Pengantar
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan (as-siyâdah) dan kekuasan (as-sulthân) ada di tangan umat (rakyat). Karena itu hak mengangkat dan memberhentikan seorang penguasa secara mutlak ada dalam genggaman umat. Akibatnya, hal ini sering dijadikan oleh kekuatan politik tertentu—atas nama rakyat—untuk memakzulkan seorang penguasa yang menjadi musuh politiknya, yang pada akhirnya hanya melahirkan konflik horisontal, dan umat (rakyat) yang menanggung semua akibat buruknya. Apakah hal seperti itu akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam, saat kedaulatan (as-siyâdah) milik syariah dan kekuasan (as-sulthân) di tangan umat (rakyat)?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 35, yang berbunyi: “Umat memiliki hak mengangkat Khalifah, tetapi umat tidak memiliki hak untuk memberhentikan Khalifah manakala akad baiatnya telah sempurna sesuai dengan ketentuan syariah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 148).
Pasal ini menegaskan dua hal penting sistem Negara Islam. Pertama: umatlah yang memiliki hak mengangkat Khalifah. Kedua: umat tidak memiliki hak untuk memberhentikan Khalifah.
Umat yang Berhak Mengangkat Khalifah
Terkait bahwa umat (rakyat) yang berhak mengangkat Khalifah, maka ada banyak hadis yang menunjukkan hal ini, terutama hadis-hadis tentang baiat. Di antaranya adalah hadis dari Ubadah bin Shamit yang berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهُ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَه
Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk senantiasa mendengar dan menaati beliau, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini dipahami bahwa kaum Muslimlah yang membaiat Khalifah, bukan Khalifah yang membaiat kaum Muslim, yakni kaum Muslim yang menjadikan khalifah penguasa atas mereka. Realitas sejarah sepanjang masa Khulafa ar-Rasyidin menunjukkan bahwa mereka tidak menjadi khalifah kecuali melalui pembaiatan umat kepada mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 111).
Dalil bahwa Khalifah mengambil kekuasaan hanya melalui baiat umat ini juga jelas ditunjukkan oleh hadis-hadis tentang kewajiban taat kepada Khalifah dan hadis-hadis tentang kesatuan Khilafah. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaati khalifah itu selama masih mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu (HR Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa Khalifah mendapatkan kekuasaan hanya melalui baiat. Sebab, Allah mewajibkan umat taat kepada Khalifah karena adanya baiat: “Siapa saja yang telah membaiat… maka hendaklah ia menaatinya.” Artinya, Khalifah itu telah mengambil Khilafah dengan baiat itu sehingga ia wajib ditaati, sebab ia seorang khalifah yang telah dibaiat. Dengan begitu, ini merupakan dalil bahwa umatlah yang berhak mengangkat Khalifah melalui baiat yang akan diberikan kepada siapa yang mereka kehendaki (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 112; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97).
Begitu juga dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ra. ketika kaum Muslim meminta beliau untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah, maka Ali ra. berkata kepada mereka:
إِنَّ بَيْعَتِي لاَ تَكُوْنُ خَفِيًا، وَلا تَكُوْنُ إِلاَّ عَنْ رِضَا الْمُسْلِمِيْنَ
Sesungguhnya baiat terhadap diriku tidak boleh sembunyi-sembunyi. Sebab, baiat itu tidak sah kecuali atas kerelaan kaum Muslim (Ash-Shalabi, Sîrah Amîrul Mukminîn Ali bin Abi Thalib, hlm. 143).
Demikian pula khutbah Umar ra. dalam pembaiatan Abu Bakar ra.:
فَمَنْ بَايَعَ رَجُلاً عَنْ غَيْرِ مَشُوْرَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ لاَ بَيْعَةَ لَهُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يَقْتُلاَ
Siapa saja yang membaiat seseorang tanpa musyawarah di antara kaum Muslim, maka tidak ada baiat bagi dirinya dan bagi yang membaiat dirinya, sebaliknya kedua orang tersebut layak untuk dibunuh (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/226).
Dengan semua ini jelaslah bahwa mengangkat dan membaiat Khalifah adalah hak kaum Muslim (umat). Bahkan baiat kaum Muslim merupakan penentu sah dan tidaknya akad Khilafah. Oleh karena itu, pengangkatan seorang kepala negara (khalifah) tidak sah kecuali melalui kehendak (baiat) dari umat, mayoritas umat, atau yang mewakili kehendak umat, yaitu ahlul halli wal aqdi; dan bahwa khalifah hanya mengambil kekuasaan melalui baiat umat ini (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 111; Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20).
Umat Tidak Berhak Memberhentikan Khalifah
Sekalipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, umat tetap tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah, selama akad baiat kepada Khalifah dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syariah. Hal itu karena banyaknya hadis sahih yang mewajibkan taat kepada Khalifah, sekalipun ia sering melakukan kemungkaran, bertindak zalim dan memakan hak-hak rakyat, selama dia tidak memerintah berbuat maksiat dan tidak melakukan perkara yang jelas-jelas kufur. Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak dia setujui) dari amirnya hendaknya bersabar. Sebab, siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati Jahiliah (HR al-Bukhari).
Kata amir (pemimpin) di dalam hadis ini maknanya umum, yang meliputi Khalifah, karena Khalifah merupakan Amirul Mukminin (An-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 113).
