Pada tanggal 11 Januari, Prancis mengirimkan militer ke Mali dengan dalih untuk memerangi terorisme dan untuk mencegah berdirinya negara teroris di utara Mali. Menurut BBC, jumlah pasukan Prancis hingga akhir Januari 2013 yang diterjunkan di Mali sekitar 4000 personel. Militer Prancis melakukan operasi pengeboman menggunakan pesawat tempur, juga melakukan operasi darat. Menurut PBB, 11 orang meninggal dan 30.000 orang mengungsi akibat operasi itu.
Invasi militer Prancis ke Mali dilakukan tanpa menunggu legitimasi dari PBB, persis seperti yang dilakukan oleh Amerika ketika menginvasi Irak pada 2003 silam. Baru pada 14 Januari, Sekjen PBB Ban Ki Moon seperti yang dikutip oleh Reuter (15/1) menyampaikan bahwa aksi militer Prancis itu mendapat dukungan internasional. Aksi Prancis itu bisa dikatakan sebagai aksi sendirian. Memang ada beberapa negara yang memberikan dukungan langsung seperti Jerman, Denmark, Belgia dan Kanada; namun semuanya lebih dalam bentuk dukungan logistik, bukan pasukan. Inggris akhirnya juga memberikan dukungan logistik saja. Aadapun AS hanya memberikan dukungan dalam bentuk dukungan intelijen.
Dalam doktrin politik internasional, suatu negara biasanya akan mengerahkan militer jika kepentingan nasionalnya terancam atau untuk merealisasi kepentingan nasional. Keengganan negara-negara lainnya untuk memberikan dukungan langsung, mengindikasikan bahwa aksi militer di utara Mali itu bukan menjadi kepentingan nasional mereka. Karenanya negara-negara lain itu tidak mau mengorbankan pasukan untuk kepentingan nasional Prancis. Tampaknya, aksi militer di utara Mali itu lebih untuk kepentingan nasional Prancis, sebab Prancis melakukan aksi militer itu sendirian. Kalaupun belakangan pasukan gabungan Afrika terutama dari ECOWAS (Masyarakat Ekonomi Afrika Barat) turut diterjunkan, hal itu setelah ada mandat dari PBB. Jika demikian lalu apa motif di balik aksi militer Prancis di utara Mali itu?
Setidaknya ada tiga kepentingan di balik aksi militer Prancis itu. Pertama: kepentingan geopolitik, yaitu mengembalikan pengaruh Prancis di Mali dan mempertahankan serta memulihkan pengaruh Prancis di kawasan Afrika Barat. Kepentingan inilah yang tampaknya jauh lebih dominan saat ini, meski kepentingan ketiga yang sengaja dimunculkan dalam klaim. Kedua: kepentingan ekonomi, yaitu untuk menjamin dan mengamankan kekayaan alam berlimpah dengan menjamin akses korporasi internasional untuk mengeksploitasinya. Ketiga: untuk mencegah bangkitnya Islam politik. Ketiga kepentingan ini saling berkelindan satu sama lain.
Dulu kawasan Sahel merupakan jajahan Prancis. Kawasan itu meliputi Burkina Faso, Guinea, Mauritania, Niger, Senegal, Algeria dan Mali. Pada era kolonialismenya, Prancis memutuskan untuk menjadikan Dakar, ibukota Senegal, sebagai ibukota blok negara-negara “Afrika-Prancis”. Setelah negara-negara itu memperoleh kemerdekaan pada dekade 60-an, pengaruh Prancis tetap bercokol di sana untuk menjamin kepentingan nasional Prancis atas wilayah itu.
Posisi geografi Mali bisa dianggap sebagai jantung dari kawasan Afrika Barat. Mali berbatasan dengan pantai Gading di selatan, Burkina Faso di Tenggara, Niger di Timur, Algeria (Aljazair) di Utara, Mauritania di Barat dan di barat daya dengan Senegal dan Guinea. Semua daerah itu dulu adalah jajahan Prancis dan setelah merdeka tetap berada di bawah pengaruh Prancis. Pengaruh Prancis itu terus stabil sampai pada akhir-akhir ini saat terjadi perubahan situasi politik yang memperlemah pengaruh Prancis di kawasan Afrika Barat itu.
Pengaruh Prancis di Pantai Gading melemah setelah rezim antek Prancis Laurent Gbagbo ambruk akibat kalah dalam Pemilu November 2010 oleh saingannya Alessane Quattara yang didukung oleh AS. Pemerintahan Quattara akhirnya memenjarakan Gbagbo bersama istrinya. Dengan kemenangan Quattara itu, pengaruh AS di Pantai Gading jadi menguat, sementara pengaruh Prancis melemah.
