HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Khilafah Runtuh Karena Nasionalisme

Enam abad bukanlah waktu yang singkat untuk membuktikan kedigdayaan Khilafah Islamiyah. Khilafah menjadi super power pertama yang tidak pernah mengalami kekalahan perang. Eropa tidak bisa melupakan status tersebut, karena merekalah negara adidaya yang mendominasi peradaban global abad pertengahan. Konspirasi dan serangan Eropa menemui momentumnya pada abad 11-12 Masehi. Eropa mulai mencium instabilitas Khilafah.  Beberapa provinsi (wilayah) mulai memisahkan diri, bahkan beberapa gubernur (wali) berani melakukan otonomi dalam masalah militer, keuangan dan kekuasaan. Alhasil, kekuasaan Khilafah Utsmaniyah hanya diakui sebatas seremoni, simbol dalam mata uang dan institusi pengirim uang kharaj. Eropa mulai berani mengirim Pasukan Salib pertama.  Episode pertama perang ini memberikan kemenangan bagi kaum kafir hingga mereka berhasil menguasai Palestina, Suriah dan Libanon.

Namun, bandul sejarah belum mengarah pada kemenangan Eropa seutuhnya. Berbagai pukulan fatal kepada Negara Islam tak mampu mengalahkan mereka.  Akibatnya, Eropa perlu menyusun strategi baru untuk menikam jantung Khilafah.  Mereka berkaca pada kesuksesan pengalaman memisahkan Balkan dari hegemoni Khilafah.  Pada awal abad kesembilan belas, nasionalisme mulai tumbuh di kawasan Balkan hingga berbuntut pada kemerdekaan negara-negara Kristen seperti Serbia-Montenegro, Bulgaria, Rumania, Yunani dan sebagainya.  Realita ini menginspirasi Eropa untuk membangkitkan nasionalisme dan membangkitkan separatisme di wilayah utama kaum Muslim.

Berawal dari Istanbul dan Beirut

Istanbul, pusat pemerintahan Khilafah Utsmaniyyah, menjadi markas serangan kilat misi ini.  Mereka menargetkan misi berdurasi singkat, namun mampu menimbulkan implikasi luas. Beirut menjadi markas untuk menyerang provinsi-provinsi dalam Daulah—khususnya negeri berbahasa Arab—melalui pemikiran-pemikiran impor yang berlawanan dengan Islam.

Serangkaian organisasi memiliki peran penting dalam penaman benih-benih nasionalisme di kalangan pemuda.  Di Beirut, Butrus al-Bustani,  Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan the Syrian Association for the Sciences and Arts pada tahun 1847 atas inisiatif The American Mission.  Mereka mengesankan asosiasi ini memiliki misi menyebarluaskan sains dan pemikiran Barat. Namun, yang bergabung hanyalah penduduk Beirut yang  Nasrani.  Kegagalan ini tak menghentikan mereka membuat organisasi baru. Pada tahun 1850 didirikan Eastern Association,  1852 terbentuk the Syrian Scientific Association dan The Secret Association pada tahun 1875. Organisasi terakhir memposisikan diri sebagai partai politik pertama yang terfokus pada nasionalisme Arab.

The Secret Association dirancang untuk merekrut mata-mata demi menghancurkan pemikiran Islam dan meracuni kaum Muslim. Parpol ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan menyebutnya sebagai Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara, menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada akidah Islam menjadi setia pada nasionalisme Arab. Sesuai namanya, parpol ini menerbitkan selebaran-selebaran yang berisi hasutan bahwa Turki telah merampas Khilafah dari bangsa Arab.

Di Istanbul, Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik yang memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki.  Gerakan ini sungguh terpengaruh  Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan demokrasi.  Tokoh-tokoh mereka seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok Turki Muda pembawa semangat nasionalisme yang dominan dan fanatik. Nasionalisme yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut keberadaan faktor religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan hukum Islam agar dihapuskan.  Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama dengan politik.  Gerakan Turki Muda membentuk Committee for Union and Progress/CUP (Komite Persatuan dan Kemajuan) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting dalam Daulah  Utsmaniyah sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga presiden pertama Republik Turki sekular.

Serangan Keji Nasionalisme

Singkat kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan yang diabadikan sejarah sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution) pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun yang sama, CUP mengadakan konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan.  Pada saat itu Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa kepada mereka.  Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen, komite ini memperoleh kekuasaan lewat Partai Turki Muda.

