HTI

Syari'ah

Syura

Di dalam Lisân al-’Arab, karya Ibn al-Manzhur dinyatakan, “Syâwartu-hu fî al-amr (Saya berembug dengan dia dalam satu perkara).” Dikatakan juga, “Syâwara-hu musyâwarat[an] wa syawâran,” artinya isytisyârat[an] (meminta pendapat atau nasihat). Orang Arab mengatakan, “Fulân jâyid al-masyûrah (Fulan itu pendapat/nasihatnya bagus).”

Menurut al-Fara’, al-masyûrah berasal dari kata masywarah, diubah menjadi masyûrah untuk meringankan pelafalan. Ar-Razi juga menyatakan, al-masywarah adalah asy-syûrâ, demikian juga al-masyûrah. Kalimat, “Syâwartu-hu fî al-’amr,”  maknanya adalah, “Isytartu-hu (Aku meminta pendapatnya).”

Jadi, secara bahasa syûrâ bisa berarti mengambil, melatih, menyodorkan diri, dan meminta pendapat atau nasihat; atau secara umum, asy-syûrâ artinya meminta sesuatu.

Secara istilah, Ibn al-‘Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa asy-syûrâ adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya (Ibn al-Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, 1/298).

Ar-Raghib berkata, “Al-Masyûrah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk mendapat satu pendapat yang disepakati. Dengan demikian, asy-syûrâ adalah urusan yang dimusyawarahkan. (Rûh al-Ma‘âni, 25/46).

Mahmud al-Khalidi menyimpulkan bahwa asy-syûrâ adalah berkumpulnya manusia untuk menyimpulkan yang benar (shawâb), dengan mengungkapkan berbagai pendapat dalam satu permasalahan untuk memperoleh petunjuk guna mengambil keputusan (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, cet. II, hlm. 142).

Pengertian Syar‘i

Al-Quran mengungkapkan ihwal musyawarah/syura ini dalam tiga ayat, yaitu: QS Ali Imran [3]: 159; QS asy-Syura [42]: 38; dan QS al-Baqarah [2]: 233).  Asy-Syûrâ baik ungkapan maupun praktiknya banyak diungkapkan dalam Hadis Nabi saw. Dari pendalaman terhadap nash-nash,  baik al-Quran maupun al-Hadis, ternyata syariah membedakan antara asy-syûrâ dan al-masyûrah.

Asy-Syûrâ adalah pengambilan pendapat secara mutlak. Sebab, syariah mengungkapkan kata asy-syûrâ dengan pengertian sebagai aktivitas pengambilan pendapat secara mutlak tanpa membatasinya dengan sifat tertentu. Adapun berkaitan dengan al-masyûrah, sekalipun secara bahasa maknanya sama dengan syûra, syariah telah memberikan sifat tertentu pada aktivitas masyûrah. Abdurrahman bin Ghanmin menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra.:

وَ اَيُّمَ اللهِ، لَوْ تَتَفِقَانِ عَلَى أَمْرٍ وَاحِدٍ مَا عَصَيْتُكُمَا فِيْ مَشُوْرَة اَبَدًا

Demi Allah, jika kalian berdua sepakat atas satu perkara maka aku tidak akan menyalahi kalian berdua dalam masyûrah selamanya (Lihat: Fath al-Bâri, 17/103 catatan pinggir; adz-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm, 2/51; Tafsîr Ibn Katsîr, 1/420).

Sifat mengikat itu bisa dipahami dari: Pertama, sabda Rasul di atas, mâ ‘ashaytu-kumâ fî masyûrat[in] abad[an] atau mâ khâlaftu-kumâ abad[an] (Aku tidak akan menyalahi kalian berdua dalam hal masyûrah selamanya).  Artinya, dalam hal masyûrah Rasulullah saw. terikat dengan keputusan Abu Bakar dan Umar ketika mereka bertiga berembuk. Ini juga menunjukkan, bahwa dalam masyûrah, suara mayoritas merupakan penentu keputusan, dan keputusannya mengikat untuk dilaksanakan.

Kedua, konotasi kebalikan (mafhûm mukhâlafah) hadis di atas adalah bahwa dalam hal selain masyûrah Rasul saw. tidak wajib terikat dengan keputusan Abu Bakar dan Umar ketika beliau meminta pendapat keduanya.

Ketiga, kata masyûrah dalam hadis tersebut bukan kata umum, karena sekalipun ia berupa isim jenis, ia tidak ma‘rifah (definitif). Isim jenis termasuk kata umum jika ma‘rifah, baik dengan alif lam atau idhâfah. Sekalipun kata masyûrah tersebut berbentuk nakîrah (indefinitif), ia berada dalam redaksi itsbât (penetapan). Isim nakîrah akan bermakna umum jika dalam redaksi penafian (fi shiyâgh an-nafî).

Dengan demikian, masyûrah adalah pengambilan pendapat oleh pihak yang mengambil pendapat, bisa Khalifah atau yang lainnya, yang hasil keputusannya bersifat mengikat bagi Khalifah untuk dilaksanakan.  Dengan demikian masyûrah adalah syura yang keputusannya mengikat bagi pihak yang mengambil pendapat.  Syariah kemudian membatasi obyek masyurah itu hanya dalam hal yang menunjukkan pada pelaksanaan sesuatu, seperti yang dijelaskan dalam ruang lingkup syura di bawah.

Hukum Syura

Syûrâ dan masyûrah hukumnya sunnah karena terdapat thalab (perintah), yaitu firman Allah:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ

Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu (QS Ali Imran [3]: 159).

