Satu dekade yang lalu pada bulan Maret 2003, 300.000 tentara asing, yang dipimpin oleh AS mulai melakukan invasi ke Irak. Setelah satu dekade, pendudukan masih tetap terjadi.
Namun, banyak kebohongan yang dikarang dan saat ini telah menghilang dan terlupakan. Dengan maksud membenarkan invasi, kebohongan itu hanya diganti dengan pembenaran lainnya. Oleh karena itu pada peringatan invasi Irak yang ke-10 tahun, kami menyoroti 10 mitos itu:
1. Tujuan invasi adalah untuk menyebarkan demokrasi.
Alasan Amerika untuk melakukan invasi ke Irak kini terbukti hanyalah segudang kebohongan. Amerika terus mengubah alasan invasinya ke Irak, dari mulai hak moral untuk menjatuhkan Saddam Hussein yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal hingga alasan bahwa umat Islam Irak ingin dibebaskan. Alasan sebenarnya dari Barat dan sekutunya untuk berperang pada tahun 2003 telah gamblang dijelaskan dalam laporan tahun 2001 tentang “keamanan energi”. Suatu komisi ditugaskan oleh AS kepada Wapres Dick Cheney pada waktu itu, yang memperingatkan bahwa Irak akan menimbulkan risiko keamanan bagi pasokan energi global. Noam Chomsky, yang dianggap intelektual terkemuka dunia merangkum agenda Amerika itu: “Ambillah contoh invasi Amerika ke Irak, misalnya. Bagi semua orang kecuali seorang ideolog, cukup jelas bahwa kita menyerang Irak bukan karena cinta kita terhadap demokrasi, tetapi karena mungkin negara itu adalah sumber minyak kedua atau ketiga terbesar di dunia, dan tepat berada di tengah-tengah wilayah penghasil energi utama. Namun, Anda seharusnya tidak mengatakan ini. Ini akan dianggap sebagai teori konspirasi.”
2. Campur tangan Barat di Irak adalah untuk menyingkirkan Tiran Saddam Hussein.
George W Bush dan Tony Blair terus menyatakan alasan mereka berperang di Irak untuk membebaskan dunia dari seorang diktator brutal yang merupakan ancaman bagi perdamaian, stabilitas dan demokrasi regional. Keduanya telah secara teratur menyebutkan penggunaan gas kimia terhadap penduduk Kurdi dan Perang Iran-Irak pada tahun 80-an, sebagai contoh kebrutalan Saddam.
Namun, hal ini juga merupakan kebohongan. Menurut Project for a New American Century Document yang disahkan oleh para pejabat pemerintahan Bush senior tahun 1997, disebutkan, “Sementara konflik dengan Irak yang tidak terselesaikan memberikan pembenaran langsung” bagi AS ‘untuk memainkan peran yang lebih permanen bagi keamanan regional Teluk,’ perlunya kehadiran kekuatan besar Amerika di Teluk melebihi isu atas rezim Saddam Hussein.”
Jadi senjata pemusnah massal Saddam itu bukanlah masalah yang sebenarnya dan bukan pula Saddam itu sendiri.
3. Invasi dibenarkan karena dilakukan melalui proses parlemen yang sah.
Kenyataannya, keputusan untuk berperang dibuat bersama oleh para pejabat Amerika dan pejabat senior Inggris sebelum setiap proses demokrasi dilakukan, di balik pintu tertutup, dan tidak mempedulikan bukti-bukti atau hukum internasional. Hal ini telah dipaparkan dalam berbagai dokumen resmi yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Dalam suatu pilihan kebijakan yang bocor yang disusun oleh para pejabat Kantor Kabinet Sekretariat Luar Negeri dan Pertahanan (tanggal 8 Maret 2002), tercatat bahwa, “Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Saddam adalah dengan menyerang dan memaksakan suatu pemerintahan baru…[Tanpa ada dasar hukum] yang ada saat ini, membuat gerak cepat untuk menyerang akan sangat sulit secara hukum. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan pendekatan yang bertahap. “
Nota pertemuan pada tanggal 23 Juli 2002 antara para anggota kunci kabinet, Perdana Menteri dan Kepala MI6 dan JIC, yang dikenal dengan nama Downing Street Memo, menyimpulkan untuk mendesak mereka yang hadir pada pertemuan itu agar “bekerja dengan asumsi bahwa Inggris akan mengambil bagian dalam aksi militer. “
Bukti bahwa sistem intelijen dipolitisasi dan diambil keuntungan untuk membenarkan invasi kini menjadi semakin jelas. Penentangan terhadap perang menyebabkan para elit politik baik di Amerika maupun di Irak memanipulasi sistem masing-masing agar bekerja untuk tujuan mereka sendiri. Persetujuan Parlemen tidak membuat kejahatan itu menjadi benar, terlepas dari berapa banyak orang yang ikut voting.
