HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Ilusi Demokrasi (2)

Vox Populi, Vox Dei. “Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan” adalah slogan yang acap diusung oleh para pengikut demokrasi. Pepatah kuno bahasa Latin itu memang menggambarkan pengagungan yang luar biasa terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Sedemikian tinggi posisi suara atau aspirasi rakyat hingga diserupakan dengan suara atau kehendak Tuhan. Karena itu suara rakyat mutlak harus diperturutkan, tidak boleh diabaikan. Namun, benarkah setiap suara rakyat pasti mencerminkan kehendak Tuhan?

++++

Seperti sudah dipahami, inti dari demokrasi adalah prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat, melalui wakil-wakilnya di parlemen, menetapkan peraturan perundangan guna mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan; mana yang benar dan mana yang salah. Slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan berangkat dari sebuah asumsi, bahwa kesepakatan mayoritas (wakil) rakyat  dalam sistem demokrasi itu pasti mencerminkan kebaikan dan bakal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan orang setuju, pastilah persetujuan itu akan berkait dengan hal-hal yang dipandang baik oleh kebanyakan orang itu.  Bila Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan, maka persetujuan kebanyakan orang atas sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu selaras dengan kehendak Tuhan. Dari situlah disimpulkan, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Secara faktual, terbukti tidak selamanya kesepakatan kebanyakan orang selalu berkenaan dengan kebaikan atau menghasilkan kebaikan. Tidak selamanya sebuah kebaikan dengan mudah disepakati. Sebagaimana juga tidak selamanya sebuah keburukan pasti tidak disepakati.

Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu disebut benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Di situlah pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan  sangat menentukan, karena ia menjadi dasar berpikir dan landasan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Bila pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran yang bertumpu di atasnya juga akan menjadi benar, begitu sebaliknya, tak peduli berapa jumlah orang yang mendukungnya.

Meski telah disepakati oleh banyak orang, belum tentu sesuatu itu adalah benar-benar sebuah kebenaran, karena kesepakatan banyak orang tidak selalu identik dengan kebenaran dan pasti akan menghasilkan kebaikan. Contohnya, pengesahan pernikahan sejenis (same-sex marriage) di sejumlah negara Barat, yang diawali oleh Belanda pada tahun 2001; lalu Belgia tahun 2003, Spanyol (2005) dan Kanada, Norwegia serta Swedia pada tahun 2009; juga Portugal dan Islandia pada 2010. Meski mendapat tantangan keras dari warga, tampaknya akan segera menyusul pula Inggris dan Prancis.

Bila benar Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, kira-kira Tuhan jenis apa, Tuhan merek apa, yang mau melegalkan pernikahan sejenis? Bahkan di dunia hewan yang paling menjijikkan sekalipun, se-anjing-anjingnya anjing, anjing yang paling anjing, tak sekalipun dijumpai gejala lesbianisme dan homoseksualitas. Dimana-mana, kalau ada ayam jantan ngejar ayam jantan, pasti mau tarung, bukan mau kawin. Lah, ini di lingkungan manusia, jenis makhluk yang katanya paling berakal, koq  disahkan aksi  “jeruk makan jeruk”.

Lalu secara rasional, siapa yang berani bilang bahwa pernikahan sejenis adalah sebuah kebaikan? Sekarang saja, angka pertumbuhan penduduk di negara-negara Eropa sangatlah rendah karena angka kelahiran di sana juga sangat rendah. Angka kelahiran di Prancis 1.8, Inggris 1.6, Yunani 1.3, Jerman 1,3, Italy 1.2, dan Spanyol 1.1. Rata-rata di seluruh negara kesatuan Eropa, angka kelahiran mendekati 1.38. Angka tersebut dipastikan tak akan mampu menopang kelanjutan peradaban mereka. Penduduk yang ada makin tua, sementara generasi baru tidak banyak lahir. Apalagi bila tendensi homoseksualitas dan lesbianisme terus meningkat menyusul pelegalan pernikahan sejenis di hampir seluruh negara Eropa. Akibatnya, dalam jangka panjang diperkirakan peradaban Eropa akan lenyap. Eropa sendiri tentu tidak akan hilang. Namun, Eropa masa depan adalah Eropa yang bakal diisi oleh para imigran atau komunitas yang menolak keras pernikahan sejenis dan bersemangat melahirkan banyak keturunan.

Di Indonesia, contoh ekstrem tadi pasti ditolak karena katanya tidak mungkin lah kesepakatan gila seperti itu bakal terjadi di negeri yang mayoritas Muslim. Namun, tidak berarti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh wakil rakyat di negeri ini pasti lebih baik. Ambillah contoh kesepakatan yang berkaitan dengan perbankan. Di negeri ini, sebagaimana di banyak negara lain, sistem perbankan dijalankan dengan prinsip ribawi (bunga), padahal semua agama melarangnya. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, misalnya, mereka yang membungakan uang dianggap melakukan penipuan dan perampokan. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Adapun larangan bagi masyarakat luas dikeluarkan oleh Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap  bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia dinyatakan keluar atau murtad dari Kristen. Dalam al-Quran terdapat keterangan sangat jelas tentang larangan riba dengan ancaman yang sangat keras. Barang siapa yang tidak menghentikan memungut riba akan diperangi oleh Allah dan Rasul, serta mereka akan kekal di dalam neraka.

Oleh karena itu, bila hingga sekarang sistem perbankan ribawi ini kokoh berdiri dengan landasan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati oleh wakil rakyat, coba tanyakan, suara Tuhan yang mana yang diikuti? Bahkan filosof seperti Plato dan Aristoteles yang tidak mendasarkan pikirannya pada agama juga mengecam keras bunga bank. Plato menyebut bunga sebagai penyebab perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Aristoteles menyatakan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.

Melalui dua contoh sederhana di atas, jelaslah bahwa slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan adalah sebuah ilusi karena membayangkan bahwa kesepakatan (wakil) rakyat pasti akan selaras dengan kebenaran Tuhan adalah juga  sebuah ilusi. Maka dari itu, mengharap kebaikan dari sebuah sistem yang ilusif sama ilusinya.

++++

Demikianlah, demokrasi mendasarkan diri pada prinsip etnosentrisme, paham yang menganggap manusia sebagai makhluk terunggul. Padahal kenyataannya manusia adalah makhluk yang lemah. Lihatlah, bagaimana peraturan perundangan buatan manusia yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan demokratis selalu berubah-ubah. Yang dulu dibenci sekarang disukai. Yang dulu dilarang sekarang menjadi boleh. Yang ganjil bisa berubah menjadi wajar. Yang semestinya dibenci malah disuka. Yang harusnya disuka malah dibenci.

Jadi, bagaimana bisa suara dari makhluk yang lemah itu disamakan dengan suara Al-Khaliq Yang Mahagagah?  Benarlah kata filsuf Yunani kuno Aristoteles, demokrasi adalah buah pikir manusia purba. Menurut  Winston Churchill, mantan PM Inggris, demokrasi merupakan alternatif terburuk dari bentuk pemerintahan manusia. Nah! [Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*