HTI

Hiwar (Al Waie)

Ustadz Syamsuddin Ramadhan an-Nawi: Nasionalisme Melemahkan Umat

Pengantar Redaksi:

Nasionalisme sudah terlanjut dianggap sebagai sebuah paham yang baik dan positif. Nasionalisme dianggap tali pengikat ampuh yang bisa mempersatukan suatu bangsa. Betulkah? Lalu bagaimana dengan fakta bahwa Indonesia, dengan nasionalismenya, justru sering berkonflik dengan Malaysia. Bagaimana Indonesia, dengan nasionalismenya, gagal mencegah Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia? Bagaimana Indonesia, dengan nasionalismenya, tidak berdaya dalam menumpas gerakan sparatis Organisasi Papua Merdeka? Yang lebih penting dipertanyakan, bagaimana sesungguhnya Islam memandang nasionalisme? Adakah nasionalisme bermanfaat atau berbahaya bagi umat Islam?

Itulah di antara beberapa pertanyaan yang dijawab secara lugas oleh oleh Ustadz Syamsuddin Ramadhan an-Nawi dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia dalam wawacara Redaksi dengan beliau berikut ini.

Menurut hadis, cinta tanah air itu sebagian dari iman. Bagaimana menurut Ustadz?

Memang benar, ada hadis yang menyatakan: Hubbu al-wathan min al-iman (Cinta tanah air bagian dari iman).  Hanya saja, sebagaimana penuturan Imam ash-Shan’ani dalam Kitab Mawdhu’at ash-Shan’ani, hlm. 47, hadis no: 81; hadis ini mawdlu’ (palsu).   Ahli hadis lain menyatakan hadits tersebut dusta (makdzub) dan tidak ada asal-usulnya (la ashla lahu). Imam Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama besar mazhab Syafii, juga menyatakan, “Lam aqif ‘alayhi” (Saya tidak mengetahui hadits ini). Dengan demikian, hadis ini tidak sah dijadikan sebagai hujjah.

Bagaimana dengan matan (isinya)?

Jika sumbernya (tsubut) cacat, maka isinya (matn al-hadits) tidak perlu dilihat lagi. Cinta tanah air—seperti halnya cinta kekuasaan, harta, anak dan klan—termasuk perkara naluriah (amr gharizi) yang ada pada setiap manusia, baik Mukmin maupun kafir.  Islam tidak melarang atau berusaha memberangus naluri itu.  Namun, Nabi saw. tidak memasukkan “cinta tanah air dan kaum” dalam ‘ashabiyyah. Imam Ibnu Majah menuturkan sebuah riwayat dari Fasilah ra dari bapaknya, bahwa ia berkata: Telah bertanya seorang laki-laki, ”Ya Rasulullah, adakah termasuk ‘ashabiyyah seseorang mencintai kaumnya?” Sabda beliau, “Tidak!  Yang termasuk  ‘ashabiyyah adalah seseorang menolong kaumnya atas kezaliman.” (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Karena termasuk perkara naluriah, maka cinta tanah air tidak berhubungan samasekali dengan keimanan.  Sebab, naluri ini ada pada setiap orang, baik Mukmin maupun kafir, shalih maupun thalih. Fakta menunjukkan; banyak orang cinta tanah airnya, bahkan rela mati untuk membelanya; namun ia tidak punya iman.  Iman tidak ditentukan oleh sejauh mana kecintaan seseorang pada tanah airnya, tetapi ditentukan sejauh mana ia makrifat dan meyakini perkara-perkara keimanan. Barangkali yang dimaksud “cinta tanah air bagian dari iman” adalah mencintai negeri atau tempat yang menerapkan Islam, dan membelanya karena Islam.  Pasalnya, seorang Muslim wajib berjihad melawan orang-orang kafir yang berusaha menguasai negerinya.

Kalau negeri kita diserang musuh, bukankah Islam mewajibkan kita berjihad untuk mempertahankannya?

Memang, Islam telah mewajibkan kaum Muslim untuk berjihad melawan orang-orang kafir ketika mereka menyerang negeri kita.  Di dalam kitab Fath al-Mu’in disebutkan, “Jihad itu hukumnya fardlu kifayah, diselenggarakan setiap tahun, walaupun hanya satu kali. Ketentuan ini berlaku jika orang-orang kafir masih berada di negeri-negeri mereka.  Namun, hukum jihad berubah menjadi fardlu ‘ain jika orang-orang kafir masuk ke negeri kita.” (Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, IV/206].

