(Tafsir QS al-Ghasyiyah [88]: 17-20)
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ، وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ، وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ، وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ.
Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan; langit, bagaimana ditinggikan; gunung-gunung, bagaimana ditegakkan; dan bumi, bagaimana dihamparkan? (QS al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
Setelah memberitakan perkara gaib yang akan dialami oleh dua golongan manusia pada Hari Kiamat, ayat ini mengalihkan pandangan pada berbagai ciptaan Allah SWT yang terindera di sekitar manusia. Mereka diminta untuk memperhatikan, merenungkan dan memikirkan semua makhluk itu; bagaimana semuanya diciptakan dan dibuat seperti itu.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Afalâ yanzhurûna ilâ al-ibil kayfa khuliqat (Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan). Menurut para ahli tafsir, ketika Allah SWT menyebut dua tempat tersebut (surga dan neraka), orang-orang kafir merasa heran. Mereka pun mendustakan dan mengingkarinya. Kemudian Allah SWT mengingatkan mereka dengan ciptaan dan kekuasan-Nya, bahwa Dia berkuasa atas segala sesuatu sebagaimana Dia menciptakan binatang, langit, gunung, dan bumi.1
Ayat ini diawali dengan hamzah al-istifhâm (kata tanya). Dalam konteks ayat ini, al-istifhâm tersebut memberikan makna li at-taqrî’ wa at-tawbîkh (teguran dan celaan).2 Pihak yang mendapat teguran dan celaan itu adalah orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat. Mereka ditegur dan dicela karena tidak melakukan an-nazhar terhadap beberapa obyek yang disebutkan sesudahnya. Teguran dan celaan tersebut juga bisa dipahami sebagai perintah untuk melakukan an-nazhar terhadap berbagai benda itu. Menurut al-Jauhari, kata an-nazhar berarti ta’ammul asy-syay’ bi al-‘ayn (memikirkan atau merenungkan sesuatu dengan mata).3
Benda pertama yang disebutkan untuk diperhatikan dan dipikirkan adalah: al-ibil. Kata tersebut menunjuk pada jenis hewan yang sudah maklum di kalangan bangsa Arab, yakni unta. Memang ada yang mengartikan kata itu sebagai as-sahâb (awan). Akan tetapi, pengertian tersebut bertentangan dengan penafsiran para ahli tafsir dan bahasa.4 Terhadap unta itu, mereka diminta memperhatikan dan merenungkan: kayfa khuliqat (bagaimana ia diciptakan).
Ada beberapa penjelasan yang dikemukakan para ulama mengapa hewan yang disebutkan untuk diperhatikan dan pikirkan penciptaannya adalah unta. Menurut as-Samarqandi, karena unta merupakan sesuatu yang paling dekat bagi orang Arab.5 Dikatakan Ibnu Katsir, unta merupakan makhluk yang amat mengagumkan dan bentuknya yang unik; juga amat kuat dan tegar. Meskipun begitu, hewan itu bersikap lembut terhadap muatannya yang berat dan tunduk terhadap penunggangnya yang lemah. Dagingnya bisa dimakan dan susunya dapat diminum. Mereka diingatkan dengan unta lantaran hewan tersebut merupakan kendaraan yang paling banyak mereka gunakan.6
Dipaparkan juga oleh al-Qurthubi, unta yang pertama disebutkan dalam ayat ini karena hewan itu amat banyak ditemui di negeri Arab. Penduduknya belum pernah melihat gajah. Maka dari itu, Allah SWT mengingatkan kepada mereka tentang makhluk-Nya yang besar itu. Akan tetapi, unta yang besar itu Allah buat tunduk kepada yang kecil. Dengan itu makhluk yang lebih kecil itu dapat menuntun, menderumkan dan membuat unta itu mau berdiri. Unta juga mau membawa muatan yang berat dengan cara menderum lalu berdiri dengan memanggul beban berat itu. Itu tidak terjadi pada hewan lainnya. Maka dari itu, Allah SWT memperlihatkan kepada mereka adanya makhluk-Nya yang besar yang mau tunduk kepada makhluk-Nya yang kecil. Dengan itu pula, Allah SWT menunjukkan tauhid dan kekuasaan-Nya kepada mereka.7
