(Tafsir QS al-Ghasyiyah [88]: 8-17)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ، لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ، فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ، لا تَسْمَعُ فِيهَا لاغِيَةً، فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ، فِيهَا سُرُرٌ مَرْفُوعَةٌ، وَأَكْوَابٌ مَوْضُوعَةٌ، وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ، وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ، أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ.
Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi, tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna. Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar (QS al-Ghasyiyah [88]: 8-17).
Kandungan ayat-ayat ini merupakan kelanjutan ayat-ayat sebelumnya. Jika sebelumnya diberitakan tentang berbagai siksaan mengerikan yang menimpa para penghuni neraka, maka dalam ayat ini digambarkan tentang berbagai kenikmatan yang diperoleh para penghuni surga.
Dalam surat ini golongan penghuni neraka diceritakan terlebih dulu, kemudian baru golongan penghuni surga. Hal itu sangat relevan mengingat ayat ini diawali dengan ancaman tentang kepastian datangnya al-ghâsyiyah (bencana, malapetaka).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wujûh[un] yawmaidz[in] nâ’imah (Banyak muka pada hari itu berseri-seri). Sebagaimana ayat sebelumnya, kata yawmaidz[in] (pada hari itu) menunjuk pada Hari Kiamat. Pada hari itu, terdapat wujûh nâ’imah. Kata wujûh menunjuk sebuah anggota badan manusia. Namun, dalam ayat-ayat berikutnya kata tersebut menunjuk kepada orang yang menjadi pemiliknya. Berkebalikan dengan wajah yang diberitakan ayat sebelumnya khâsyi’ah (tertunduk lagi terhina), maka wajah yang diberitakan ayat ini nâ’imah.
Pengertian nâ’imah adalah dzât hasan wa bahjah wa nadhdhârah (yang memiliki kemolekan, kegembiraan dan keindahan).1 Dijelaskan ath-Thabari, wajah mereka tampak nâ’imah (ceria dan berseri-seri) karena Allah SWT memberikan kenikmatan kepada pemiliknya di dalam surga-Nya. Mereka itu adalah orang beriman.2 Asy-Syaukani juga menyatakan bahwa wajah mereka berseri-seri tatkala menyaksikan kesudahan dari urusan mereka dan kebaikan yang disediakan Allah.3 (Lihat juga: QS al-Muthaffifin [83]: 24).
Kemudian Allah SWT berfirman: Lisa’yihâ râdhiyah (merasa senang karena usahanya). Kata as-sa’y berarti al-masy-y as-sarî’ (berjalan cepat), itu dilakukan untuk menghadapi musuh. Selanjutnya kata itu digunakan untuk menunjuk pada kesungguhan dalam suatu perkara, baik dalam kebaikan maupun keburukan.4 Adapun dhamîr al-ghâib (kata ganti pihak ketiga) pada kata tersebut kembali pada kata wujûh. Dijelaskan al-Qurthubi, kata wujûh (wajah-wajah) merupakan ungkapan untuk menunjuk pada anfus (jiwa-jiwa).5
Dengan demikian, kata li sa’yihâ berarti: Terhadap jerih payah dan upaya sungguh-sungguh yang mereka lakukan itu, mereka râdhiyah (ridha). Dijelaskan oleh al-Qurthubi, pengertian lisa’yihâ adalah karena amalnya selama di dunia, mereka râdhiyah (merasa senang) di akhirat lantaran diberi surga atas amal yang telah dia kerjakan.6
Kemudian disebutkan balasan yang diterima dengan firman-Nya: Fî jannah ‘âliyah (dalam surga yang tinggi). Mereka ditempatkan di dalam jannah ‘âliyyah (surga yang tinggi). Kata ‘âliyah berarti rafî’ah (yang tinggi).7 Bisa juga berarti murtafi’ah al-mahall (tempat yang tinggi) atau ‘aliyyah al-qadr (derajat yang tinggi), baik secara indrawi maupun maknawi. Demikian penafsiran al-Alusi.8 Atau sebagaimana dikatakan Abu Hayyan, surga yang tinggi itu meliputi makân[an] wa makânah (baik tempat maupun kedudukannya).9
Setelah itu kemudian diberitakan tentang berbagai kenikmatan di dalam surga. Allah SWT berfirman: Lâ tasma’u fîhâ lâghiyah (tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna). Dijelaskan Ibnu Katsir, di surga yang mereka tinggali itu tidak terdengar kata laghw (sia-sia, tak berguna).10 Kata al-laghw berarti al-kalâm as-sâqith (kalimat yang rendah).11 Ath-Thabari mengatakan bahwa pengertian kata al-laghw adalah al-bâthil (batil, salah).12 Penjelasan serupa juga dikemukakan Abdurrahman as-Sa’di. Menurut beliau, lâghiyah berarti kalimah lâghi wa bâthil (perkataan sia-sia dan batil), apalagi perkataan yang diharamkan. Sebaliknya, perkataan mereka adalah perkataan yang bagus (bermanfaat), termasuk di dalamnya zikir kepada Allah SWT, mengingat nikmat-Nya yang tak terputus serta berdasarkan adab yang baik dalam pergaulan, yang menyenangkan hati, dan melegakan dada.13
Selain dalam ayat ini, tiadanya perkataan sia-sia dan tidak berguna juga diberitakan dalam beberapa ayat lain, seperti QS Maryam [19]: 62 dan QS al-Waqi’ah [56]: 25. Sebaliknya, yang terdengar mereka adalah ucapan salam (lihat QS al-Waqi’ah [56]: 26).