Hanya saja, perang melawan orang kafir yang menyerang negeri kita tidak boleh didasarkan pada kecintaan pada tanah air, atau didasarkan pada patriotisme dan nasionalisme.  Seorang Muslim wajib mempertahankan negerinya karena keimanannya, bukan karena yang lain. Seseorang yang berperang melawan orang-orang kafir hanya karena patriotisme, nasionalisme atau cinta tanah air, maka peperangannya tidak dianggap ibadah kepada Allah SWT.  Jika ia mati, ia tidak layak disebut syahid. Sebab, jihad kaum Muslim melawan orang kafir harus didasarkan pada akidah Islam, dan semata-mata karena menunaikan perintah Allah SWT; bukan karena cinta tanah air, spirit patriotisme atau nasionalisme.

Dalam al-Quran kita diciptakan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Itu artinya identitas bangsa itu harus dipertahankan. Bukankah itu sama dengan nasionalisme?

Perlu diketahui terlebih dulu ta’rif nasionalisme.  Menurut  Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu  keadaan  pada individu  saat dia merasa bahwa pengabdian yang  paling  tinggi adalah   untuk bangsa dan tanah air. Dengan kata lain, nasionalisme  adalah paham yang mengunggulkan dan  mengutama-kan kebangsaan dan menomorduakan  paham lain. Bagi seorang nasionalis bangsa adalah segala-galanya.  Tidak ada  yang lebih  penting  dalam  hidupnya kecuali  meraih kejayaan dan membela bangsanya. Tidaklah aneh jika kaum nasionalis tega memberangus bahkan mematikan paham atau ide keagamaan jika ide dan paham tersebut dianggap bertentangan dengan nasionalisme dan mengganggu kepentingan nasional.

Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 memang Allah SWT menyatakan (yang artinya): Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari  lelaki dan  perempuan; Kami menjadikan kalian  berbangsa-bangsa  dan bersuku-suku  agar  saling  mengenal. Sesungguh-nya  orang  mulia di antara  kalian  adalah  yang paling bertakwa  di sisi  Allah. Ayat ini hanya menuturkan tentang keragaman (pluralitas) bangsa, ras dan suku agar manusia saling mengenal, tolong menolong dan mengetahui nasab masing-masing.  Tak ada keutamaan satu suku atas suku yang lain serta bangsa satu atas bangsa yang lain.  Keutamaan diukur dengan tingkat ketakwaan. Dari arah mana pun, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pensyariatan nasionalisme.  Islam justru memerintahkan umatnya untuk bersatu dan mencampakkan sejauh-jauhnya ikatan-ikatan sektarian, seperti kebangsaan, suku dan ras.

Kalau identitas nasionalisme tidak boleh, lalu identitas apa yang harus kita miliki? Bagaimana membangunnya?

Identitas yang harus disandang seorang Muslim adalah Islam.  Islam adalah pilar utama kehidupan seorang Mukmin.  Seluruh keyakinan, perkataan, dan perbuatan seorang Muslim harus lahir dari Islam.  Islam adalah pandangan dan jalan hidupnya.  Islam adalah ruh yang menggerakkan pikiran dan perasaan seorang Muslim.  Seorang Muslim boleh saja berasal dari suku, bangsa, atau daerah tertentu; atau menggunakan suku atau daerah tertentu sebagai nasabnya. Akan tetapi, mereka diikat dan disatukan dengan akidah Islam.  Yang menjadikan mereka mulia bukanlah nasab atau asal daerah mereka, tetapi keterikatannya dengan Islam (takwa).

Adapun cara membangun identitas Islam pada diri seorang Muslim adalah: Pertama, menanamkan akidah Islam di dada kaum Muslim.  Akidah yang kuat dan mengakar akan mendorong seseorang untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah.  Sebab, ia menyadari sepenuhnya bahwa menjalankan syariah Islam adalah wujud dari keimanan. Kedua, mengingatkan umat Islam bahwa Khilafah Islam adalah satu-satunya sistem pemerintahan syar’i yang wajib ditegakkan oleh umat Islam.  Khilafah Islam  adalah institusi politik yang bertugas menerapkan syariah Islam di dalam negeri, menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad; serta menyatukan seluruh kaum Muslim dari ujung timur hingga ujung barat. Dakwah untuk menegakkan dan menjaga eksistensi Khilafah Islam harus dijadikan ikon dakwah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum Muslim seluruh dunia; juga agar kehidupan Islam bisa dilangsungkan dalam kehidupan bermasyarakat  dan bernegara. Ketiga, mengobarkan terus spirit jihad di dada kaum Muslim.  Sebab, jihad fi sabilillah merupakan salah satu instrumen syar’i untuk mempertahankan eksistensi akidah Islam dan Khilafah Islam. Dengan spirit ini, kaum Muslim akan terus tergerak untuk selalu menjaga akidahnya dan negaranya dari ancaman musuh Islam dan kaum Muslim.  Dengan cara seperti ini, identitas Islam akan terus disandang kaum Muslim secara individu maupun kolektif.