Pengaruh Prancis juga melemah di Niger. Hal itu setelah pada 18/2/2010 Mayor Abdoulaye Adamou Harouna melakukan kudeta militer terhadap Presiden Niger Mamadou Tandja. Prancis mengutuk dan mengecam kudeta itu, sementara AS merasa senang dengan kudeta itu dan membebankan kesalahan kepada Tandja. Artinya, AS berada di balik kudeta itu. The Supreme Council for the Restoration of Democracy dibentuk pada 19 February 2010 dan diketuai oleh Salou Djibo. Lalu melalui Pemilu pada Januari 2011, Mahamadou Issaoufou yang merupakan tokoh utama oposisi semasa Tandja berhasil menang menjadi presiden Niger dan resmi dilantik pada 7 April 2011. Dengan semua itu, pengaruh Prancis di Niger melemah dan sebaliknya pengaruh AS menguat. Sampai pada tahun lalu Pemerintah Niger menyetujui pembangunan pangkalan pesawat tak berawak Amerika di Niger.
Adapun di Aljazair, sejak pemerintahan Abel Aziz Boutlefika pengaruh Prancis pun menjadi lemah. Boutlefika sendiri loyal kepada Inggris. Dia menjadikan kunjungan pertamanya sebagai presiden Aljazair ke Inggris. Di sisi lain, Boutlefika justru tidak sejalan dengan kepentingan Prancis. Ia menolak proyek Uni Mediterania yang dibawa oleh Prancis pada masa Sarkozy. Begitu juga berbagai rancangan perjanjian yang dibicarakan pada tahun 2008 dalam kunjungan Sarkozy ke Aljazair dan bertemu dengan Boutlefika ternyata tidak berjalan. Dalam krisis Mali, Aljazair juga menolak intervensi militer di sana.
Jadi pengaruh Prancis telah melemah di tiga negara tetangga Mali (Pantai gading, Niger dan Aljazair). Di tengah situasi seperti itu, di Mali sendiri terjadi kudeta pada 22 Maret 2012, menggulingkan pemerintahan Presiden Amadou Toumani Toure yang loyal kepada Prancis. Kudeta itu dipimpin oleh Kapten Amadou Haya Sanogo. Patrick Barnes, pejabat U.S Africa Command di Washington menyatakan bahwa Sanogo beberapa kali menerima pendidikan militer profesonal termasuk training dasar perwira. Sanogo beberapa kali mengikuti program pendidikan dalam program IMET. Program itu didanai oleh pemerintah AS. Perwira asing yang ikut dalam pendidikan IMET itu umumnya dipilih oleh pejabat kedutaan besar AS di negara asalnya (Washingtonpost.com, 23/3/2012).
Dengan itu, pengaruh Prancis di Mali terancam melemah. Jika itu tidak segera dihentikan maka bisa menjadi lonceng kematian bagi pengaruh Prancis di kawasan Afrika Barat. Karena itu Prancis mengintai situasi yang tepat untuk beraksi dalam rangka mengembalikan pengaruhnya di negara-negara itu. Kesempatan pertama datang di negara Mali.
Pasca kudeta Mali itu, situasi politik di Mali tidak kunjung stabil. Hal itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelomok di Utara Mali untuk menguasai wilayah utara itu. Di wilayah utara Mali yang dominan ada beberapa gerakan. Pertama: al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM). Kedua: Gerakan Persatuan dan Jihad Afrika Barat -the Movement for Oneness and Jihad in West Africa- (MUJAO), yang merupakan pecahan dari AQIM. Ketiga: Ansharuddin, kelompok pejuang islami suku Tuareg yang muncul pada tahun 2012 yang kemudian terpecah menjadi kelompok yang dinilai radikal dan yang lebih tidak radikal yaitu the Movement for an Islamic Azawad (MIA). MIA bersekutu dengan kelompok sekular nasionalis the National Movement for the Liberation of Azawad (MNLA). Wilayah utara akhirnya bisa dikontrol oleh kelompok-kelompok tersebut dan militer pemerintah bisa diusir dari wilayah utara, yaitu Timbuktu, Gao dan Kidal (gabungan tiga wilayah ini mencakup sekitar separo dari luas wilayah Mali). MNLA lalu mengumumkan kemerdekaan Azawad pada 16 April 2012.
Keberadaan kelompok Islam yang menguasa wilayah utara Mali yang memiliki spirit menerapkan syariah jelas menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi Prancis. Memang itulah yang secara eksplisit dinyatakan oleh para pejabat Prancis, bahwa aksi militer ke Mali adalah untuk menghalangi tegaknya negara teroris, yang dimaksud adalah Negara Islam. Tujuan ini jelas bukan basa-basi. “Tujuan kami adalah untuk merebut Mali secara total. Kami tidak akan menyisakan satu wilayah pun untuk al-Qaeda,” ujar Menteri Pertahanan Prancis, Jean-Yves Le Drian (AFP, Senin 21/1).
