Demokrasi. Sepanjang tahun 2013 di Indonesia akan diselenggarakan 152 pemilihan umum kepala daerah di tingkat propinsi dan kota/kabupaten. Ini berarti setiap dua setengah hari digelar pesta demokrasi di Indonesia. Belum lagi pemilihan kepala desa dimana-mana. Tiada hari tanpa pesta!
Apa kabar demokrasi? Ada hal menarik saat saya bertemu dengan beberapa tokoh awal Maret. Ketua International Islamic Brotherhood, Prof. Musjby, mengatakan kepada saya, “Demokrasi banyak kejelekannya. Sekarang, syariah sedang berhadapan dengan demokrasi. Tampaknya, kalau dilihat dari proses pemilihan umum, syariah kalah dari demokrasi. Padahal, syariah berasal dari Allah, sementara demokrasi dari akal. Karena itu, saya mengusulkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memunculkan konsep pemikiran yang up to date untuk menghadapi demokrasi.”
Beliau segera menambahkan, “HTI adalah satu-satunya lembaga Islam yang bisa dipercaya di dunia, karena HTI belum terlihat cacatnya dan HTI benar-benar membawa panji syariah.”
Saya hanya mengatakan bahwa syariah tidak kalah dari demokrasi. Sebab, pihak yang turut sebagai kontestan Pemilu tidak ada yang benar-benar berjuang untuk syariah. Jadi, kekalahan mereka tidak bisa digeneralisasi sebagai kesalahan syariah.
Mukhlis Abdullah (Muhammadiyah) menyatakan, “Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin sekaligus ancaman global bagi Barat. Pada masa penjajahan, syariah Islam tidak dipermasalahkan, baru saat awal kemerdekaan syariah Islam dipersoalkan. Pada awal demokrasi, perjuangan syariah Islam dititipkan kepada partai Islam, tetapi mengecewakan. Mengandalkan DPR adalah mimpi.”
H Azhar (Korps Muballigh Jakarta) mengatakan lebih tegas lagi. “Demokrasi bertentangan dengan Islam. Penyakit demokrasi mulai dari kepala hingga kaki. Karena itu, demokrasi harus dirombak semuanya,” tegasnya.
Bukan sekadar dalam tataran teoretis, dalam tataran praktis demokrasi mencerminkan kerangka teoretisnya. Adang Hermansyah (Gerakan Reformis Islam/GARIS) mengungkap-kan pengalamannya di lapangan, “Ketika demokrasi dibiarkan, tontonan berubah menjadi tuntunan. Ini berbahaya. Demokrasi benar-benar membiarkan kemaksiatan. Ini berbahaya bagi anak dan cucu serta keluarga kita. Di sinilah perlunya penegakkan Khilafah.”
Begitu juga, pengalaman Pak Subagyo, salah seorang tokoh dari Tangerang. “Demokrasi adalah suara mayoritas. Asal punya anak buah banyak bisa menjadi bupati sekalipun dia peminum. Karena dipilih oleh orang-orang tersebut maka sang penguasa harus menggaji mereka. Untuk mendapatkan dananya, ya korupsi. Akhirnya, penguasa menjadi pengusaha.”
Beliau menambahkan, “Kini, demokrasi sudah menjalar ke masjid. Ada masjid yang di dalamnya digunakan tenis meja karena mayoritas pengurus masjid setuju. Ini korban demokrasi. Demokrasi perlu segera dihilangkan dengan secepatnya.”
Pandangan itu tidak berlebihan bila dikatakan sebagai cerminan makin merosotnya ketidakpercayaan masyarakat kepada demokrasi. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akhir tahun lalu menunjukkan bahwa hanya 23% masyarakat yang percaya kepada partai politik. Tidak mengherankan, golongan putih selalu menjadi pemenang dalam setiap Pemilu. Di Jawa Barat, misalnya, pemenang Pemilukada Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar mengantongi 6,5 juta suara, sementara golongan putih 11,8 juta. Demokrasi sekarat. Demokrasi mati.
Ada sebuah pertanyaan penting, mengapa ada kaum Muslim yang masih percaya pada demokrasi? Salah satu jawabannya adalah karena kebobrokan demokrasi itu ditutup-tutupi, lalu dibalut dengan ajaran Islam. Sekadar contoh, demokrasi disebut sama dengan musyawarah. Padahal beda demokrasi dengan musyawarah seperti bedanya bumi dengan langit. Satu hal yang masih menjadi daya tarik adalah konsep suara mayoritas; seolah-olah suara mayoritas itu selalu baik. Hakikatnya, slogan itu penuh dengan tipuan.
Di dalam al-Quran bertebaran ayat-ayat yang menegaskan bahwa mayoritas manusia justru memiliki karakter tidak baik. Allah SWT menegaskan bahwa mayoritas manusia tidak beriman (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 100; Yusuf [12]: 106; asy-Syu’ara [26]: 8, 67, 103, 121, 139, 158, 174, 190). Bahkan al-Quran menyebutkan bahwa mayoritas manusia itu berbuat syirik (QS ar-Rum [30]: 42) dan kufur (QS al-Isra’ [17]: 89). Di tengah mayoritas dalam keadaan tidak beriman, mayoritas manusia tidak mengetahui (QS al-A’raf [7]: 102; al-An’am [6]: 37; al-Anfal [8]: 34; Yunus [10]: 55; an-Nahl [16]: 75; an-Nahl [16]: 101; al-Anbiya [21]: 24; an-Naml [27]: 61; al-Qashash [28]: 13, 57; Luqman [31]: 25; az-Zumar [39]: 29, 49; ad-Dukhan [44]: 39; ath-Thur [52]: 47). Akibatnya, mayoritas manusia pun bersifat bodoh (QS al-An’am [6]: 111) dan fasik (QS al-A’raf [7]:102). Sekalipun tidak mengetahui, mayoritas mereka tidak berakal dan tidak mau mendengar kebenaran (QS al-Furqan [25]: 44, al-Ankabut [29]: 63; Fushilat [41]: 4; al-Hujurat [49]: 4). Akhirnya, mayoritas manusia mengikuti prasangka (QS Yunus [10]: 36) dan tidak bersyukur (QS al-A’raf [7]: 17; Yunus [10]: 60; an-Naml [27]: 73). Jadi, secara imani, paham suara mayoritas (aktsariyah) dalam demokrasi bertentangan dengan hakikat karakter manusia. Paham mayoritas demikian hanya menghitung jumlah kepala, tetapi tidak menghitung isi kepala; hanya menghitung jumlah orang, tetapi tidak mempertimbangkan derajat keimanan dan ketakwaan seseorang. Suara penjahat ulung disamakan dengan suara ulama yang bertakwa. Suara seorang tak tahu apa-apa disamakan dengan suara cendekiawan yang ahli di bidangnya.
Allah SWT menegaskan bila kita mengikuti kehendak mayoritas manusia di bumi ini niscaya kesesatanlah yang akan diperoleh. Di dalam al-Quran disebutkan (yang artinya): Jika kamu menuruti kebanyakan (mayoritas) orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (TQS al-An’am [6]:116).
Berdasarkan hal ini, konsep suara mayoritas dalam menentukan kebenaran dan jalan hidup bertentangan dengan Islam. Justru itulah yang menjadi landasan demokrasi. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk mengubur demokrasi?![ Muhammad Rahmat Kurnia]