4. Perang bukan kebohongan, yang salah adalah pihak intelijen.
Invasi atas Irak dilakukan atas dasar kebohongan mengenai senjata pemusnah massal (WMD) Saddam. Mereka membuat klaim palsu yang telah diumumkan oleh para pejabat Amerika dan pejabar senior Inggris untuk memanipulasi opini publik, agar bisa berperang, dan terlepas dari apakah WMD itu benar-benar ada.
Di antara pihak intelejen bagi sekutu adalah kesaksian pembelot Jenderal Hussein Kamel, menantu Saddam dan Kepala Program WMD Irak. Dia memberikan berpeti-peti dokumen bagi inspektur senjata PBB, serta kesaksian para pejabat mengenai sifat yang tepat dari program WMD bahwa Saddam telah memulai pada tahun sebelumnya. Dia bahkan dikutip oleh para pejabat senior sebagai seorang saksi kunci atas ancaman yang ditimbulkan oleh WMD milik Saddam itu. Kenyataannya, Jenderal Kamel telah memberitahu Inspektur PBB pada tahun 1995 bahwa Irak telah menghancurkan seluruh persediaan nuklir, senjata kimia dan biologi, dan rudal-rudal yang dilarang, pada tahun 1991, tak lama sebelum terjadinya Perang Teluk – persis sebagaimana yang dikatakan oleh Saddam.
Para perwira intelijen senior di MI6 dan CIA telah menegaskan bahwa intelijen sengaja dipolitisir untuk mendukung kesimpulan yang berlawanan dari apa yang mereka telah buat: “Anda tidak bisa hanya memetik ‘buah cheri’ yang sesuai dengan kasus Anda dan mengabaikan yang lain. Ini adalah aturan utama pihak intelijen. Namun, itulah yang dilakukan oleh Perdana Menteri.”
5. Irak akan menjadi tempat yang lebih baik setelah invasi.
Pemerintahan Bush berencana dari awal untuk mendominasi Irak dengan melakukan pemecahan de facto berdasarkan etnik negara menjadi tiga wilayah otonom, wilayah etnis, yang terbagi masing-masing untuk Sunni, Kurdi dan Syiah. Pembagian ini merupakan faktor utama dari kekerasan saat ini dan perpecahan yang melanda negara itu. Majelis parlemen dan legislatif demokrasi Amerika yang didirikan Amerika di Irak mengubah negara itu menjadi negara faksi dengan pertikaian faksi yang permanen. Pemilu Irak tahun 2005 melembagakan perbedaan sektarian dan etnis tersebut.
6. Munculnya penambahan pasukan berakhir dengan pemberontakan.
Itu bukan penambahan pasukan yang mengakhiri kekerasan, namun Amerika menyertakan baik Iran maupun Turki. Iran memulai Dewan Islam Irak (ISCI), suatu kelompok yang dibuat di Teheran dengan dukungan penuh pada tahun 1982. Abdel Aziz al-Hakim adalah pemimpin tertingginya sampai kematiannya pada tahun 2009, yang mengumpulkan faksi-faksi Syiah utama untuk mengambil bagian dalam pemerintah Irak bentukan AS, dimana AS meninggalkan dengan pemberontakan yang terjadi di sekitar Baghdad hanya karena persaingan. Turki memainkan peran sentral dalam memastikan arsitektur bentukan AS secara bersama-sama. Turki membawa kelompok-kelompok yang berbeda itu bersama-sama untuk membentuk pemerintahan dalam Pemilu yang berlangsung. Sebagaimana yang dikatakan seorang analis: “Turki telah lama memfasilitasi stabilitas politik di Irak dan setelahnya Ankara akan memainkan peran yang lebih penting dalam proses politik di Irak karena peran Ankara dalam politik Irak menyeimbangkan dampak Iran di Irak.”
7. Pasukan Sekutu sangat berhati-hati dalam penggunaan amunisi presisi tinggi untuk menghindari kematian massal.
AS dan sekutunya melakukan kehancuran total atas infrastruktur sipil Irak, baik dilakukan dengan menggunakan rudal dengan presisi tinggi maupun tidak, yang menyebabkan angka kematian yang tidak terhitung. Bekas-bekas pembantaian, pengeboman bus-bus, rumah-rumah yang dihancurleburkan, pasar-pasar yang dibakar, infrastruktur sipil yang diratakan dengan tanah dan lingkungan yang dibom masih ada di Irak hingga hari ini.