Kemudian Allah SWT berfirman: Fîhâ ‘ayn jâriyah (Di dalamnya ada mata air yang mengalir). Dhamîr al-hâ` masih kembali pada al-jannah (surga). Dengan demikian ayat menjelaskan bahwa di dalam surga terdapat ‘ayn jâriyah.
Kata ayn di sini berarti manba’ al-mâ‘ (mata air). Adapun jâriyah, sebagaimana dijelaskan asy-Syaukani, berarti airnya mengalir dan memancarkan berbagai jenis minuman yang lezat.14 Bentuk nakirah pada kata tersebut tidak bermakna satu mata air, namun berarti jins (jenis) sehingga ayat ini bermakna: ‘Uyûn jâriyah (banyak mata air mengalir).15 Menurut az-Zamakhsyari ini bentuk nakirah yang menunjukkan li at-taktsîr sebagaimana kata nafs pada QS at-Takwir [81]: 14.16
Kenikmatan lain di surga diberitakan dalam ayat berikutnya: Fîhâ surur marfû’ah (di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan). Kata surur merupakan bentuk jamak dari kata sarîr. Kata tersebut berarti tempat duduk yang tinggi, yang dijadikan sebagai tempat duduk para raja (dalam bahasa Indonesia diebut dengan tahta, pen.). Kemudian maknanya beralih menjadi tempat yang disenangi. Dinamakan demikian karena dapat dapat menyenangkan jiwa; juga semua materi untuk kesenangan, kesukaan, dan kemuliaan. Oleh karena itu, kata tersebut digunakan untuk menyebut kekuasaan, kenikmatan dan kemewahan hidup.17
Adapun marfû’ah berarti ‘âliyah fî al-hawâ` (tinggi di udara). Yang demikian itu, ketika seorang Mukmin duduk di atasnya, dia melihat semua yang diberikan Tuhannya di surga berupa kenikmatan dan kerajaan.18
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa akwâb mawdhû’ah (dan gelas-gelas yang terletak [di dekatnya]). Kata al-akwâb merupakan bentuk jamak dari kata al-kawb (gelas), yakni al-qad-h (gelas) yang tidak ada pegangannya.19 Atau inâ‘ lâ ‘urwah lahu (bejana yang tidak ada pegangannya) sehingga bisa diambil dan diminum dari berbagai sisi.20
Adapun mawdhû’ah (diletakkan) dalam ayat ini mengandung beberapa makna. Pertama: disediakan bagi penghuninya, seperti seseorang yang meminta kepada orang lain, dengan mengatakan, “Itu diletakkan di sini.” Kedua: diletakkan di tepi mata air yang mengalir. Tiap kali mereka ingin minum, mereka mendapatinya telah penuh minuman. Ketiga: diletakkan di hadapan mereka agar terlihat bagus karena terbuat dari emas, perak, permata; dan terasa lezat untuk diminum. Keempat: dibuat pada ukuran yang paling bagus, yakni pertengahan antara kecil dan besar. Ini seperti firman Allah SWT: Qaddarû taqdîr[an] (yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya, QS al-Insan [76]: 16).21
Kenikmatan lainnya disebutkan dalam firman-Nya: Wa namâriq mashfûfah (dan bantal-bantal sandaran yang tersusun). Kata an-namâriq merupakan bentuk jamak dari kata an-nimriqah yang berarti wisâdah (bantal kecil untuk dijadikan bersandar).22 Penafsiran an-namâriq dengan al-wasâid juga dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, Qatadah, al-Dhahhak, al-Sudi, ats-Tsauri, dan lain-lain.23
Bantal-bantal kecil itu digambarkan mashfûfah. Kata tersebut ism al-maf’ûl dari kata shaff, yang tersusun. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata tersebut memberikan pengertian bahwa sebagian bantal itu ditaruh dan disusun di samping bantal lainnya untuk dijadikan bersandar.24
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa zarâbiyy mabtsûtsah (dan permadani-permadani yang terhampar). Kata az-zarabiyy berarti al-busuth (permadani). Demikian penafsiran Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahhak, dan lain-lain.25 Permadani-permadani itu digambarkan mabtsûtsah. Menurut az-Zamakhsyari, kata tersebut bermakna mabsûthah (terhampar luas).26 Dikemukakan as-Sa’di, frasa tersebut berarti tempat duduk mereka dipenuhi dengan permadani dari berbagai sisi.27
Kenikmatan Penghuni Surga
Ayat-ayat ini menggambarkan berbagai kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada para penghuni surga. Semua kenikmatan tersebut bersifat inderawi. Wajah mereka yang berseri-seri terpancar dari keceriaan, kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa yang mereka rasakan. Betapa tidak, mereka terbebas dari siksa neraka yang amat dahsyat. Lebih dari itu, mereka pun mendapatkan balasan kenikmatan luar biasa atas ketaatan yang mereka kerjakan semasa di dunia. Kesungguhan dan perjuangan keras mereka mengantarkan mereka ke dalam surga. Tempat tinggal abadi yang dipenuhi dengan aneka ragam kenikmatan.
