Sebagai sistem pemerintahan yang berporos pada rakyat, demokrasi memberikan kekuasaan (hukum) dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat berwenang membuat aturan yang akan dilaksanakan oleh negara. Dalam pelaksanaan-nya, meski rakyat yang diserahi kedaulatan, hanya kalangan tertentu saja dari rakyat yang memiliki pengaruh di tingkat kebijakan, bukan keseluruhan rakyat.
Sejak demokrasi muncul, kendali kekuasaan berada di tangan para intelektual dan orang-orang bermodal (borjuis/kapitalis). Pada akhirnya kebijakan negara pun lebih banyak diarahkan untuk kepentingan kelompok tersebut (yaitu para kapitalis). Hingga kini, di negara demokrasi manapun, kelompok kapitalislah yang menjadi pemilik kekuasaan bahkan kedaulatan. Mayoritas rakyat dipaksa untuk mengikuti suara segelintir orang yang mampu membeli suara rakyat tersebut. Itulah demokrasi yang menyerahkan segala urusannya kepada rakyat. Maka dari itu, kelompok rakyat yang dianggap kuat (para kapitalis) yang akan menentukan arah negara.
Apa yang Sudah Demokrasi Berikan untuk Perempuan?
Demokrasi, yang sejatinya adalah sistem buatan manusia, tidak bisa terhindar dari adanya pengaruh dan perubahan sesuai dengan pendapat pribadi atau kelompok dan menggeser kepentingan nasional. Saat kekuasaan dipegang oleh penguasa yang disokong kapitalis, maka kepentingan rakyat diabaikan. Banyak sudah aturan yang dikeluarkan hanya untuk memuluskan kepentingan korporasi yang mengeksploitasi kekayaan dan juga mengintimidasi rakyat. Karena itulah, sistem demokrasi-liberal telah memproduksi jutaan perempuan miskin di seluruh penjuru dunia. Mereka dibuat tidak berpendidikan, tidak sehat, tidak aman dan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Dengan keterpaksaan mereka mengais sampah di jalan-jalan kota Karachi, Dhaka, Baghdad, mencari sisa-sisa makanan untuk meredakan rasa lapar mereka, makan dari tempat yang sama sebagaimana anjing dan hewan. Perempuan Indonesia, Bangladesh dan Pakistan dipaksa untuk bekerja ribuan mil jauhnya dari rumah mereka. Mereka sering disalahgunakan untuk bekerja seperti budak, di pabrik atau di toko-toko dengan upah yang minim, atau menjual tubuh mereka untuk kesenangan laki-laki untuk makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Perempuan, ibu dari umat ini, yang surga terletak di bawah kaki mereka, mesti mengemis di pinggir jalan kota Jakarta, Saudi Arabia, Kabul, Kairo, dan Tanzania untuk beberapa koin agar bisa bertahan hidup. Kita pun melihat kecongkakan penguasa yang menangkap ribuan wanita dan anak-anak. Mereka dilukai bahkan dibunuh di negara-negara sekular semisal Myanmar, Palestina dan Suriah. Sesungguhnya sistem inilah yang telah memandang perempuan sebagai warga negara kelas dua.
Demokrasi yang bertumpu pada kebebasan telah menjadikan keuntungan materi dan finansial menjadi prinsip fundamental dalam pembuatan undang-undang. Industri fashion, obat-obat diet dan kosmetik secara legal dibolehkan ada untuk membuat perempuan merasa bahagia dengan penampilan fisik mereka. Perusahaan multinasional ini bebas mempromosikan cita-cita fiktif dan berbahaya bagi perempuan. Industri pornografi, baik dalam bentuk produk film, majalah, dan media lainnya legal dalam sistem demokrasi. Akibatnya, masyarakat terpapar oleh berbagai rangsangan seksual dahsyat yang mendorong mereka untuk melakukan perilaku bejat free sex, homoseksual. Hasilnya? Perselingkuhan, kehamilan tidak sah, single parent, aborsi dan ragam penyakit seksual menimpa masyarakat, termasuk perempuan. Korporasi kapitalis meraup untung dengan adanya industri-industri tersebut, sementara perempuan menuai kerugian finansial, moral dan sosial.
Demokrasi-sekular ini pun mengajarkan, jika perempuan ingin hidup sejahtera dan bahagia, mestilah ia setara dan sejajar dengan laki-laki dalam ukuran materi. Ia akan dihargai dengan lembaran dolar, rupiah, riyal, yang didapat dengan keringatnya. Para pendukung kesetaraan jender pun mempromosikan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama, peran dan tanggung jawab yang sama dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik. Asumsinya, tanpa kesetaraan jender, penindasan terhadap perempuan tidak bisa dihindari.
