Korupsi tidak berdiri, ini kan semacam arisan. Karena semua kan berkoalisi. Sebab, hujannya kan merata, kecuali kalau sendiri,” kata Marzuki Alie (04/02/2013) di Jakarta.
Pernyataan Marzuki dilontarkan setelah kian panasnya kasus korupsi di Tanah Air yang melibatkan elit-elit parpol yang berkoalisi dalam Setgab (Sekretariat Gabungan). Semua parpol yang bernaung di bawahnya terjerat kasus korupsi. Itulah sebabnya, elit parpol Demokrat sekaligus Ketua DPR RI ini menganalogikannya dengan ‘hujan yang merata’. Semua melakukan. Semua diseret ke pengadilan.
Meratanya korupsi di parpol-parpol besar juga ditunjukkan dari data Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menunjukkan sepanjang 2004-2011 Presiden menerima permohonan izin pemeriksaan ratusan pejabat negara dari parpol dalam perkara korupsi. Dari jumlah itu, Partai Golkar bertengger di urutan teratas dengan 64 orang, disusul PDIP (32) dan Demokrat (20). Itu belum termasuk kasus yang bertebaran selama 2012 hingga awal 2013 ini. Jadi, memang sulit untuk membantah pernyataan Marzuki di atas.
Kian besarnya bola korupsi di negeri ini merupakan gambaran rapuhnya pemerintahan digerogoti korupsi. Seperti kata pepatah: ikan membusuk dari kepalanya. Korupsi banyak dilakukan elit parpol dan pemerintahan. Kementerian Dalam Negeri mencatat sejak 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat korupsi. Mereka mulai dari gubernur, walikota, bupati hingga anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
Sepanjang kurun waktu itu ada 277 gubernur yang terjerat korupsi. Di tingkat kabupaten dan kota dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Menurut Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, itu belum meliputi bawahan mereka yang kongkalikong melakukan kejahatan tersebut. Secara umum, menurut Djohan, minimal ada lima bawahan yang terlibat kasus sama. Adapun jumlah anggota DPRD juga tidak kecil. Dari 2008 jumlah anggota dewan di daerah, ada sekitar 431 yang terlibat korupsi.
Tidak heran bila indeks korupsi RI tidak pernah membaik. Indeks tingkat korupsi di Indonesia dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118 pada 2012. Indikasinya, tindak pidana korupsi pun masih kerap terjadi. Tingkat korupsi tersebut merupakan laporan hasil survei lembaga Transparency Internasional (TI) yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Dari situs resmi TI, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari 0 yang terkorup dan 100 merupakan negara terbersih. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia.
Praktik suap-menyuap juga makin sering terjadi di Indonesia. Transparency International meluncurkan bribe payer index tahun 2011. Hasilnya, menempatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terbawah negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri.
Bribe payer index (BPI) merupakan hasil survei yang dilakukan secara berkala oleh Transparency International. Survei BPI dilakukan terhadap 28 negara yang secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia, dengan total rasio foreign direct investment dan ekspor global sebesar 78 persen.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Luky Djani, di Jakarta, BPI 2011 memotret praktik suap yang dilakukan pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili kelompok usaha tersebut.
Demokrasi Biaya Tinggi
Publik tidak bisa lagi membantah bahwa korupsi menjadi-jadi dalam sistem demokrasi. Ini bukan tudingan kosong tanpa bukti. Selain akibat sanksi pidana yang terbilang ringan (sebagai catatan, Angelina Sondakh yang menilep uang negara sebanyak 14,5 miliar hanya dihukum 4,5 tahun), korupsi di alam demokrasi diakibatkan oleh demokrasi yang memang berbiaya tinggi. Apalagi setelah muncul kebijakan Pilkada.
Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menyatakan korupsi di pemerintahan dan parpol kian kencang setelah UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan. Ini menyebabkan biaya politik mendadak melonjak tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Melalui UU tersebut rakyat langsung memilih kepala daerahnya sendiri. Akibatnya, kebutuhan dana calon kepala daerah menjadi besar.
Karena itu calon kepala daerah banyak yang bergerilya mencari dana kampanye. Dana itu bisa didapat dengan dua cara. Pertama: melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Ini akan memaksa anggota dewan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka dengan cara ilegal seperti korupsi, fee proyek atau mark up proyek, dsb. demi membiayai Pilkada jago dari parpol mereka.