Digambarkan ayat ini, mereka tidak mendengarkan perkataan yang batil dan sia-sia. Ini menunjukkan betapa tenangnya kehidupan mereka. Itulah kehidupan yang diliputi dengan kerukunan, kedamaian dan kasih sayang; jauh dari permusuhan, kedengkian, pertengkaran, kegaduhan dan keributan. Betapa nikmatnya hidup seperti itu.
Kenikmatan tersebut masih ditambah dengan tersedianya pemenuhan semua kebutuhan manusia. Di dalam surga yang tinggi itu terdapat banyak mata air yang mengalir. Sebagaimana diberitakan dalam ayat-ayat lain, mata air yang mengalir itu terdiri berbagai jenis minuman yang lezat, seperti susu, madu dan khamr yang tidak memabukkan (lihat QS Muhammad [47]: 15).
Digambarkan pula, bagi para penghuni surga itu disediakan tempat duduk dan tahta-tahta yang ditinggikan. Dengan duduk di atasnya, mereka dapat menyaksikan berbagai kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT kepada mereka.
Ada juga terdapat gelas-gelas yang disiapkan untuk mereka. Dengan gelas itu, dengan mudah mereka dapat menikmati berbagai minuman yang lezat. Ada pula bantal-bantal yang tersusun rapi untuk mereka jadikan tempat bersandar. Juga, dihamparkan permadani empuk yang luas. Pendek kata, semua yang diberikan kepada mereka adalah kenikmatan. Mereka pun mengisi hari-harinya dengan kesenangan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ
Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka) (QS Yasin [36]: 55).
Semua kenikmatan yang digambarkan menunjukkan betapa besar balasan yang akan diterima manusia atas ketaatan yang mereka kerjakan. Gambaran ini seharusnya mendorong semangat bagi manusia untuk mengerjakan ketaatan. Karena demikian besarnya kenikmatan itu, maka berbagai ujian, rintangan dan hambatan tak akan mengendorkan semangat dan menyurutkan langkah dalam mengejar surga-Nya.
Semua kenikmatan surga yang digambarkan oleh ayat ini memang dapat dibayangkan. Sebab, benda-benda, suasana dan perbuatan yang diberitakan akan diperoleh penghuni surga itu terdapat di dunia. Akan tetapi, kenikmatan yang sesungguhnya diberikan di surga tidak sama dengan semua yang pernah ada di dunia. Bahkan tak pernah terlihat, terdengar dan terbayang oleh manusia. Kenikmatan surga itu disesuaikan berdasarkan tingkatan yang bisa dicapai para penghuni surga. Tidak ada yang mengetahui kecuali yang telah merasakannya. Tidak ada yang mengetahui kecuali yang telah merasakannya. Rasulullah saw. bersabda:
قَالَ الله أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنَ سِمَعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
Allah SWT berfirman, “Telah Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan tidak terlintas dalam hati manusia.” (HR al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Inilah kemikmatan yang bakal diterima oleh para penghuni surga. Semoga kita termasuk orang yang rindu dengan kenikmatan surga sehingga bersemangat untuk meraihnya dengan mengerjakan ketaatan. Semoga pula kita termasuk dalam golongan yang diberitakan ayat-ayat ini.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar ash-Shabuni, 1997), 524.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 385.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 522.
4 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 411.
5 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 32.
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 32; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Ta‘wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 421.
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 386.
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 327.
9 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 463.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 377.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 522.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 386.
13 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassah ar-Risalah, 2000), 921.
14 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 523.
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8, 377.
16 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 743-744.
17 Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 11.
18 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Aaabiyy, 1420 H), 143.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 523.
20 Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22, 12.
21 Al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 143.
22 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 474
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8, 378.
24 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 463.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8, 378
26 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 744.
27 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 921.