Penelitian epidemiologi yang paling ketat dari korban tewas penduduk sipil Irak dipublikasikan dalam review jurnal medis terkemuka Inggris Lancet, yang dilakukan oleh John Hopkins University Bloomberg School of Public Health. Diperkirakan ada 655.000 lebih banyak penduduk sipil Irak yang mati akibat perang, dengan menggunakan metode statistik standar yang banyak digunakan dalam komunitas ilmiah.
8. Dua Pemilu Parlemen yang dilakukan adalah untuk membela Barat.
Ketegangan di Irak saat ini telah berkembang sejak Pemilu 2010 di mana aliansi sektarian dan perpecahan merupakan hasil utamanya. Gerakan Nasional Irak, yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Ayad Allawi, meraih kursi terbanyak, namun mereka tidak dapat membentuk pemerintahan koalisi. Aliansi Hukum Negara, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Nouri al-Maliki dan Aliansi Nasional Irak, sebagian besar merupakan kelompok pro-Iran yang dibentuk pemerintah. Etno-sektarian dengan perbedaan yang begitu tajam digunakan untuk mengatasi pemerintah yang terpecah untuk mengambil kepemimpinan Irak selama 8 bulan. Sejak saat itu, al-Maliki mengumpulkan lebih banyak kekuatan. Dia menunjuk orang-orang terdekatnya dalam kementerian perminyakan dan militer dan intelijen. Untuk lebih memperkuat kekuasaannya, al-Maliki mulai menghilangkan saingan potensialnya. Pada bulan Desember 2011, al-Maliki dilaporkan melarang Wakil Sunni Salehal-Mutlaq dari pertemuan Kabinet dan mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tariq al-Hashimi, keduanya adalah anggota yang didukung oleh al-Iraqiya. Konsolidasi kekuasaan Al-Maliki mengarah kepada semua faksi milisi untuk memanfaatkan mereka agar mendapatkan pengaruh atas pemerintah pusat, yang semuanya akan digunakan untuk memperkaya faksi mereka sendiri.
9. Tanpa intervensi asing sekteianisme akan menghancurkan Irak.
AS telah menggantikan sistem brutal di Irak, yang dipimpin oleh seorang diktator yang telah disokong oleh AS begitu lama, dengan suatu sistem yang korup yang mengakui rincian etnis dan sektarian di Irak. Hal ini telah membuat Irak terpecah selamanya dan terus-terus saling berebut kekuasaan politik. Demokrasi di Irak juga telah menciptakan lahan subur politik yang terpolarisasi. Demokrasi alih-alih bisa memecahkan masalah nasionalisme, kesukuan atau sektarianisme, pada kenyataannya demokrasi justru melegitimasi korupsi tersebut dan menggabungkan semuanya menjadi sebuah sistem politik parlementer yang memungkinkan berbagai faksi untuk melawan dan menjadi joki bagi kepentingan kecil mereka. Ini berarti dalam jangka panjang, kekerasan akan terus terjadi sebagai sarana untuk menyelesaikan perbedaan etnis.
10. Barat tetap berkomitmen bahwa Irak akan melanjutkan investasi.
Sejumlah negara berpartisipasi dalam Perang Irak tidak lain untuk mendapatkan keuntungan dari rampasan sumber-sumber energi Irak. Menteri Pertahanan Australia mengakui pada tahun 2007 bahwa mengamankan pasokan minyak merupakan faktor kunci di balik kehadiran pasukan Australia di Irak. Perusahaan Amerika dan Inggris, paling awal, memenangkan kontrak menguntungkan di atas minyak dan gas, dalam upaya untuk mengembangkan ladang minyak terbesar Irak. Namun, selain energi, investasi adalah hal paling mengecewakan. Semua sektor ekonomi Irak perlu dibangun kembali, dari mulai perumahan dan industri hingga jasa telekomunikasi dan keuangan, dalam rangka mengembalikan layanan dasar bagi negara. Ada kemarahan yang berkembang bahwa elit penguasa yang mencuri atau menggelapkan uang negara sebanyak $2 miliar (£ 1,3 miliar) dalam seminggu dari pendapatan minyak, menghabiskan dana bagi listrik, air, perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan dan bahkan pengumpulan sampah. Transparency International mengatakan bahwa tahun 2012 Irak adalah negara yang paling korup keempat di dunia dari 178 negara yang disurvei. Telah ada beberapa investasi di Irak, hal ini berkisar pada energi, yang dalam jangka panjang hanya akan menguntungkan Barat yang mengkonsumsi sebagian besar minyak dunia. [rz/khilafah.com, 23/03]