Indikasi (qarînah) yang ada menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak berifat jâzim (tegas). Hal itu karena dalam banyak perkara Rasul tidak selalu bermusyawarah dengan para Sahabat.  Itu artinya bermusyawarah tidak wajib.  Hanya saja terdapat pujian akan pelaksanaan aktivitas syura oleh kaum Muslim (Lihat: QS asy-Syura [42]: 38) yang menunjukkan pelaksanaannya lebih dianjurkan.

Dengan demikian,  sekalipun tidak wajib, pelaksanaannya lebih dikuatkan. Jadi, hukum syura adalah sunnah. Oleh karena itu, seorang khalifah dan pemimpin pada level apapun hendaknya sering bermusyawarah dengan rakyat atau ahl asy-syûrâ, atau orang yang dipimpinnya; seorang suami hendaknya sering bermusyawarah dengan istrinya (QS al-Baqarah [2]: 233).

Ruang Lingkup Syura dan Metode Pengambilan Keputusannya

Syura bisa dilaksanakan dalam segala urusan.  Hal ini bisa dipahami dari firman Allah: fî al-amri (dalam segala urusan) (QS Ali Imran [3]: 159). Kata al-‘amr merupakan kata umum karena berupa isim jenis ma‘rifah dengan alif lam. Dengan demikian, syura mencakup semua perkara. Faktor yang membedakan nantinya adalah metode pengambilan keputusan dalam perkara yang dimusyawarahkan.

Syariah telah memberikan panduan implementasi syura berikut metode pengambilan keputusannya. Dalam hal itu, syura itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

Pertama, dalam masalah hukum syariah, termasuk di dalamnya definisi syar‘i. Dalam perkara ini syura boleh dilakukan. Hanya saja, karena hukum syariah dasarnya adalah dalil syariah, maka yang menentukan keputusan dalam hal ini adalah faktor kekuatan dalil,  bukan yang lain.  Jika dalilnya qath‘i (pasti) maka tidak perlu dibicarakan lagi. Sebaliknya, jika dalilnya zhanni (tidak pasti) maka keputusannya bergantung pada yang paling baik (ahsan) (lihat: QS az-Zumar [39]: 18), yang didefinisikan oleh Ibn ‘Abbas sebagai aqwâtuhu dalîlu-hu (paling kuat dalilnya) dan abyânu-hu fahmu-hu (paling jelas pemahamannya).  Dua parameter inilah yang menentukan mana pendapat yang aqrabu ilâ shawâb (paling dekat dengan kebenaran).  Hal ini juga didasarkan pada praktik Rasul saw. pada Perjanjian Hudaibiyah yang hanya mendasarkan keputusan beliau pada wahyu dan menolak pendapat seluruh sahabat. Dalam masalah pertama ini, suara mayoritas tidak ada nilainya.

Kedua, dalam masalah definisi non-syar‘i dan masalah sains-teknologi.  Dalam masalah ini, keputusan ditentukan oleh ra’yu shawâb (pendapat yang benar).  Definisi ditentukan dari sifatnya yang harus jâmi’ (menyeluruh, mencakup semua yang tercakup dalam definisi itu) dan mâni’ (mencegah tercakupnya unsur lain), dan harus sesuai dengan realitanya. Adapun dalam masalah sains-teknologi, ketentuannya didasarkan pada pendapat orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut. Sebab, untuk memutuskannya diperlukan pengetahuan dan keahlian.  Keputusan dalam masalah ini tidak dikembalikan pada pendapat mayoritas, bahkan suara mayoritas tidak ada nilainya.

Ketiga, dalam perkara yang menunjukkan pada pelaksanaan suatu aktivitas. Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas.  Hal ini sesuai dengan praktik Rasul saw. dalam syura saat Perang Uhud. Syura tidak dilakukan dalam menentukan hukum berperang, juga bukan dalam masalah strategi perang, tetapi dalam hal bagaimana melaksanakan perang, yakni bagaimana menghadapi serangan musuh: apakah dilakukan di luar kota Madinah atau di dalam  kota. Beliau dan para sahabat senior cenderung untuk melakukannya di dalam kota, sebaliknya mayoritas menghendaki dilakukannya di luar kota. Lalu Rasul saw. mengeluarkan keputusan sesuai dengan pendapat mayoritas.  Pendapat para sahabat senior yang notabene lebih ahli dalam strategi perang tidak beliau ambil, karena memang masalahnya bukan masalah strategi perang,  tetapi bagaimana melaksanakan aktivitas yang akan dilaksanakan secara bersama-sama oleh umat.  Adapun terkait strategi perang yang digunakan dalam Perang Uhud itu sendiri—Rasul  menempatkan lima puluh orang pemanah di atas bukti untuk menghadang pasukan musuh yang ingin membokong dari belakang—Rasul menentukannya berdasarkan pendapat beliau sendiri dan beliau tidak bermusyawarah dengan yang lain.  Dari sini maka semua masalah yang serupa, jika dilakukan syura, maka keputusannya ditentukan dengan suara mayoritas, tidak yang lain. Perkara inilah yang menjadi cakupan masyûrah yang keputusannya bersifat mengikat.

Jika seperti itu, lalu apa hubungan syura dan demokrasi? Tidak ada. Syura tidak bisa disamakan dengan demokrasi.  Sebaliknya, demokrasi seutuhnya tidak sesuai dengan Islam dan tidak diakui oleh Islam.  Sebab, banyak unsur demokrasi yang bertentangan dengan Islam.

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*