Abu Suud juga menjelaskan, unta disebut di awal karena banyaknya manfaat pada unta, seperti dagingnya dapat dimakan, susunya bisa diminum, dapat membawa muatan di atasnya, dan menjadi sarana transportasi ke negeri yang jauh. Hewan itu juga dapat hidup dengan makan semua tumbuhan, seperti pohon dan duri; tahan terhadap haus hingga sepuluh hari, bahkan lebih; tunduk terhadap siapa pun yang menuntunnya, termasuk anak-anak yang masih kecil sekalipun. Hewan itu mau menderum untuk membawa muatan yang berat, juga bisa terpengaruh oleh suara yang bagus meskipun hatinya sangat keras. Tidak ada satu pun hewan yang menghimpun semua itu. Karena kelebihannya itu di mata bangsa Arab, mereka pun menjadikannya sebagai diyat dalam pembunuhan.8
Masih banyak penjelasan para ulama tentang keistimewan unta dan kelebihannya dibandingkan dengan hewan lainnya dan oleh karena itu layak untuk mendapat perhatian khusus. Namun patut dicatat, perhatian dan pengamatan yang diperintahkan ayat ini bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Hari Kebangkitan dan menjadi dalil atasnya. Ini sebagaimana dijelaskan al-Qinuji, bahwa ayat ini merupakan jumlah musta’nifah (kalimat baru yang melanjutkan kalimat sebelumnya) yang berguna untuk mengukuhkan urusan Hari Kebangkitan dan menjadikannya sebagai bukti. Demikian pula ayat sesudahnya.9
Kemudian Allah SWT berfirman: wa ilâ as-samâ’ kayfa rufi’at (langit, bagaimana ia ditinggikan?). Setelah diingatkan dengan unta bagiamana diciptakan, lalu diingatkan pula dengan benda besar yang jauh lebih besar lagi, yang menaungi mereka; bahkan menaungi seluruh hamparan bumi, yakni as-samâ’ (langit). Kata as-samâ‘ menunjuk pada benda yang berhadapan dengan bumi.10
Terhadap langit itu, mereka juga diminta untuk memperhatikan: kayfa rufi’at (bagaimana langit ditinggikan). Langit itu merupakan cakrawala paling jauh dan paling tinggi yang terlihat manusia. Tingginya langit layaknya atap yang besar, namun tanpa tiang. Ini jelas merupakan sesuatu yang menakjubkan. Oleh karena itu, mereka diminta untuk memperhatikannya. Menurut al-Qurthubi, ayat ini berarti: Bagaimana langit itu ditinggikan dari bumi tanpa tiang?11
Selain ayat ini, amat banyak ayat yang menyebutkan langit sebagai salah satu tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT, bahwa tidak ada yang meninggikannya kecuali Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Ra’d [13]: 2.
Oleh karena itu, ayat ini mengandung makna seperti ayat sebelumnya: untuk mengukuhkan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Kemudian Allah SWT berfirman: wa ilâ al-jibâl kayfa nushibat (gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?). Setelah langit, pandangan mereka diarahkan pada al-jibâl (gunung-gunung). Kata al-jibâl merupakan bentuk jamak dari kata al-jabal (gunung).
Terhadap gunung-gunung itu, mereka diperintahkan untuk memperhatikan: kayfa nushibat (bagaimana ia ditegakkan). Artinya, bagaimana gunung itu dijadikan berdiri tegak.12 Gunung disebut karena benda tersebut berdiri tegak lagi kokoh untuk menjadi pasak bagi bumi dan penghuninya. Di dalamnya juga terdapat aneka manfaat dan tambang-tambang.13 Mengenai keberadaan gunung-gunung sebagai pasak, juga disebutkan dalam QS al-Naba’ [78]: 7. Dengan adanya gunung-gunung yang berdiri kokoh itu, membuat bumi tidak bergoyang (lihat QS Luqman [3]: 30).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa ilâ al-ardh kayfa suthihat (bumi, bagaimana dihamparkan?). Benda terakhir yang disebutkan ayat ini untuk dilihat dan diperhatikan adalah al-ardh (bumi). Kata al-ardh menunjuk pada benda yang berhadapan dengan langit. Bentuk jamaknya al-ardhûna. Akan tetapi, bentuk jamak tersebut tidak ada dalam al-Quran.14
Terhadap bumi, manusia diminta untuk memikirkan: kayfa suthihat (bagaimana ia dihamparkan?). Dijelaskan al-Qurthubi, pengertian suthihat adalah busithat wa muddat (dibentangkan dan dipanjangkan).15 Hamparan bumi yang luas itu pun seperti alas sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah [2]: 22.
Realitas tersebut tentu amat menakjubkan. Bumi yang sebenarnya berbentuk bulat terlihat sebagai hamparan yang amat luas. Itu menujukkan betapa besarnya bumi. Tentu saja, itu menunjukkan bahwa besarnya kekuasaan Penciptanya. Kesimpulan inilah yang diharapkan didapat oleh siapa pun yang memperhaikan dan memikirkan itu.