Kedua: menerima sumbangan dari broker-broker politik yang menginvestasikan uang mereka dalam Pilkada kepada calon-calon kepala daerah. Saat sang calon menjabat kepala daerah, mereka akhirnya terjerat rente dalam jumlah besar. Akhirnya, mereka tunduk pada kemauan para broker tersebut untuk memuluskan proyek-proyek bisnis mereka. Ambil contoh, dalam Pilkada Jawa Barat pada tahun 2013 ini setiap kandidat gubernur harus menyiapkan dana kampanye Rp 25 juta untuk tiap desa. Di Jawa Barat ada 5.953 desa. Bila seluruh desa itu disambangi setiap calon gubernur Jawa Barat maka dibutuhkan dana sekitar Rp 175-350 miliar. Jelas tidak mungkin dana sebesar itu didapat dengan hanya mengandalkan sumbangan kader parpol atau simpatisan mereka.
Kongkalikong yang sudah nyata secara hukum adalah yang dilakukan Pengusaha Siti Hartati Tjakra Murdaya dalam kasus dugaan suap kepada Bupati Buol, Amran Batalipu. Perkara ini terkait dengan pengurusan hak guna lahan kelapa sawit perusahaan milik Hartati, yang membuka lahan baru di kawasan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Hartati diduga membuat kesepakatan dalam penerbitan hak guna lahan seluas 70 ribu hektare di Bukal.
Menjelang Pemilu 2014 diperkirakan korupsi dan praktik suap oleh kader parpol diperkirakan akan semakin tinggi intensitasnya. KPU mengiyakan bahwa godaan finansial akan semakin besar menjelang perhelatan akbar di negeri ini. KPU mengungkapkan ada sejumlah petinggi parpol yang berusaha melobi sejumlah komisioner KPU agar meloloskan parpolnya saat verifikasi parpol peserta pemilu berlangsung.
“Nanti ada tahapan pencalegan. Itu ada caleg-caleg yang tidak memenuhi syarat, menggoda komisioner atau menggoda sekretariat. Nanti juga pada perhitungan, itu rentan digoda lagi. Kemudian pengalokasian kursi, penetapan calon terpilih itu adalah zona-zona yang rentan dalam proses Pemilu ini,” terang Sigit Pamungkas yang merupakan Komisioner KPU.
Dilegitimasi
Untuk mencegah terus ambruknya sistem demokrasi, para politisi dan pemerintah berupaya meminimalisasi terjadinya penyanderaan parpol oleh broker atau investor politik. Caranya adalah dengan mengatur besaran dana sumbangan kepada parpol. Dengan adanya aturan tersebut maka diharapkan parpol akan tetap independen, tidak terkooptasi para donaturnya.
Namun, dalam kenyataannya, DPR justru menjadikan celah kolusi dengan para broker politik kian lebar. Dalam UU No 51 Tahun 2010 Tentang Parpol yang disahkan oleh DPR, disebutkan sumbangan dana Parpol dari satu pengusaha maksimal Rp 7,5 miliar pertahun anggaran. Angka itu meningkat hingga Rp 3 miliar jika dibandingkan dengan UU Parpol sebelumnya, yakni maksimal Rp 4,5 miliar. Alasannya, kenaikan plafon sumbangan akan mengamankan parpol dari mencari dana ilegal, dengan syarat, sumbangan tersebut dilakukan secara transparan.
Argumen itu sulit diterima logika. Dengan menaikkan nilai sumbangan maka parpol dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi ‘kuda troya politik’ yang akan diisi oleh kalangan politisi oportunis dan pebisnis pemburu rente. Kalangan seperti inilah yang akan mengisi pemerintahan dan parlemen. Tidak mengherankan bila kemudian tidak ada satu pun peraturan yang dihasilkan parlemen yang benar-benar membela kepentingan rakyat. Hampir seluruhnya justru mengakomodasi keinginan para pengusaha.