Kekuasaan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan bersenjata.  Komite sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan seluruh kekuasaan.  Mereka berupaya mengangkat pimpinan angkatan bersenjata berdasarkan kebijakan partai. Akibatnya, seluruh anggota tentara lebih memilih untuk masuk partai daripada berkarier di militer.  Mereka juga membuat undang-undang yang menjamin kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Daulah Utsmaniyyah.

Demikianlah, strategi penghancuran yang dilakukan Barat berjalan dengan baik. Kalangan elit Partai Turki Muda beserta para pendukungnya menjadi corong utama penyebaran pemikiran dan budaya Barat. Nasionalisme menjadi ruh partai sehingga kesetiaan terhadap nasionalisme Turki melebihi kesetiaan pada apapun. Kebanggaan pada Turki membuat bangsa itu merasa derajatnya lebih tinggi  daripada seluruh kaum Muslim lainnya.

Inilah kekejian luar biasa yang dilakukan Barat terhadap Islam, mengalahkan akibat yang ditimbulkan oleh perang fisik.  Tumbuhnya paham ini sungguh menjadi tikaman yang tepat menghujam jantung kesatuan Negara Islam. Strategi ini memberikan hasil yang cepat dan telak. Nasionalisme yang dikampanyekan partai berhasil menimbulkan rasa permusuhan, kebencian dan peperangan di antara kaum Muslim. Gagasan nasionalisme menyebar seantero kekuasaan Daulah Utsmaniyyah hingga bangsa Albania, Sirkasia—berasal  dari Kaukasus  Utara dan saat ini mengalami diaspora—Kurdi, Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite demi memerdekakan diri dari kesatuan Khilafah.

Imbas nasionalisme juga menimpa bangsa Arab.  Mereka turut  membuat organisasi Persaudaraan Arab Utsmaniyah di Astana, Kazakhstan.   CUP yang sangat fanatik dengan keturkiannya—bahkan  menjurus pada chauvinistic—cenderung membiarkan setiap etnis membentuk kelompok sendiri, namun  ini tidak berlaku bagi bangsa Arab.  Mereka membubarkan setiap perkumpulan Arab, melarang orang Arab menduduki posisi penting dalam partai dan pemerintahan, menarik perwira-perwira militer berkebangsaan Arab ke Istanbul serta mencegah mereka mengikuti pelatihan militer di Jerman.  Mereka justru mengangkat orang-orang berkebangsaan Turki yang tidak bisa berbahasa Arab sebagai pejabat di wilayah Arab.  Konyolnya, bahasa Turki dijadikan sebagai bahasa resmi Negara hingga mereka mulai mengajarkan tata bahasa Arab dengan pengucapan bahasa Turki!

Kondisi ini menimbulkan kemarahan para perwira berkebangsaan Arab.  Namun, mereka menyadari bahwa masalah ini bukan sekadar masalah persatuan Arab dan Turki, namun masalah persatuan umat Islam.   Mereka mengerti bahwa di antara Muslim dilarang saling merendahkan dan memusuhi.  Mereka juga tahu bahwa ketaatan pada Khalifah di Istanbul adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi. Namun, beberapa perwira Arab mulai tak sabar.  Pada akhir tahun 1909 mereka menuntut penyelesaian kasus tersebut kepada CUP.

Sebuah pertemuan di Istanbul digagas untuk merundingkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengembalikan persatuan Islam.  Hampir saja kedua belah pihak bersepakat  untuk menghilangkan sikap rasis dan kembali menyandarkan persoalan pada akidah Islam. Namun, tokoh muda nasionalis seperti Ahmad Agha Beik dan Yusuf Aqsyurah Beik dengan congkak tak mau melepaskan nasionalismenya dan menyerahkan kesetiaan mereka pada Islam. Mereka menyela dan memaki perwakilan Arab sambil mengagungkan bangsa Turki. Pertemuan berakhir dengan keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya.

Kebijakan rasis makin menguat. Komite makin gencar melaksanakan program yang menguntungkan bangsa Turki.  Kondisi ini memicu pengunduran diri semua anggota berkebangsaan Arab, Albania, Armenia bahkan warga Turki yang masih mengutamakan akidah Islam dibandingkan nasionalisme.