Alasan memerangi teroris itulah yang dipakai, karena mudah utuk mendapatkan dukungan di dalam negeri Prancis yang memang atmosfer ancaman Islam telah dibangun sejak lama. Alasan itu pula yang mudah diterima untuk mendapatkan dukungan internasional.
Namun, motif utama aksi Prancis itu adalah untuk mengembalikan pengaruh Prancis di Mali dan melemahkan kembali atau bahkan kalau bisa menghilangkan pengaruh AS dari Mali. Pengaruh AS terepresentasi pada diri Sanogo. Aksi militer itu dilakukan Prancis untuk menunjukkan kepada rakyat Mali bahwa Sanogo bersikpa lemah, tidak becus mengelola keamanan di Mali, tidak mampu mengendalikan situasi di Mali dan tidak berdaya mempertahankan keutuhan Mali. Dengan aksi itu pula, kontrol atas situasi di Mali tidak sepenuhnya berada di tangan Sanogo, sebaliknya bisa dikontrol oleh Prancis baik secara langsung atau melalui orang-orangnya di Mali. Disamping itu, dengan terlibat langsung dalam aksi militer bersama militer Mali yang jumlahnya hanya sekitar 7000 personel, maka Prancis bisa memulihkan pengaruhnya di tubuh militer. Dengan begitu, maka pada saat diadakan Pemilu di Mali nanti, diharapkan Sanogo tidak akan menang. Peluang keberhasilan usaha mengembalikan pengaruh Prancis di Mali memang lebih besar dibanding jika dilakukan di Pantai Gading, Niger atau Aljazair, mengingat pengaruh AS sudah relatif lebih kuat di Pantai Gading dan Niger dan pengaruh Inggris di Aljazair masih kuat. Adapun pengaruh AS di Mali bisa dikatakan masih bayi baru mau tumbuh. Karena itu, Prancis tidak mau melepaskan kesempatan ini untuk mencegah pengaruh AS tumbuh besar di Mali. Dengan berhasil mengembalikan pengaruhnya di Mali, Prancis berharap bisa menjadikan Mali sebagai titik tolak untuk mempertahankan dan memulihkan pengaruhnya di kawasan Afrika Barat. Karena itulah Prancis siap berada di Mali untuk jangka waktu yang diperlukan. Presiden Prancis, Francois Hollande mengatakan, Prancis akan melanjutkan misi tempurnya di Mali dan Prancis akan tinggal di negara itu selama diperlukan. “Kami akan tinggal selama kita perlu, tetapi tidak untuk berada selamanya di sini, ini adalah operasi singkat. Kami akan tinggal di sisi anda saat anda membangun kembali negara Anda,” kata Hollande di ibukota Mali Bamako, pada Sabtu (2/2).
Sebelum intervensi ke Mali, pemerintah Prancis berusaha keras memaksa Aljazair untuk melakukan aksi militer ke Mali. Akan tetapi, Pemerintah Aljazair menolak. Setelah mendapat tekanan hebat dari Barat, Aljazair hanya sepakat untuk memberikan dukungan terbatas sehingga jet-jet tempur Mirage dan Rafale Perancis dapat melintasi zona udara Aljazair untuk membombardir berbagai titik pertahanan milisi Mali.
Akibat dari aksi militer Prancis ke Mali, milisi Mali menyandera ratusan warga asing di Aljazair termasuk puluhan warga dari negara Barat. Lokasi penyanderaan di zona gas Amenas, Aljazair, di dekat perbatasan antara Aljazair dan Libya yang dikelola oleh perusahaan British Petroleum dan State Oil milik Norwegia dengan kerjasama perusahaan energi nasional Aljazair. Prancis tidak bisa memanfaatkan insiden ini untuk masuk ke Aljazair, sebab militer Aljazair segera bertindak menyergap milisi itu yang mengakibatkan 37 warga asing tewas dan puluhan lainnya terluka. Masalah penyanderaan itu pun selesai.
Ancaman serupa juga meluas ke Niger yang bisa mengancam kepentingan ekonomi Prancis secara langsung. Sebab di Niger terdapat tambang Uranium yang terbesar di Arlit dan Imouraren. Pemerintah Niger tidak mau ambil risiko sehingga menyerahkan pengamanan tambang itu ke pasukan khusus Prancis. Kepada saluran TV5 Prancis Presiden Niger Mahamadou Issoufou membenarkan bahwa pasukan khusus Prancis mengawal tambang uranium. Dia menambahkan, “Kami putuskan, khususnya berdasarkan apa yang terjadi di Aljazair, kami tak ingin mengambil risiko dan perlu meningkatkan pengamanan lokasi tambang.”
