Pengantar Redaksi
Konferensi Perempuan Internasional, yang digelar di Indonesia pada bulan Desember 2012 lalu, begitu penting artinya bagi solusi persoalan kemiskinan dan eksploitasi yang dialami perempuan. Tak hanya perempuan di negara-negara miskin saja, perempuan yang hidup di negara Barat yang dicap sebagai negara maju tak luput dari kemiskinan dan eksploitasi. Hal ini tergambar dari paparan para pembicara yang mewakili kawasan Asia, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Konferensi yang mengambil tema “Khilafah Melindungi Perempuan Dari Kemiskinan dan Eksploitasi” ini dihadiri oleh lebih dari 1200 tokoh dan aktivis perempuan yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan Ambon. Hadir juga peserta dari Australia, Inggris dan negeri jiran Malaysia.
Dalam sambutannya, Ustadzah Ratu Erma Rachmayanti memaparkan bahwa Konferensi ini akan mempresentasikan model pemerintahan Khilafah sebagai sebuah sistem yang mencakup cara pandang yang luhur terhadap perempuan; menawarkan kebijakan ekonomi yang sehat dan mampu melepaskan mereka dari belenggu kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan ekonomi, mengakhiri eksploitasi perempuan, menghapus penderitaan dan membawa perubahan nyata bagi kehidupan mereka.
Untuk memahami secara lebih jelas wacana di atas, berikut adalah petikan wawancara Redaksi bersama Ustadzah Ratu Erma Rachmayanti, Ketua DPP Muslimah HTI. Redaksi juga secara terpisah mewawancarai Dr. Nazreen Nawaz, salah seorang pembicara dari Inggris dalam Konferensi tersebut.
Apakah tema Konferensi ini mempunyai relevansi yang kuat dengan publik Indonesia?
Tentu saja. Kemiskinan sudah sangat akut di negeri ini. Jumlah orang miskin Indonesia mendekati angka 30 juta orang pada tahun lalu. Sekitar 70% dari jumlah tersebut adalah perempuan. Berarti ada sekitar 21 juta perempuan miskin. Di sekeliling kita, realita kemiskinan begitu jelas terlihat. Rumah tak layak huni, malnutrisi, pengangguran, anak putus sekolah, pengemis, problem buruh, dll, semuanya merepresentasikan kemiskinan.
Kemiskinan mendorong perempuan untuk bekerja. Ada yang memilih bekerja di dalam negeri, dan ada yang memilih di luar negeri. Di tempat bekerja itulah, mereka dieksploitasi. Gaji yang didapat tak sepadan dengan tenaga dan waktu yang dicurahkan, bahkan ada yang tidak dibayar gajinya. Ada juga yang disiksa majikan, diperkosa, ditipu, bahkan dibunuh. Fakta kemiskinan dan eksploitasi perempuan Indonesia sangat kasatmata.
Sebenarnya, banyak orang menyadari bahwa kemiskinan dan eksploitasi ini harus diakhiri. Hanya saja, mereka tidak paham bagaimana mengurai masalah dan mengakhirinya. Banyak orang menganggap bahwa kesalahan berasal dari individu pemimpin. Karena itu, menurut mereka, pemimpin harus diganti dengan sosok yang arif-bijaksana, adil, jujur, bukan koruptor. Sebaliknya, sistem dan aturan yang ada saat ini mereka pandang masih layak pakai.
Karena itulah konferensi ini bertujuan memahamkan umat bahwa justru sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistis buatan manusia itulah yang menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan dan kesenjangan.
Indonesia menerapkan model pemerintahan demokrasi dan ekonomi kapitalis sejak republik ini ada. Artinya, bangsa ini sudah sangat lama disengsarakan. Kita membutuhkan jalan keluar masalah yang benar, sistem pemerintahan yang adil dan mensejahterakan. Itulah Khilafah, sistem pemerintahan Islam dari Rabb al-‘âlamîn.
Negeri ini sebenarnya kaya-raya. Namun, mengapa kemiskinan menjadi masalah besar?
Benar, Indonesia dianugerahi oleh Allah SWT banyak kebaikan. Jumlah penduduk besar; mayoritas Muslim. Wilayah negara yang luas; ada 17.504 pulau lengkap dengan kekayaan alamnya yang melimpah-ruah. Namun, dalam percaturan politik dunia, negeri besar ini berposisi sebagai ‘pengekor’ negara adidaya AS, setidaknya sampai beberapa saat ke depan, karena tidak lama lagi, insya Allah, posisi AS akan digantikan oleh Khilafah.