Lobi politik, suap dan korupsi adalah modus sama di setiap negara demokrasi. Amerika Serikat yang sudah menerapkan demokrasi selama lebih 200 tahun lebih dulu berada dalam pengaruh lobi para pengusaha kakap ataupun kelompok-kelompok lain yang berpengaruh. Akan tetapi, lobi, suap dan korupsi yang dilakukan pengusaha dan penguasa AS dilakukan dengan halus dan tak tampak oleh kebanyakan orang.
Pada tahun 2010, industri tembakau menghabiskan dana sebesar 16.6 juta US$ untuk melobi Kongres. Industri rokok raksasa seperti Philip Morris, R. J. Reynolds Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co mempelopori lobi tersebut. Mereka bahkan ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian dari dana itu dipakai anggota Kongres dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar pemerintah tidak terlalu ketat dalam menerapkan regulasi tembakau.
Lobi ini membuat pemerintah AS bersikap mendua dalam keputusan regulasi tembakau. Di satu sisi mereka mengakomodasi tekanan publik agar dilakukan pembatasan peredaran rokok, tetapi mereka juga tidak mau kehilangan income dari industri tembakau yang berkontribusi 27 juta US$ pertahun.
New York Times edisi 9 Juni tahun lalu juga menurunkan bukti telah terjadi kolusi antara pemerintah Obama dengan perusahaan-perusahaan farmasi di AS seperti Big Pharma yang dilakukan pada tahun 2009. Dari bocoran email diketahui bahwa Obama menyetujui permintaan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut untuk tidak menurunkan harga obat-obatan. Sebagai imbal baliknya, industri farmasi akan memberikan dana hingga 80 juta US$ untuk membantu program kesehatan pemerintah yang dinamakan Obamacare.
Pemerintah AS juga selalu setengah hati menerima desakan warganya dalam soal pembatasan peredaran senjata berapi. Hal ini karena kuatnya lobi NRA (National Rifle Association) terhadap Gedung Putih dan Kongres. Rencana Pemerintah Obama mengetatkan distribusi senjata pasca sejumlah insiden penembakan tahun lalu mendapat tentangan keras dari NRA. Ini tak lepas dari upaya mereka menyelamatkan produksi senjata di AS yang bernilai 11 miliar US dolar pertahun. Padahal mayoritas rakyat AS menginginkan pengetatan penjualan senjata setelah berulangkali terjadi insiden penembakan yang dilakukan warga sipil.
Ralph Nader seorang politisi dan penulis buku terkemuka di AS berkomentar tentang besarnya pengaruh lobi pengusaha terhadap pemerintahnya. Ia mengatakan, “Corporations have taken over the government and turned it against its own people.”
Bukan untuk Rakyat
Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 memberikan penjelasan tentang demokrasi sebagai government of people, by the people, for the people. Kredo inilah yang membuat orang demikian memuja demokrasi karena dianggap mampu memuaskan aspirasi seluruh masyarakat.
Akan tetapi, perjalanan sejarah membuktikan bahwa demokrasi hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis. Profesor Sosiologi Universitas Colombia C. Wright Mills memberikan antitesis terhadap pernyataan Lincoln. Demokrasi tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Menurut dia, struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi tiga level. Yang paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Pada bagian di atasnya adalah Kongres/DPR, partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin politik. Posisi paling puncak adalah yang disebut oleh Mills sebagai ‘the power elite’ yang terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang memainkan peranan penting dalam sebuah negara. Mills mengatakan, pemerintah dapat memperkuat militer dan para pengusaha dengan kebijakan mereka. Adapun pengusaha akan menggelontorkan uang untuk membantu kampanye politik mereka.
Alhasil, berharap bahwa demokrasi akan memenuhi aspirasi rakyat banyak dan mensejahterakan mereka ibarat pungguk merindukan rembulan; angan-angan kosong yang jauh dari realita. Demokrasi hanya manis dalam teori, tetapi busuk dalam praktik. Perjalanan sejarah bangsa ini telah memberikan pelajaran bahwa demokrasi tak kunjung menuntaskan cita-cita rakyat. Sudah saatnya kita mencampakkan sistem ini dan berpaling kepada sistem yang datang dari Al-Khaliq. Dialah Yang menciptakan manusia dan pastinya paling tahu kebutuhan manusia, yakni syariah Islam. [Iwan Januar; Lajnah Siyasiyah DPP HTI]