itu terletak di Sungai Tigris. Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun Bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan.
Pada dasarnya, musibah yang menimpa manusia semacam banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain sebagainya ada kalanya merupakan ujian dan cobaan (imtihân wa ikhtibâr) dari Allah SWT; adakalanya merupakan hukuman dan peringatan dari Allah SWT atas kelalaian, kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia serta aktivitas amar makruf nahi mungkar yang ditinggalkan.
Dalam konteks musibah sebagai ujian dan cobaan, seorang Muslim wajib menerima dan menghadapi semua cobaan tersebut dengan keridhaaan dan kesabaran. Seorang Muslim wajib menyakini sepenuhnya bahwa setiap cobaan dan ujian yang menimpa dirinya terjadi atas qadha’ dan ijin Allah SWT (QS 64: 11). Keyakinan seperti inilah yang akan menabahkan hatinya, mendorong dia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhkan dirinya dari keputusasaan dan keluh-kesah.
Adapun berkaitan dengan musibah sebagai ’azab’, sikap seorang Muslim adalah mawas diri, mengakui kesalahan dan kelalaiannya serta segera bertobat kepada Allah SWT. Ia menyadari sepenuhnya bahwa azab Allah tidak akan dijatuhkan kepada hamba-Nya, kecuali setelah mereka melakukan kezaliman, kefasadan dan kemaksiatan (QS 28: 59; 46: 35; 44: 37); juga karena mereka telah melalaikan aktivitas amar makruf nahi mungkar (QS 8: 25).
Kunci untuk membebaskan diri dari dosa, bencana dan kesulitan adalah tawbat[an] nashûhâ (tobat yang tulus) dan amar makruf nahi mungkar. Intisari dari tobat adalah meninggalkan kemaksiatan dan kembali menaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Meninggalkan kemaksiatan diwujudkan dengan cara mencampakkan semua perkara yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Adapun mentaati Allah SWT terefleksi dalam bentuk menjalankan Islam secara menyeluruh dan konsisten di seluruh dimensi kehidupan.
Walhasil, perjuangan untuk menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah wujud tobat kita kepada Allah SWT. Sebab, dengan tegaknya Khilafahlah seluruh syariah Islam bisa diterapkan dan seluruh kemaksiatan bisa diberantas. Negara Khilafah juga akan menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia menjadi cahaya bagi manusia. [Farid Wadjdi]