Posisi ‘pengekor’ tidak mempunyai corak interaksi yang bebas, cenderung didikte. Karena itu model pemerintahan dan pengaturan ekonominya sama dengan yang diikuti, yakni model pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi liberal. Yang menjadi penguasa di sini dipromosikan oleh korporasi asing, dan sebagai balas budi, korporasi asing dipersilakan mengambil kekayaan Indonesia. Faktanya kasatmata. Di Papua gunungnya menjadi tambang emas PT Freepot. Di Sumatera, Jawa dan Kalimantan, tanah dan lautnya menjadi ladang minyak dan gas ExxonMobil, Total, dsb.
Kemudian, mayoritas rakyat berebut ‘tetesan’-nya saja. Hanya saja, karena luar biasanya kekayaan kita, beberapa rakyat yang dapat ‘tetesan’ sudah bisa menikmati dan menjadi kayaraya dan tidak merasakan kemiskinan. Namun, mayoritas rakyat lainnya tidak mendapat apa-apa. Mereka bekerja di pabrik, di sektor non formal, di kantor-kantor, yang sumber gajinya bukan dari kekayaan alam, tetapi banyak dari pajak yang juga dipungut dari rakyat sendiri. Lebih tragisnya lagi, rakyat negeri kaya-raya ini mencari makan di negara orang lain.
Jadi, dengan model pemerintahan demokrasi dan ekonomi kapitalis ini, distribusi kekayaan tidak merata. Jumlah besar kekayaan diambil korporasi asing. Penguasa mendapat bagian ‘sedikit’. Apalagi mayoritas rakyat, tidak mendapat apa-apa. Biaya infrastruktur, operasional layanan publik berasal dari pinjaman luar negeri. Kemudian operator layanan publik ini pun sudah tidak murni punya pemerintah. Akibatnya, semua layanan dikomersilkan, dijual kepada rakyat dengan harga tinggi. Sangat mudah dibayangkan kalau rakyat ini merasakan kesempitan hidup.
Kalau sudah begini, siapa saja akan bekerja apa saja untuk bertahan hidup. Kaum perempuan juga terpaksa bekerja dan mengorbankan segalanya. Sungguh, kapitalime telah mengobarkan perang terhadap peran utama perempuan sebagai seorang ibu. Kaum perempuan menjalani kehidupan dalam kondisi yang abnormal.
Mengapa bisa demikian?
Ya, karena Kapitalisme yang menjadi sumber bencana kemiskinan ini telah mewajibkan perempuan bekerja; tidak mewajibkan laki-laki, para wali untuk menafkahi istri dan anaknya. Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa perempuan tidak wajib bekerja. Hak nafkahnya ada di pundak laki-laki. Namun, di bawah Kapitalisme, perempuan telah beralih fungsi menjadi mesin ekonomi dan dibebani tanggung jawab ‘menyelamatkan’ kondisi ekonomi keluarga.
Fungsi ibu sebagai ‘madrasah ûla’ bagi putra-putri mereka tidak berjalan. Pendidikan akidah, syariah, akhlak dan pembentukan kepribadian anak yang wajib dilakukan oleh ibu tidak terjadi. Selain itu, ibu bekerja tidak merasakan kenikmatan mengurus dan mendidik anak. Tidak bisa merasakan ungkapan rasa terima kasih dari anak-anak karena telah menjaga dan mendidik mereka. Kadang justru yang diterima adalah berbagai tuntutan dan kecaman anak yang kurang mendapatkan kasih sayang. Sungguh menyedihkan.
Celakanya lagi, bagi sebagian ibu yang mendapat ‘sukses’ dengan imbalan hasil kerja yang besar, kesedihan dan rasa tidak bersalah karena pengabaian fungsi keibuan ini tertutupi dengan hitungan sejumlah rupiah. Padahal sebenarnya, perasaan bangga dan bahagia menjadi ibu itu tidak bisa dibayar dengan harta dunia, melainkan hanya layak diganti dengan surga yang nilainya tentu jauh dengan hitungan rupiah tersebut.
Di sisi lain, sistem demokrasi sesumbar bahwa agar perempuan terpenuhi hak-haknya maka ia harus sejajar dengan laki-laki. Realitanya? Jauh panggang dari api. Kesejajaran ini justru melegalkan tindakan abai laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki tidak harus menafkahi perempuan, karena perempuan bisa menafkahi dirinya. Laki-laki tidak harus melindungi perempuan dan bertanggung jawab kepada mereka, karena perempuan sudah setara, bisa melindungi dirinya sendiri.
Dampak lanjutannya, fungsi kepemimpinan (qawwam) suami akhirnya terkikis. Struktur keluarga pun mulai goyah. Kondisi tidak harmoni ini tak jarang diakhiri dengan perceraian. Kemudian, tiba-tiba istri menjadi kepala keluarga, dan menjadi ‘wali’ terhadap anak-anak mereka. Posisi wali yang ditetapkan Islam berada di pundak laki-laki dipaksa beralih ke pundak perempuan. Ini adalah kondisi tidak normal yang sebenarnya bertentangan dengan fitrah perempuan itu sendiri.
