Demokrasi adalah sebuah doktrin pemerintahan, bahwa kedaulatan ada pada rakyat, baik dalam memilih sumber (rujukan) hukum yang akan diberlakukan di atas mereka, memilih siapa penguasa yang akan menerapkan hukum itu, maupun memilih apa yang mereka anggap mendatangkan manfaat bagi mereka. Secara singkat, demokrasi adalah “dari rakyat – oleh rakyat – untuk rakyat”.
Karena rakyat yang dimaksud adalah manusia, sedangkan manusia itu tempat salah dan lupa, tempat kepentingan lebih diutamakan dari persahabatan, tempat prediksi jangka panjang dilingkupi keterbatasan, maka produk demokrasi sering kontradiktif. Demokrasi di Amerika berakibat malapetaka untuk Irak dan Afganistan. Demokrasi di Belanda melegalisasi pernikahan sejenis dan menghalalkan narkoba. Demokrasi di Indonesia juga berdampak sangat negatif, baik yang terkait dengan prosedurnya maupun substansinya.
Secara prosedural, demokrasi di Indonesia dengan rangkaian Pemilu dan Pemilukada berbiaya sangat tinggi, sehingga ketika sang terpilih berkuasa, dia atau “investor”-nya akan mati-matian berusaha agar modal kembali dan meraup laba. Ini akan memicu korupsi baik secara langsung (korupsi APBN/APBD atau menerima gratifikasi dari rekanan) atau secara tak langsung melalui pembuatan peraturan yang tampak sah secara hukum namun menguntungkan dirinya, keluarganya, kroninya, atau investor baik domestik maupun asing.
Karena hanya mendapat kontrak lima tahunan, politisi yang relatif bersih pun hanya berpikir bahwa dalam lima tahun itu dia harus menghasilkan “QuickWin”, yakni suatu kebijakan yang populis, maksudnya yang hasilnya dapat cepat dirasakan rakyat. Jarang sekali politisi dalam sistem demokrasi yang berani mengambil kebijakan yang visioner, yakni yang mendasar dan berjangka panjang, yang justru baru akan dipanen atau dinikmati oleh penggantinya, yang belum tentu satu partai atau satu ide dengan dirinya. Di negara-negara maju yang relatif bersih dari korupsi, kebijakan pemerintahnya untuk menyenangkan rakyat terbukti dalam jangka panjang membuat utang negara semakin besar. Karena utang ini dibuat dengan mekanisme penerbitan surat utang atau obligasi, maka dalam jangka panjang, ini akan membuat APBN semakin berat untuk membayar utang atau nilai uang akan tertekan oleh inflasi.
Di Indonesia, tidak cuma para politisi yang gemar menghalalkan segala cara demi pemenangan permainan demokrasi lima tahunan. Sekarang ini ada indikasi para birokrat senior juga mulai tertarik pada permainan itu, karena setelah pensiun dari PNS, mereka bisa masuk partai dan melamar jadi anggota dewan. Kalau mereka terpilih, maka lima tahun kemudian mereka dapat pensiun anggota dewan. Mereka juga masih bisa melamar ke jabatan politik yang lain, seperti menjadi bupati atau bubernur; juga setelah lima tahun dapat pensiun. Kalau ini semua terjadi, aturan yang ada saat ini akan memungkinkan mereka mendapat tiga pensiun sekaligus (PNS, Anggota Dewan, Kepala Daerah). Tentu saja untuk langkah pertama, mereka harus membawa “mahar” yang diperlukan. Yang jelas, “mahar” ini tidak cukup “seperangkat alat shalat dan kitab al-Quran”.
Adapun secara substansial, demokrasi membawa paradigma, bahwa apa yang tidak dilarang oleh hukum positif (undang-undang produk demokrasi), berarti boleh, dan apa yang tidak diperintahkan oleh hukum positif, berarti tidak perlu dikejakan. Contoh konsekuensi logisnya: 1. Menghirup uap Aica Aibon tidak dilarang maka berarti “boleh”. Akibatnya, Aica Aibon dijadikan semacam narkoba oleh anak-anak kalangan miskin, dan mereka tidak perlu khawatir akan ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Hal serupa terjadi pada beberapa zat racun lain yang belum masuk dalam daftar obat terlarang BNN. 2. Karena tak ada UU yang memerintahkan negara menyantuni gelandangan, maka pemerintah tidak perlu menyantuni gelandangan, sehingga gelandangan lalu mengemis di jalanan, tinggal di bantaran sungai, dan disalahkan ketika banjir terjadi. Hal yang serupa juga terjadi pada banyak hal yang lain.
Para penggiat demokrasi substansial sering menolak atau menunda penerimaan terhadap penerapan syariah Islam, dengan alasan, karena itu belum diperintahkan oleh konstitusi. Namun, penolakan terhadap syariah Islam seperti ini berdampak sangat negatif, karena lantas banyak sekali perbuatan bodoh yang dilakukan orang—dengan alasan tidak melanggar hukum dan banyak sekali perbuatan cerdas yang tidak dilakukan—dengan alasan tidak diperintahkan. Padahal andaikata kita tidak menunggu demokrasi, tetapi langsung mengacu pada syariah Islam, kekosongan ini tidak akan terjadi.
Penikmat Demokrasi
Ketika demokrasi dipandang hanya sebagai alat (tools), maka orang akan cenderung memandang bahwa demokrasi bisa “diperalat” atau bahkan “dinikmati”, termasuk untuk perjuangan Islam. Mereka akan masuk ke dalam sistem pemerintahan, baik sebagai anggota legislatif, ekeskutif maupun yudikatif.
Kalau alat ini tetap diperlakukan sebagai alat, sedangkan tujuannya tetap idealisme, misalnya syariah dan Khilafah, maka penggunaan demokrasi ini akan berhadapan dengan sejumlah kendala ataupun jebakan yang dipersiapkan pihak lain, baik itu yang bernama tata tertib, tekanan stakeholder, maupun budaya organisasi.
Banyak tata tertib yang membelenggu mekanisme kerja di parlemen. Misalnya, rancangan undang-undang atau Perda harus diusulkan Pemerintah. Meski DPR sendiri memiliki hak inisiatif untuk mengusulkan UU, ada persyaratan yang cukup berat, seperti dukungan sejumlah anggota atau sekian puluh ribu konstituen. Belum tanggung jawab penyiapan anggaran pembahasan bila hak inisiatif ini dipakai.
Pada sisi lain, para pemangku kepentingan—baik perorangan, korporasi maupun kelompok masyarakat—tak henti-hentinya menekan anggota Dewan baik untuk memperjuangkan aspirasinya, ataupun sekadar minta perhatian (baik secara moril maupun materil) pada berbagai kepentingannya, yang kadang tidak terkait persoalan masyarakat. Begitu terpilih menjadi anggota, ratusan proposal permohonan bantuan/dana akan berdatangan. Ada yang minta sekolah atau pesantrennya direnovasi, ada yang minta bantuan hukum untuk kasusnya di pengadilan, ada PNS yang minta dukungan agar menduduki jabatan tertentu, dan tentu saja ada yang minta dibantu memenangkan tender pada dinas atau departemen tertentu. Sebagian besar mengaku sebagai konstituen yang memiliki kontribusi sehingga politisi tadi terpilih. Ini membuat fokus anggota dewan tadi terpecah, tak lagi pada persoalan politik agung, tetapi pada banyak persoalan remeh-temeh.
Pada awalnya mereka ingin menjadi “pemeralat demokrasi” atau “penunggang demokrasi”. Namun, pada akhirnya mereka justru bisa menjadi “korban demokrasi”.
Adapun kalau memang niatnya ingin menjadi “penikmat demokrasi”, maka pintu telah terbuka lebar. Sebelumnya perlu diluruskan, bahwa melakukan hal-hal yang diijinkan oleh syariah, dan kebetulan juga diijinkan oleh undang-undang produk demokrasi, tidak bisa dikatakan sebagai “menikmati demokrasi”. Kalau seseorang di masa kini dapat mengemukakan pendapat Islam di depan publik, dapat bebas berorasi mengkritik pemerintah yang abai urusan umat, atau bebas menerbitkan majalah Islam tanpa takut dibreidel, maka itu bukanlah menikmati demokrasi, karena itu memang diwajibkan syariah, baik itu diijinkan atau dilarang oleh UU produk demokrasi.
Justru sebaliknya, “menikmati demokrasi” yang sesungguhnya itu adalah ketika orang menikmati berbagai kemaksiatan yang dilindungi UU produk demokrasi, misalnya menikmati riba ala perbankan, menikmati judi ala Pasar Modal, menikmati miras berijin, menikmati aurat di layar TV, menikmati penjarahan sistemik SDA … dsb.
Demikian juga, pendukung sistem demokrasi adalah para politisi, kader dan simpatisan yang menghalalkan segala cara agar sistem yang melegalkan maksiat tadi tetap tegak.
Adapun mereka yang bekerja secara profesional di dunia akademisi, birokrasi, BUMN, maupun bisnis serta mengupayakan tatanan kehidupan yang lebih baik, mereka tidak bisa disebut pendukung [sistem yang rusak itu], sekalipun mereka adalah PNS, penegak hukum maupun para pembayar pajak, kecuali bila aktivitas mereka memang terkait langsung dengan maksiat.
Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun, manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarlah kata al-Quran:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ، فَلا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ.
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (QS al-Balad [90]: 10-11).
Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), kadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah saw. yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang mereka kuasai (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.
Ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu-persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.
Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi undang-undang. Kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!
Hanya revolusi yang dapat mendobraknya. Namun, revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya. Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakikatnya adalah sistem kufur. Akhirnya, karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekular yang kejam, bukan pula diktator korup.
Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit. []