Keberadaan militer Prancis secara terbatas di Niger itu akan bisa menjadi peluang baik bagi Prancis dalam upayanya mengembalikan pengaruhnya di Niger. Itu adalah “buah” tak langsung dari aksi militernya di Mali.
Adapun kepentingan ekonomi dari aksi militer barat ke Mali mungkin bisa diwakili oleh penjelasan the Canadian Peace Alliance pada 15/1, “Alasan riil keterlibatan NATO adalah untuk mengamankan strategis area kaya sumberdaya dari Afrika untuk barat. Operasi perusahaan tambang emas Canada memiliki holding yang signifikan di Mali seperti halnya negara barat lainnya…”
Sekaligus itulah yang menjelaskan dukungan cepat Kanada terhadap aksi Prancis di Mali itu, yaitu dalam rangka melindungi perusahaan IAMGOLD Kanada yang mengoperasikan dua tambang emas di Mali. Mali sendiri adalah produsen emas ketiga terbesar di Afrika. Mali memproduksi 43,5 ton emas tahun 2011. Tambang emas di Mali ada di Kalana dan Morila di selatan Mali; Yatela, Sadiola dan Loulo di barat Mali, dan di Syama dan Tabakoto. Masih ada proyek lain di Kofi, Kodieran, Gounkoto, Komana, banankoro, Kobada dan Nampala.
Adapun kepentingan ekonomi bagi Prancis tampaknya tidak terlalu dominan. Kepentingan ekonomi Prancis lebih bersifat jangka panjang dan tidak langsung. Mali bisa menjadi rute strategis penyaluran minyak dan gas Sub Sahara ke barat melalu Aljazair; juga kepentingan atas potensi deposit minyak dan gas di cekungan Taoudeni yang juga mencakup wilayah utara Mali. Cekungan Taoudeni saat ini menyimpan cadangan terbesar minyak di Afrika, yang mencakup wilayah utara Mali, sebagian kecil Mauritania dan bagian selatan Aljazair, meliputi wilayah 1,5 juta km persegi dan belum dimanfaatkan. Perusahaan Prancis, Total telah membuktikan adanya cadangan minyak di cekungan ini.
Untuk Uranium, Prancis belum berkepentingan langsung. Sebab, Mali belum termasuk produsen Uranium. Betul bahwa Prancis sangat bergantung pada Uranium untuk menggerakkan 59 reaktor di PLTN Prancis yang menyuplay sekitar 78% kebutuhan listrik Prancis. Selama ini kebutuhan Uranium seluruh reaktor Prancis itu menurut the World Nuclear Association (http://www.world-nuclear.org/info/inf40.html) sebesar 10.500 ton Uranium pertahun. Sebanyak 4500 ton (42,9%) didatangkan dari tambang Uranium Areva di Kanada dan 3200 ton (30,5%) dari Niger khususnya tambang di Arlit dan Imouraren yang dioperasikan oleh Areva, perusahaan Prancis. Sisanya didatangkan dari Australia, Kazakhstan dan Russia, yang kebanyakan dengan kontrak jangka panjang.
Cadangan Uranium di Mali sendiri tersebar di tiga daerah. Yang terbesar di Falea sebesar 5000 ton, daerah Samit wilayah Gao sebesar 200 ton dan di daerah proyek Kidal, di timur laut Mali pada wilayah seluas 19,930 km persegi. Proyek ini mencakup sebagian besar daerah batuan geologi yang disebut L’Adrar Des Iforas. Cadangan terbukti Uranium di Mali itu tentu sangat sedikit dibanding kebutuhan Prancis. Karena itu kepentingan atas uranium Mali ini tidak menentukan dalam aksi militer Prancis ke Mali, sebab suplay uranium untuk Prancis sudah terjamin dari sumber yang ada dengan kontrak jangka panjang.
Mali juga kaya akan mineral tambang lain seperti besi, tembaga, bauksit, mangan, fosfat, lithium, diamond, timbal, seng, kaolin dsb. Sebagian sudah diekploitasi dan sebagian lainnya belum dieksploitasi. Memang dengan semua kekayaan itu, tentu Mali akan sangat menggiurkan bagi imperialis Barat termasuk Prancis. Namun untuk kepentingan saat ini, tampaknya kepentingan ekonomi atas kekayaan itu tidaklah dominan. Kepentingan ekonomi itu lebih pada mengamankan dan menjamin korporasi barat untuk terus bisa mengekploitasi kekayaan itu.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS HTI]