Korban berikut dari rusaknya peran keibuan dan rusaknya keluarga adalah anak-anak. Realita menunjukkan bahwa anak-anak korban perceraian, mengalami frustasi berat. Mereka lari ke luar rumah dan bergabung dengan komunitas yang dianggap bisa menenteramkan diri sesuai persepsinya. Akhirnya, problem anak semakin banyak, karena mereka memilih narkoba, drugs, seks bebas sebagai pelampiasan masalahnya.
Seberapa penting Khilafah bagi kehidupan perempuan?
Sangat penting. Sangat bisa dipahami bahwa perempuan sangat membutuhkan Khilafah, karena syariah Islam menghormati perempuan dengan tidak mewajibkan ia mencari nafkah. Suami atau walinya berkewajiban memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan begitu ia bisa fokus menunaikan kewajiban utamanya mengurus keluarga dan mendidik anak-anak. Ia tak perlu dibebani dengan peran ganda. Ia bisa hidup normal karena hukum perwalian tidak ada pada dirinya. Ia menikmati kebahagiaan hidup sesuai dengan fitrah penciptaannya. Islam telah memuliakan perempuan dengan menjadikan ia seorang ibu yang di bawah telapak kakinyalah ‘surga’ diletakkan.
Khalifah akan memaksa suami dan wali yang tidak mau melakukan kewajiban menanggung nafkah anak dan istrinya. Khalifah akan menindak siapa saja yang melalaikan kewajibannya terhadap perempuan. Khilafah bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja. Khilafah akan membangun pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menghilangkan pengangguran massal. Khilafah akan menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan gratis.
Jadi, andai seluruh perempuan memahami bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya terhadap mereka, dan bagaimana Khilafah bekerja dalam menjamin pemenuhan hak-hak mereka, niscaya tak ada satu pun yang menolak penerapan syariah Islam dalam wadah Khilafah. Karena itu Konferensi ini mengajak para perempuan memahami Islam dengan utuh dan menyeru untuk turut dalam perjuangan penegakan kembali Khilafah sebagai solusi tuntas persoalan perempuan. Tak pernah ada kemiskinan yang tak terselesaikan dalam Khilafah. Tak pernah ada pelecehan dan eksploitasi yang dibiarkan tanpa ada hukuman. Khilafah mempunyai mekanisme sempurna memenuhi kebutuhan hidup setiap orang; mempunyai sistem hukum jitu menyelesaikan setiap problem kemanusiaan.
Sejauh ini, bagaimana respon perempuan terhadap seruan perjuangan ini?
Di setiap acara yang diadakan, secara konsisten kita menjelaskan gambaran bagaimana Khilafah memerankan fungsinya, bagaimana Khilafah bekerja untuk mengurusi berbagai bidang kehidupan, dan bagaimana Khilafah mampu memberikan perlindungan kepada perempuan. Dalam dua bulan terakhir ini, berturut-turut kita mengadakan acara untuk Muslimah dari kalangan berbeda. Mahasiswi, mubalighah, remaja, praktisi, dan tokoh-tokoh Muslimah yang kita kontak sudah menyadari urgensi Khilafah sebagai solusi dan wajib ditegakkan.
Mereka menyadari bahwa masing-masing wajib memikul tanggung jawab untuk mengupayakan tegaknya Khilafah dengan sungguh-sungguh. Sudah banyak yang bergabung dalam barisan perjuangan ini. Mereka pun merasa mendapat jawaban jelas dan tuntas terhadap berbagai pertanyaan di benak mereka yang belum pernah terjawab sebelumya terkait dengan problematika keumatan.
Saya melihat bahwa hari demi hari, Muslimah yang menyadari urgensi Khilafah semakin bertambah. Bahkan ada kebahagiaan dan keharuan yang menyeruak ketika kesadaran ini ada pada kalangan remaja. Sungguh benar, potensi besar ada pada mereka. Jika kita mengarahkan potensi ini dengan benar dan kita berdayakan sebagaimana mestinya, maka generasi mendatang yang berkualitas baik sudah di depan mata. Begitu pula dengan dukungan yang diberikan kalangan mubaligah, menambah luas penyebaran dakwah, karena di belakang mereka ada sejumlah besar perempuan yang menjadi pengikutnya.
Walhasil, respon yang diberikan adalah positif, menggembirakan dan membahagiakan. Ini adalah bukti janji Allah yang akan memberi kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang menolong agama-Nya.[]