Bisakah nasionalisme mewadahi keberagaman sehingga orang yang berbeda agama, aliran, partai, kelompok dsb bisa hidup bersama?

Menurut saya sebaliknya. Nasionalisme itu haram diadopsi, diterapkan, dan didakwahkan.  Nasionalisme tidak boleh dijadikan wadah untuk mengikat keragaman. Pasalnya, ikatan nasionalisme adalah ikatan temporal dan ‘ashabiyyah. Ikatan yang harus dijadikan pengikat keragaman adalah ikatan yang bercorak ideologis, bukan nasionalisme.

Kalau begitu, apakah nasionalisme itu berbahaya bagi umat Islam?

Nasionalisme tidak saja berbahaya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh umat manusia.  Bahaya nasionalisme bagi umat Islam adalah: (1) Mengembalikan umat Islam pada ikatan-ikatan ‘ashabiyyah yang telah dihapus oleh syariah Islam. Ikatan ‘ashabiyyah inilah, dalam banyak hal, menjadi faktor penting dalam penciptaan konflik dan permusuhan antara negara, suku dan kelompok.  (2) Memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam. Umat Islam, sebagaimana ketetapan syariah Islam, wajib hidup bersatu (berjama’ah) di bawah kepemimpinan tunggal seorang Khalifah. Seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari jamaah.  Nabi saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi siapa saja yang berusaha memecah belah jamaah mereka. (3) Menghambat atau setidaknya memperlambat lalu-lintas barang dan manusia.  Nasionalisme dengan negara bangsa-nya memunculkan apa yang disebut dengan “coct-cost nasionalistik” yang sebenarnya tidak perlu. Dulu kaum Muslim yang ada di Irak, Yaman  dan Madinah bebas berhubungan dan berdagang satu sama lain tanpa dikenai tarif.  Kaum Muslim  bebas bergerak untuk melakukan aktivitas ekonomi, menuntut ilmu, dan lain sebagainya, di dalam Daulah Khilafah Islam sejauh manapun mereka bergerak.   Tidak ada hambatan tarif atau hambatan legal formal.  Namun, adanya lebih dari 50 negara-bangsa menyebabkan kaum Muslim tidak bebas bergerak, bahkan sekadar untuk menolong saudara Muslimnya yang dizalimi orang-orang kafir, mereka selalu terhalang; (4) Melahirkan negara-negara yang hanya mengedepankan kepentingannya sendiri.  Altruisme universal terkikis oleh nasionalisme. (5) Nasionalisme bertentangan sifat dan karakter agama Islam.  Islam adalah agama universal yang tidak hanya diperuntukkan bagi suku, ras, negara atau bangsa tertentu; tetapi  bersifat menyeluruh untuk seluruh umat manusia. Nasionalisme juga bertentangan dengan konsepsi politik Islam (Khilafah Islam) yang mengharuskan kepemimpinan tunggal di seluruh dunia.  Islam melarang adanya dualisme kepemimpinan dan negara Nabi saw. pernah bersabda (artinya), “Apabila dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari yang keduanya.” (HR Muslim). Jelas, kaum Muslim wajib hidup di bawah satu kepemimpinan dan negara.  Mereka dilarang mendirikan institusi negara lebih dari satu.  Berbeda dengan nasionalisme, paham ini justru melegalkan adanya banyak negara dan kepemimpinan.

Kalau bukan nasionalisme, harus dengan apa dan bagaimana mewujudkannya?

Umat manusia hanya bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain, saling mendukung dan menopang jika di sana ada sistem kekuasaan global yang menerapkan aturan yang bisa menjamin kesejahteraan, keadilan dan rasa aman.  Hal ini hanya bisa terwujud jika sistem politik yang menopang kehidupan manusia berwujud sistem politik global, yang menerapkan aturan paling baik yang berasal dari Zat Yang Mahatahu dan paling mengetahui apa yang paling baik bagi mereka.  Sistem politik itu adalah Khilafah Islam dengan aturan yang diterapkan adalah syariah Islam.

Karena itu kaum Muslim harus berjuang menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah sebagai thariqah syar’iyyah untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah.   Perjuangan tersebut harus berjama’ah, melalui manhaj(jalan) yang telah digariskan oleh Nabi saw., tidak musyarakah, dan dilakukan tanpa kekerasan. Adapun thariqah untuk menegakkan Khilafah Islam harus dilakukan dengan thalabun nushrah,bukan dengan jihad atau musyarakah dalam sistem pemerintahan kufur.  WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*