Salamah Bin Yazid al-Ju’fi pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Nabi Allah, kalau ada pemimpin-pemimpin yang memimpin kami, lalu mereka meminta kepada kami hak mereka, namun mereka melarang kami meminta hak kami, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau tidak menghiraukannya. Lalu Salamah bertanya lagi. Beliau masih tidak menghiraukan juga. Kemudian Salamah bertanya untuk yang kedua atau yang ketiga kalinya sehingga Asy’ats Bin Qais menarik (tangannya). Beliau kemudian menjawab:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Dengarkan dan taatilah. Sebab, mereka wajib bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya. Kalian pun wajib bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajiban kalian (HR Muslim).
Abi Dzar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya, “Wahai Abu Dzar, bagaimana kalau kamu mendapatkan pemimpin yang lebih mementingkan dalam pembagian fai’ ini?” Dia menjawab, “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan haq, aku akan menghunus pedangku ini, lalu aku meletakkan di atas pundaknya. Aku akan menebas hingga dia (berubah baik) seperti engkau.” Beliau bersabda:
أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى خَيْرٍ لَكَ مِنْ ذَلِكَ تَصْبِرُ حَتَّى تَلْقَانِيٌ
Bukankah aku pernah menunjukkan sesuatu yang lebih baik untuk kamu lakukan daripada hal itu? Sebaiknya kamu bersabar hingga kamu bisa seperti aku (HR Ahmad).
Hadis-hadis ini semuanya menjelaskan bahwa seorang khalifah telah melakukan suatu kezaliman. Namun, justru Rasulullah saw. memerintahkan agar ia tetap ditatai dan umat harus sabar terhadap kezalimannya. Semuanya ini menunjukkan bahwa umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 149).
Rasulullah saw. juga pernah menolak permintaan orang Arab Badui yang meminta kepada beliau untuk membatalkan baiat yang telah dia berikan. Jabir bin Abdullah ra. menuturkan bahwa orang Arab Badui pernah membaiat Rasulullah saw. Kemudian dia menderita sakit dan demam yang sangat tinggi di Madinah. Ia lalu mendatangi Nabi saw, dan berkata, “Wahai Muhammad, temui aku, lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw. tidak menemui dia. Orang Arab Badui itu datang kembali dan berkata, “Temui aku, lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw. masih tidak menemui dia. Kemudian ia kembali mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Temui aku lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw. masih tetap tidak menemui dia. Setelah orang Arab Badui itu pergi, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا
Sesungguhnya Madinah itu layaknya seperti alat untuk meniup dan membakar besi, yang akan menghilangkan kotorannya, dan memurnikan kebaikannya (HR al-Bukhari-Muslim).
Semua ini menunjukkan bahwa kalau baiat telah terjadi, maka baiat tersebut mengikat kedua orang yang telah berbaiat. Hal ini berarti, tidak ada hak bagi mereka untuk memberhentikan Khalifah, karena mereka tidak berhak untuk melepaskan baiatnya (An-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 114).
Tidak bisa dikatakan, bahwa orang Badui tersebut tidak dihiraukan oleh Rasulullah karena dia ingin melepaskan baiat dalam rangka keluar dari Islam, bukan keluar dari ketaatan kepada kepala negara. Tidak bisa dikatakan demikian, karena kalau itu yang dimaksudkan niscaya perlakuan yang diberikan kepada dia adalah perlakuan terhadap orang-orang murtad, dan niscaya ia telah dibunuh oleh Rasulullah, karena orang murtad harus dibunuh. Lagipula karena baiat tersebut bukan baiat untuk masuk Islam, tetapi merupakan baiat untuk taat kepada Rasulullah saw. dalam posisinya sebagai kepala negara. Artinya, sebenarnya orang tersebut ingin melepaskan ketaatan, bukan untuk melepaskan Islam. Karena kaum Muslim tidak boleh untuk menarik baiat mereka, maka mereka tidak berhak untuk memberhentikan Khalifah.
Hanya saja, syariah telah menjelaskan kapan Khalifah berhenti dengan sendirinya, sekalipun tidak diberhentikan, termasuk kapan dia harus diberhentikan. Semua ini tidak bisa diartikan, bahwa pemberhentian Khalifah adalah hak umat. Dalam hal ini, tugas umat adalah mengoreksi Khalifah dengan menyampaikan perkataan yang haq (kebenaran) ketika Khalifah melakukan kezaliman, dan memerangi Khalifah jika Khalifah terang-terangan melakukan kekufuran yang jelas-jelas kufur. Adapun kewenangan memberhentikan Khalifah ketika Khalifah melakukan sesuatu yang mengharuskan dia untuk diberhentikan ada pada Mahkamah Mazalim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 150).
Dengan ketentuan pasal 35 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam ini, maka kecil sekali potensi kumungkinan akan terjadinya pemakzulan Khalifah—meski atas nama rakyat—untuk kepentingan syahwat kekuatan politik tertentu, yang hanya akan melahirkan konflik horisontal dan mewariskan dendam di antara kekuatan umat. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan:
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2002.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik, Sîrah Ibnu Hisyâm, (Beirut: Darul Jalil), 1975.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad Muhammad, Sîrah Amîrul Mukminîn Ali bin Abi Thalib Syakhshiyatuhu wa ‘Ashruhu Dirâsat[an] Syâmilat[an], (tanpa penerbit), Cetakan I, 2005.