Ini pula yang ditegaskan oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan tentang ayat-ayat ini. Menurut mufassir tersebut, semua benda yang disaksikan oleh orang Badui, baik unta yang ditunggangi, langit yang berada di atas kepalanya, gunung-gunung yang berdiri tegak di hadapannya, bumi yang terletak di bawahnya menjadi petunjuk bagi kekuasaan Pencipta dan Pembuatnya. Dialah Tuhan Yang Mahaagung, al-Khaliq, Pemilik dan Penguasa. Dialah Tuhan Yang tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia.16
Pengamatan yang Bermuara pada Keimanan
Terdapat banyak pelajaran penting dalam ayat-ayat ini. Beberapa di antaranya: Pertama, perintah untuk berpikir dan menggunakan akal. Penyebutan: Afalâ yanzhurûna (Apakah mereka tidak memikirkan?) dalam ayat ini memberikan kesimpulan demikian. Sebagaimana telah dipaparkan, an-nazhar berarti memikirkan sesuatu dengan penglihatan, atau menggunakan penglihatan dan pikiran untuk memahami sesuatu. Sebagaimana penjelasan para mufassir, ayat ini memberikan teguran dan celaan kepada mereka lantaran tidak mau memperhatikan dan memikirkan kejadian berbagai makhluk ciptaan-Nya. Karena tidak menggunakan akalnya, mereka pun terperosok ke dalam kesesatan. Mereka pun mengingkari Hari Kiamat, dahsyatnya siksaan neraka, dan kenikmatan surga yang luar biasa.
Mengenai pentingnya penggunaan akal, tak hanya diajarkan dalam ayat ini. Amat banyak ayat yang mendorong manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya sekaligus mencela orang-orang yang tidak menggunakannya. Ungkapan yang digunakan pun beragam, seperti la’allakum ta’qilûna (agar menggunakan akalnya), la’allakum tatafakkarûna (agar kalian berpikir), afalâ ta’qilûna (mengapa kalian tidak menggunakan akal), afalâ tafakkarûna (mengapa kalian tidak berpikir), fanzhurû (perhatikan), afalâ yanzhrûn, dan lain-lain.
Kedua, tuntunan berpikir yang dapat mengantarkan pada keimanan. Terhadap berbagai benda yang disebutkan dalam ayat ini, sesungguhnya manusia sudah banyak yang memperhatikan dan memikirkannya. Hanya saja, aspek yang dijadikan sebagai pengamatan dan pemikiran berkaitan dengan keimanan. Misalnya, ketika melihat unta, yang terpikir hanyalah berapa harganya atau bagaimana mengembangbiakkannya. Demikian juga tatkala melihat gunung yang tinggi. Pengamatannya hanya terbatas berapa kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya dan bagaimana cara mengambilnya. Ketika memandang hamparan tanah luas, yang terbersit dalam pikirannya hanyalah bagaimana menguasai dan mengekspolitasinya. Semua pengamatan tersebut tentu tidak bermuara pada keimanan.
Maka dari itu, ayat-ayat ini memberikan tuntunan berpikir yang bisa mengantarkan pelakunya pada keimanan. Tatkala melihat unta, yang harus terbayang dalam pikiran adalah bagaimana hewan itu diciptakan, kayfa khuliqat. Begitu pula ketika menyaksikan langit yang amat tinggi. Yang harus terpikirkan adalah bagaimanakah langit itu dapat ditinggikan, kayfa rufi’at. Demikian pula ketika memperhatikan gunung-gunung yang bediri kokoh. Yang terbersit dalam pikirannya adalah bagaimanakah gunung-gunung itu ditegakkan, kayfa nushbat? Pikiran yang sama juga dilakukan ketika memandang bumi yang terhampar luas. Bagaimanakah bumi itu bisa dihamparkan, kayfa suthihat?
Semua pertanyaan dan pemikiran itu akan bermuara pada satu jawaban, bahwa tidak ada yang bisa melakukannya kecuali Zat Yang Mahakuat dan Mahaperkasa. Dialah Allah SWT. Karena itu, sungguh ironis manusia yang lemah itu berani mengingkari dan mendustakan Allah SWT dan lancang menolak perintah dan larangan-Nya.
Inilah cara berpikir yang dapat mengantarkan pada keimanan, juga dapat memudahkan manusia dalam mengimani perkara-perkara gaib yang sulit dicerna oleh akal seperti Hari Kiamat, neraka dan surga sebagaimana diberitakan ayat-ayat sebelumnya. Jika Allah SWT mampu menciptakan unta, langit, gunung, dan bumi maka tentu amat mudah bagi Dia untuk menghidupkan kembali manusia yang sudah mati, mengumpulkan dan mengadili mereka serta memasukkan mereka ke dalam neraka dan surga. Selain ayat ini, masih banyak ayat lain yang mengajarkan cara berpikir demikian (Lihat, misalnya, QS Yasin [36]: 81).
Semoga kita termasuk orang yang dapat mengambil pelajaran dari semua makhluk ciptaan-Nya.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 34; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-‘Arabi, 1420 H), 245.
2 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 523; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqsâd al-Qur‘ân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 206; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 328.
3 Al-Jauhari, Ash-Shihhah fî al-Lughah.
4 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqsâd al-Qur‘ân, vol. 15, 207.
5 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 378.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 34-35.
8 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqsâd al-Qur‘ân, vol. 15, 207.
9 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqsâd al-Qur‘ân, vol. 15, 206.
10 Al-Asfahani, Al-Mufardât fî Gharîb a-Qur‘ân, 427.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 35.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 278.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 278.
14 Al-Asfahani, al-Mufardât fî Gharîb a-Qur‘ân, 73.
15 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 35.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8.