Aktor Utama Kekisruhan

Kekisruhan di tubuh Daulah dimanfaatkan Eropa untuk mulai aktif menjalin kontak dengan Arab.  Eropa berada di belakang aksi pendirian partai-partai berbasis Arab. Di antaranya ‘Partai Desentralisasi’ di Kairo, ‘Komite Reformasi’ dan ‘Forum Literal’ di Beirut.Pada tanggal 18 Juni 1913. Dengan bantuan Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi di Paris.  Konferensi itu menjadi deklarasi pertama kaum nasionalis Arab yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis guna melawan Daulah Utsmaniyah.

Ketika mengetahui hal ini, CUP turut menambah keruh suasana dengan mendirikan Turk Ojaghi Committee (Komite Persaudaraan Turki).  Komite itu menegaskan tujuan untuk menghapuskan Islam dan mengubah Daulah Utsmaniyah menjadi Negara Turki. Propaganda mereka jalankan dengan menerbitkan buku-buku dan jurnal bermuatan ateis. Sungguh, nasionalisme telah membutakan mereka terhadap petunjuk dan kebenaran Islam.  Bagai virus, paham ini menjalar ke seluruh kawasan Arab.  Di Suriah, belakangan ditemukan dokumen di konsulat Prancis yang berada di Damaskus.  Prancis dan Inggris mengarahkan para pemuda Arab melakukan serangkaian aktivitas pengkhianatan terhadap Negara Islam.

Inggris adalah aktor utama yang merancang kekisruhan ini.  Kesatuan Daulah Islamiyah dipecah-belah melalui strategi penanaman paham nasionalisme.  Inggris membangkitkan gagasan kemerdekaan Turki yang memisahkannya dari wilayah Khilafah Utsmaniyah.  Di sisi lain, Inggris telah memotong-motong wilayah yang dihuni bangsa Arab menjadi beberapa bagian.  Seusai Perang Dunia I, Inggris menguasai wilayah-wilayah sekitar Arab.  Setelahnya, Inggris segera membagi wilayah-wilayah itu menjadi negara-negara kecil dan mulai memerintah seakan-akan negara-negara tersebut adalah negara yang baru dijajah. Padahal sesungguhnya, negara anglo saxon itu telah melanggar kesepakatan internasional. Konvensi internasional yang berlaku menyebutkan bahwa penguasaan wilayah oleh negara pemenang perang tidak berarti secara sepihak berhak menentukan nasib negara yang dia kuasai.  Dengan licik, Inggris mengakali kesepakatan itu demi tujuan mengerat Daulah Islam. Lalu muncullah entitas-entitas baru di wilayah Daulah Islamiyah yang saat ini dikenal sebagai Libanon, Suriah, Irak, Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman.

Selain melakukan manuver politik dengan membagi wilayah Daulah, Inggris memusatkan seluruh perhatiannya pada Turki sebagai ibukota Negara Khilafah. Aneksasi atas Khilafah dilakukan melalui serangkaian permainan kotor melalui perundingan dan pengerahan kekuatan militer.  Permainan politik dipusatkan di Turki dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah dan menghancurkan Khilafah.  Inggris menciptakan move politik yang eksekusinya dibantu oleh antek-anteknya hingga menggiring Khilafah masuk dalam jebakannya.  Memang, usaha ini panjang dan melelahkan.  Namun, Inggris memetik hasil dari jerih payahnya itu saat Perjanjian Lausanne ditandatangi pada tanggal 24 Juli 1924.  Kemerdekaan Turki memperoleh pengakuan sehingga Inggris menarik mundur pasukannya dari Istanbul dan meninggalkan Turki.

Mereka telah meruntuhkan Khilafah beserta keagungan Islam akibat gempuran paham nasionalisme di wilayah-wilayah Daulah.  Sejarah kelam penghancuran Khilafah Islamiyah hendaknya menjadi pelajaran yang berharga tentang kesungguhan sebuah perjuangan.   Demi ikatan batil dan rapuh bernama nasionalisme saja kaum kuffar tidak pernah lelah dan rela bersabar dalam rentang waktu yang panjang dalam menyusun rencana makar untuk menghancurkan  kekuatan Islam.  Jadi, mengapa kita belum bersungguh-sungguh dalam mengerahkan segenap kekuatan untuk melawan penetrasi paham-paham bodoh mereka? Tentu demi kembali tegaknya Khilafah Islamiyah, demi mengembalikan keagungan dan kedigdayaan Islam. [Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasiyah MHTI)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*