Padahal menurut miliarder Nicholas Rockefeller, tujuan kesetaraan jender adalah untuk mengumpulkan pajak 50% lebih banyak dari masyarakat untuk mendukung kepentingan bisnis. Penulis terkenal Bernard Lewis menulis dalam bukunya, The Middle East: Faktor utama dalam emansipasi wanita adalah ekonomi, kebutuhan tenaga kerja perempuan. Kesetaraan jender adalah ciptaan Barat yang lahir untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan bukan untuk melayani kebutuhan perempuan. Termasuk kampanye ‘EVAW’ (End Violence Againts Women) di dunia Muslim yang ‘katanya’ untuk mengubah nasib perempuan dengan aturan semisal CEDAW, perjanjian internasional tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan jender. Sesungguhnya konsep-konsep tersebut tidak mendefinisikan hak dan kewajiban yang membuat perempuan dan laki-laki menjadi setara, melainkan untuk memperhatikan kebutuhan laki-laki semata. Jender adalah konsep Barat yang dibuat untuk mengelabui perempuan. Janji-janjinya adalah fatamorgana.
Harga Mahal yang Ditebus Perempuan Akibat Demokrasi
Pertama: demokrasi telah menyerang peran keibuan. Ibu yang hakikatnya dilahirkan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya harus menjadi mesin uang dan penghias kursi jabatan strategis, tanpa pernah mendapatkan penjagaan kehormatan, kesehatan, bahkan keamanan. Perempuan dipaksa menjauh dari tanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Kedua: pendidikan anak tidak maksimal. Sebagai konsekuensi dari hilangnya peran keibuan, maka pendidikan anak pun terabaikan.
Ketiga: ketidakutuhan rumah tangga. Dampak lanjutan dari pemberdayaan perempuan ala demokrasi adalah ancaman perceraian. Tingginya angka gugat cerai di kota besar (seperti Jakarta, dsb) disinyalir juga dipicu oleh kemandirian istri secara ekonomi dan politik.
Keempat: kehancuran masyarakat. Ketiga faktor sebelumnya akan mengakibatkan kehancuran masyarakat. Perubahan cara pandang ibu yang menganggap anak, suami dan rumah tangga sebagai beban menyebabkan ia enggan menikah atau lebih tenang menjadi single parent. Perceraian secara tidak langsung akan menyebabkan perubahan pada struktur masyarakat. Anak yang broken home dan tidak terdidik baik, cenderung kuat pada kriminalitas. Dampak dari ketidakseimbangan ini, akan menuai kehancuran masyarakat.
Kelima: makin mengokohkan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Banyak perempuan tidak paham bahwa kesetaraan jender, pemberdayaan perempuan, justru akan melanggengkan sistem demokrasi dan kapitalisme itu sendiri. Keterlibatan perempuan dalam perbaikan kondisi negara, tanpa semangat mengubah sistem bahkan memanfa-atkan demokrasi sebagai media untuk keluar dari problem, hakikatnya adalah bunuh diri politik.
Sungguh, demokrasi adalah sistem ilusi yang penuh kedustaan. Ia tidak mampu menjamin kesejahteraan perempuan sebagaimana yang dipropagandakan. Ia pun tidak mampu menjamin stabilitas masyarakat, keadilan ekonomi, juga hak-hak dasar manusia. Bohong jika demokrasi dikatakan berpihak kepada rakyat. Kenyataannya, pelaksanaan demokrasi hanyalah berbuah masalah bagi rakyat.
Khilafah: Tumpuan Perempuan
Pertanyaan penting bagi setiap perempuan yang harus direnungkan adalah, “Apakah nilai-nilai sekularisme, liberalisme, dan kesetaraan jender dalam demokrasi benar-benar merupakan oasis yang akan menghapus segala penindasan mereka? Atau ia hanya sebuah ‘fatamorgana’?
Ingatlah firman Allah SWT berikut:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
Orang-orang kafir itu, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu, dia tidak mendapati apapun (QS an-Nur [24]: 39).
Dari realita kerugian besar yang diderita perempuan dan masih terus dirasakan hingga saat ini, seharusnya muncul kesadaran bahwa demokrasi bukan tumpuan harapan perempu-an. Sebenarnya Allah SWT telah menjelaskan secara gamblang harapan hidup sejahtera dan mulia ada pada hukum-Nya, syariah Islam, yang sudah pernah diterapkan Rasulullah dan para Khalifahnya.
Sejarah penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah telah memperlihatkan model-model inspiratif tentang peran politik perempuan. Ketika seorang perempuan meng-kritik kebijakan Khalifah ‘Umar bin khaththab yang membatasi jumlah mahar yang menjadi hak perempuan. Tarikh ini telah memperlihat-kan bagaimana Negara Islam memberikan perhatian besar terhadap perlindungan kehormatan perempuan. Rasulullah saw. mengusir Bani Yahudi Qainuqa dari Madinah karena seorang dari mereka telah melecehkan seorang Muslimah dan membunuh Muslim. Begitu juga dengan Khalifah al-Mu’tashim yang mengirimkan tentara dalam jumlah besar untuk membebaskan seorang perempuan.
Kesejahteraan dan kemuliaan perempuan bukan dijamin oleh ide kesetaraan jender dan program pemberdayaan Perempuan yang kini diterapkan oleh Turki dan Indonesia sebagai model negara demokratis untuk negeri Muslim. Jaminan itu ada pada hukum Allah yang harus diterapkan oleh kaum Muslim yang diwakili khalifah dalam sistem pemerintahan Khilafah. Sistem ini harus ditegakkan kembali agar kesejahteraan dan kemuliaan perempuan—khususnya—kembali terasa secara nyata.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []