Pengantar:
Wacana demokrasi di kalangan Muslim, termasuk para tokohnya, saat ini didominasi oleh opini bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam, dan sebaliknya. Alasannya antara lain karena unsur demokrasi terpenting adalah syura atau musyawarah yang memang disyariatkan dalam Islam. Demokrasi juga sering dikait-kaitkan dengan transparansi, keadilan, kesamaan di depan hukum, kesejahteraan dan hal-hal positif lainnya. Semua itu tentu merupakan kemaslahatan yang juga ingin diwujudkan oleh Islam.
Namun, pendapat berbeda telah lama dikemukakan oleh Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir justru melihat demokrasi bertentangan sama sekali dengan Islam, mulai dari asas hingga cabangnya. Bukan hanya bertentangan dengan Islam, demokrasi pun telah banyak menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Jika demikian, apa alasan rasionalnya bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam? Mana pula bukti-bukti bahwa demokrasi menghasilkan banyak malapetaka kemanusiaan? Lalu bagaimana umat Islam seharusnya bersikap terhadap demokrasi?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancari KH Shiddiq al-Jawi dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut pertikan wawancaranya.
Sebagian kaum Muslim beranggapan demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, karena substansi demokrasi adalah prinsip kekuasaan rakyat, yaitu rakyatlah yang memilih pemimpin yang memegang kekuasaan. Bagaimana pendapat Ustadz?
Memang ada yang berpendapat seperti itu, seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh ad-Dawlah. Saya katakan, pendapat ini ada benarnya pada satu segi. Namun, secara umum pendapat itu tetap tidak benar. Ada benarnya, karena dari segi kekuasaan atau pemerintahan, Islam memang memberikan kekuasaan itu menjadi milik umat. Inilah yang disebut prinsip as-sulthan li al-ummah. Dalilnya adalah hadis-hadis pembaiatan khalifah oleh umat. Jadi, memang ini sekilas mirip dengan prinsip demokrasi rule from the people atau pemerintahan dari rakyat. Namun, tetap ada bedanya, karena dalam Islam rakyat memilih penguasa untuk menjalankan syariah. Sebaliknya, dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum buatan rakyat, bukan hukum syariah.
Jadi, pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi itu ada benarnya dalam satu sisi, namun pendapat beliau secara umum saya anggap tetap tidak benar. Tampaknya beliau luput memperhatikan prinsip lainnya dalam demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, yang justru amat bertolak belakang dengan Islam. Kalau kedaulatan dikatakan ada di tangan rakyat, artinya kewenangan tertinggi untuk menetapkan hukum ada di tangan manusia. Ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam yang berhak menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanyalah Allah saja. Ingat firman Allah: In al-hukmu illa lilLah (QS al-An’am [6]: 57). Jadi dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah, karena syariah itu adalah wujud konkret dari hak Allah membuat hukum.
Ada juga yang berpendapat, demokrasi itu substansinya adalah musyawarah, dan itu kan justru disyariatkan?
Banyak orang bicara seperti itu. Misalnya, Presiden RI pertama, Soekarno. Dia pernah bilang demokrasi bagi umat Islam adalah musyawarah. Saya menentang Soekarno, juga menentang pendapat keliru seperti ini. Pertama, karena musyawarah dalam Islam itu tidak pas kalau dikomparasikan dengan demokrasi. Musyawarah itu artinya adalah pengambilan pendapat menurut ajaran Islam (akhzdur ra‘yi fi al-Islam). Adapun demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dari Barat. Jadi membandingkan atau menyamakan musyawarah dengan demokrasi menurut saya nggak level, istilahnya tidak apple to apple. Mestinya demokrasi itu dibandingkan dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, bukan dengan musyawarah. Ini yang pertama. Kedua, kalau demokrasi dengan musyawarah tetap dibandingkan, akan banyak perbedaannya. Dalam hal siapa yang berperan serta musyawarah beda dengan demokrasi. Al-Quran menegaskan, peserta musyawarah hanyalah Muslim, bukan non-Muslim. Ayat wa syawirhum fi al-amri (bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam segala urusan, QS Ali ‘Imran [3]: 159), juga ayat wa amruhum syura baynahum (urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka, QS Syura’ []: 38), menunjukkan sebenarnya kata “mereka” (hum), adalah kaum Muslim saja, tidak mencakup kaum non-Muslim. Sebaliknya, dalam demokrasi, yang berperan serta tidak ada batasannya, bisa siapa saja, Muslim atau non-Muslim. Ketiga, dalam hal kriteria pendapat yang diambil juga berbeda. Dalam demokrasi, kriterianya adalah suara mayoritas untuk semua persoalan. Dalam Islam, kriterianya tidak selalu suara mayoritas. Untuk persoalan-persoalan teknis sederhana yang hukumnya mubah, kriterianya memang suara mayoritas. Namun, dalam persoalan-persoalan normatif yang menyangkut hukum, kriterianya bukan suara mayoritas, melainkan dalil syar’i, yakni mana dalil syar’i yang paling kuat. Untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan keahlian, kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat yang paling benar, yang datang dari para ahlinya.
Namun, dengan demokrasi itu ada keterbukaan, terbuka kesempatan mengoreksi, pemerataan kesempatan dan rakyat bisa memperjuangkan haknya. Jadi, jatanya, demokrasi itu tetap penting. Bagaimana komentar Ustadz?
Apa yang disebut sebagai keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya itu tidak dapat menjadi dalil untuk mengadopsi demokrasi atau dalil atas kebolehan umat Islam berperan serta dalam sistem demokrasi. Mengapa? Karena hal-hal yang disebut tadi hanyalah persoalan cabang dari persoalan pokoknya, yaitu demokrasi. Selama demokrasi sebagai persoalan pokoknya bertentangan dengan Islam, maka demokrasi tetap tak boleh diambil atau diamalkan umat Islam, meski dalam persoalan cabangnya tidak bertentangan dengan Islam. Analoginya begini. Agama Kristen konon mengajarkan kasih sayang kepada sesama, mengajarkan kepedulian kepada manusia yang menderita atau terkena musibah. Saya tanya, apakah lalu boleh seorang Muslim memeluk agama Kristen dengan alasan toh Islam juga mengajarkan kasih sayang dan kepedulian kepada sesama? Tetap tidak boleh, bukan? Karena kasih sayang atau kepedulian itu kan cuma persoalan atau ajaran cabang dalam Kristen, yang mungkin secara lahiriah tak bertentangan dengan Islam. Jadi, yang perlu dilihat bukan persoalan cabangnya itu, melainkan justru persoalan pokok dalam akidah Kristen itu sendiri, semisal teologi Trinitas yang jelas-jelas kufur dan bertentangan secara total dengan Tauhid (QS al-Maidah [5]: 72-73).
Lalu bagaimana mau melakukan perubahan kalau tidak melalui sistem demokrasi?
Perubahan seperti apa dulu? Kalau yang dimaksud adalah perubahan yang bersifat parsial, misalnya perubahan kebijakan atau kultur tertentu pada departemen tertentu, semisal pada Departemen Pertanian atau Departemen Sosial, mungkin ada benarnya masuk demokrasi itu dikatakan penting. Namun, jika yang dimaksud adalah perubahan total, yaitu mengganti sistem demokrasi menjadi sistem Khilafah demi menerapkan syariah secara kaffah, dan inilah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam kini, maka masuk sistem demokrasi itu bukan saja tidak penting, tetapi justru akan mempertahankan demokrasi yang seharusnya segera digantikan dengan sistem Khilafah.
Kalau kita tidak masuk dalam sistem demokrasi, katanya nanti kondisi umat makin buruk dan umat makin terzalimi. Bagaimana, Ustadz?
Siapa bilang? Mana buktinya? Itu kan cuma asumsi yang tidak berdasar fakta sama sekali. Pendapat itu kalau di balik, artinya kondisi umat akan lebih baik dan makin mendapat keadilan (tak dizalimi), jika umat Islam masuk sistem demokrasi. Faktanya tidak demikian. Justru pada era reformasi yang katanya lebih demokratis dibanding era Orde Baru, rakyat Indonesia yang notebene mayoritasnya umat Islam, kondisinya tidak lebih baik. Angka kemiskinan, utang pemerintah, korupsi, dekadensi moral, dominasi asing dalam politik dan ekonomi, menjadi makin gila-gilaan justru di era reformasi sekarang. Padahal banyak orang Islam di parlemen dan kabinet. Jadi, apakah dengan jumlah partai politik yang lebih banyak saat ini kondisi umat menjadi lebih baik? Apakah dengan peran serta orang Islam dalam lembaga legislatif (DPR dan MPR) yang dipilih langsung oleh rakyat, kondisi umat lebih baik? Apakah dengan peran serta umat Islam memilih langsung presiden dan wakil presiden, memilih langsung kepala daerahnya dalam Pilkada, membuat kondisi umat lebih baik? Tidak bukan?
Namun, kalau tidak masuk demokrasi, nanti kekuasaan dikuasai non-Muslim dan orang-orang yang rusak dan itu akan mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat. Padahal dharar kan harus dihilangkan?
Memang benar ada kaidah fikih: izalah dharar fardh[un], menghilangkan bahaya adalah fardhu. Namun, tidak tepat kalau kaidah ini diterapkan untuk mewajibkan masuk sistem demokrasi demi mencegah bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, karena walaupun benar dominasi non-Muslim atau orang rusak adalah bahaya bagi umat Islam, perlu diingat, bahaya itu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan muncul karena adanya sumber bahaya, yaitu sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasilah yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk menimpakan bahaya kepada umat Islam. Jadi, sistem demokrasi itulah yang mestinya lebih patut dan lebih utama untuk dihilangkan, bukan bahaya-bahaya lainnya sebagai ekses sistem demokrasi. Jadi, kaidah fikih tadi semestinya diterapkan untuk mewajibkan penghapusan sistem demokrasi sebagai induk bahaya, bukan untuk mewajibkan peran serta umat dalam sistem demokrasi untuk sekadar menghilangkan bahaya-bahaya lain yang muncul sebagai ekses sistem demokrasi. Kedua, jika sistem demokrasi berpotensi menimbulkan bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak, ini berarti, sistem demokrasi telah menjadi sarana (wasilah) pada sesuatu yang haram, yaitu munculnya bahaya. Jadi, kaidah fikih yang relevan untuk menghukumi sistem demokrasi adalah: al-wasilah ila al-haram muharramah (segala sarana menuju yang haram hukumnya diharamkan). Jadi, sistem demokrasi itu hukumnya haram, karena dapat menimbulkan sesuatu yang haram, yaitu bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak.
Ada yang bilang kalau belum bisa diambil semuanya, ya jangan ditinggalkan semuanya. Sebab, ada kaidah fikih: ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Bagaimana, Ustadz?
Begini. Penerapan kaidah itu ada syaratnya, yaitu hanya boleh diterapkan untuk perbuatan-perbuatan halal yang sesuai syariah, bukan untuk perbuatan yang diharamkan syariah. Jadi, tidak boleh diterapkan dalam kasus, misalnya, kalau tidak mampu mencuri mobil, maka curilah spionnya saja, jangan ditinggalkan semuanya. Apakah ini bisa dibenarkan? Tidak bukan? Jadi, kaidah tadi tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang diharamkan syariah. Maka dari itu, harus dijawab lebih dulu, masuk ke dalam sistem demokrasi, misalnya dalam kasus seorang Muslim menjadi anggota lembaga legislatif, apakah perbuatan yang dihalalkan atau diharamkan? Menurut saya, hukumnya haram, karena haram hukumnya melegislasikan hukum yang bukan syariah Islam. Kecuali masuknya bukan untuk melegislasi hukum, tetapi sekadar menjalankan fungsi pengawasan (muhasabah) dan untuk berdakwah, maka hukumnya boleh. Itu dijelaskan dalam salah satu kitab Hizbut Tahrir, yakni An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam halaman 84-85. Jadi, jika masuknya Muslim dalam lembaga legislatif adalah perbuatan yang haram, tentu tidak boleh kita menerapkan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Kekeliruan yang amat fatal kalau kita menerapkan kaidah ini untuk melegitimasi perbuatan yang sudah diharamkan syariah.
Bukankah dalam demokrasi pun bisa lahir peraturan-peraturan yang tidak bertentangan dengan Islam?
Yang wajib diamalkan umat Islam itu hanyalah hukum syariah. Apabila ada peraturan atau hukum atau undang-undang yang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi peraturan itu tidak bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah, maka bagaimana pun status peraturan itu adalah tetap bukan hukum syariah. Contoh di Rusia dulu pernah ada undang-undang yang melarang bunga bank. Apakah ini hukum syariah? Jelas bukan, karena undang-undang itu tentu tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi demokrasi tetap harus kita tolak walaupun dengan demokrasi bisa lahir undang-undang yang diklaim tak bertentangan dengan Islam. Karena peraturan yang diperlukan umat Islam adalah peraturan yang lahir dari Islam itu sendiri, yaitu undang-undang yang secara materil adalah hukum syariah semata.
Masuk ke sistem demokrasi itu hanya untuk alat perjuangan, sedangkan secara sikap tetap menolak demokrasi. Bagaimana dengan pendapat semacam ini?
Bagi umat Islam, alat perjuangan itu harus yang halal, bukan yang haram. Menggunakan alat yang haram untuk mencapai tujuan yang halal, hukumnya tetap haram dan berdosa, tidak halal. Kaidah fikih menyebutkan: la yutawashshalu ila al-halal bi al-haram (tidak boleh mencapai yang halal dengan menggunakan sarana yang haram). Ini disebut dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam karya Syaikh Ahmad Mahmud halaman 101.
Jadi bagaimana kita bisa tetap memperjuangkan Islam, memperjuangkan nasib umat dan merealisasi perubahan dan perbaikan ke depan?
Perjuangan yang sahih bukanlah melalui demokrasi, melainkan mencontoh Rasulullah saw., yaitu menekuni jalan dakwah melalui aktivitas perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang ideologi (shira’ fikri), serta berupaya melakukan thalabun-nushrah (mencari dukungan) dari pihak-pihak yang mampu menyerahkan kekuasaan untuk menegakkan Khilafah demi tegaknya syariah secara kaffah. Inilah satu-satunya cara yang wajib ditempuh umat. Tak ada yang lain. []