HTI

Analisis

Kekuatan Opini

Muhammad Rahmat Kurnia

RUU Ormas akan disahkan pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 9 April 2013.  Sekarang sudah ada di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi.  Tinggal ketok palu.” Begitu berita yang tersebar akhir Maret.  Padahal RUU Ormas tersebut masih banyak mengandung persoalan.  Di antaranya adalah asas tunggal.

Ketika saya berbincang dengan beberapa tokoh, kebanyakan mereka sudah tidak punya harapan lagi untuk dapat mengubah isi RUU tersebut.  Alasannya, sudah mencapai tahapan akhir.  Namun, saya mengatakan, “Masih ada waktu. Kalau kita berhasil menyampaikan pandangan kita, dan bersatu dalam mengungkapkannya, niscaya akan terdapat perubahan.”

Diskusi pun hampir tak menemukan jalan putus. Alhamdulillah, akhirnya semua sepakat melakukan perjuangan.

Untuk menolak RUU Ormas, khususnya Pasal 2 tentang asas tunggal, Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan temu tokoh dan konferensi pers tentang ‘Menolak RUU Ormas’ pada 23 Maret.  Di antara tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah M. Amin Lubis (Perti), Zulkifli dan M. Sabili Raun (Al-Ittihadiyah), Mahladi (Hidayatullah), Azam Khan (Advokat), Zhahir Khan (DDII), Ahmad Michdan (TPM), Ahmad Mufti (Sarekat Islam Indonesia) dan Eggi Sudjana (SIRI).  Sebelumnya, pertemuan serupa dihadiri 20 ormas.  Semua tokoh sepakat menolak asas tunggal. “Secara filosofis, yuridis dan historis asas tunggal ini harus ditolak.  Dulu zaman Orde Lama asas tunggal banyak makan korban. Tap MPR nomor XVIII tahun 1998 telah mencabut asas tunggal. Kini masa mau dihidupkan kembali,” ungkap Eggi Sudjana.

Ahmad Michdan menyatakan, “Organisasi Islam itu dasarnya harus Islam. Menyeragamkan apalagi memaksakan asas tunggal kepada ormas merupakan tindakan tidak menghargai kemajemukan.”

Zhahir Khan mengatakan, “Semestinya asas ormas itu disamakan saja dengan asas parpol, yaitu yang penting tidak bertentangan dengan Pancasila.  Mengapa ormas Islam harus berasas tunggal, sementara partai politik tidak?!”

Berbagai upaya lain dilakukan.  Hampir semua fraksi dikirimi surat untuk audiensi.  Di antara yang merespons adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS).  Beberapa ormas hadir dalam kesempatan itu.  Ketua Dewan Pusat Sarikat Islam Indonesia, Ahmad Mufti, menyatakan di depan FPKS: “Tidak benar pemberitaan bahwa Sarikat Islam Indonesia (SII) mendesak agar pasal tentang asas tunggal segera disahkan.  Tidak benar itu.  Ormas Islam haruslah asasnya Islam.  SII sendiri asasnya adalah Dien al-Islam.”

Zulkifli dari al-Ittihadiyah menunjukkan buku karya Buya Hamka bertajuk Urat Tunggang Pancasila seraya mengatakan, “Tidak benar Al-Ittihadiyah setuju asas tunggal. Asas tunggal itu telah banyak memakan korban umat Islam.”

Selain itu, saya memimpin delegasi untuk bertemu dengan Ketua Pansus RUU Ormas, Abdul Malik Haramain.  Dalam pertemuan itu, berlangsung diskusi hangat delegasi HTI dengan Ketua Pansus.  Dalam kesempatan itu delegasi menyampaikan bahwa ada hidden agenda terhadap ormas Islam di balik RUU tersebut. RUU Ormas bersifat diskriminatif antara ormas biasa dengan ormas sayap Parpol. RUU Ormas juga merupakan pintu kembalinya rezim represif a la Orde Baru.

Namun, pendapat DPR dan Pemerintah terkait asas tidak bergeming. Mereka malah menuding ormas sebagai anti Pancasila. Jubir HTI, M Ismail Yusanto, sampai mengatakan dengan nada tinggi kepada Donny dari Kemendagri sambil membuka UU Parpol, “Coba lihat, ini asas Parpol tidak ada asa tunggal. Apakah berani menuduh bahwa partai itu anti Pancasila hanya karena partai tidak diwajibkan asas tunggal?  Mengapa yang dituduh anti Pancasila itu hanya ormas?”

Penolakan semakin meluas.  Muhammadiyah pun melakukan pertemuan dengan ormas-ormas Islam.  Saya termasuk hadir dalam pertemuan ‘Silaturahim Ormas dan Lembaga Islam’ (SOLI).  Pendapat para tokoh dalam beberapa pertemuan tersebut bulat: ‘Menolak RUU Ormas’.  Di antara yang paling banyak dipersoalkan oleh para tokoh adalah asas tunggal.  Dalam suatu kesempatan, KH Badruddin Syubki dari Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) mengutip pernyataan M Natsir bahwa siapapun yang menggabungkan asas Islam dengan asas lain sebagai sebuah bentuk tindakan syirik.  Dalam kesempatan itu saya mengatakan di hadapan para tokoh tentang kondisi penolakan tokoh, lembaga/ormas Islam di berbagai daerah demikian kuat.  Hal serupa terjadi dalam pertemuan ormas-ormas Islam di Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Semua ormas sepakat untuk menolak RUU Ormas.  Para tokoh mengusulkan agar asas tunggal tidak dipaksakan.  Mereka mengusulkan asas ormas dalam RUU Ormas disamakan dengan asas parpol dalam UU Parpol.

Bandul opini pun mulai berayun.  Penolakan terhadap RUU Ormas mulai menggema dimana-mana.  Berbagai aksi penolakan dilakukan bukan hanya oleh ormas, melainkan juga oleh organisasi mahasiswa dan pelajar; mulai Aceh hingga Papua.

Para ulama pun gerah.  Para pemimpin pondok pesantren itu tergerak untuk berteriak lantang menentang RUU Ormas dan meminta HTI untuk dapat membantu mempertemukan mereka dengan Ketua Pansus dan Fraksi-Fraksi.  “Kami ingin menyampaikan sikap.  Kami menyampaikan terima kasih kepada HTI yang telah membantu kami mempertemukan dengan DPR.  Kami meminta bantuan kepada HTI karena kami melihat HTI yang paling konsisten dan sungguh-sungguh dalam membela umat khususnya terkait asas tunggal yang akan mengembalikan rezim represif,” ujar mereka di depan Pansus dan Fraksi.

Tidak kurang dari 30 ulama dari Forum Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah Jabodetabek berhasil dipertemukan dengan Ketua Pansus.  Para ulama dari Sulawesi dan Kalimantan berhasil dipertemukan dengan Ketua Pansus dan Ketua Tim Perumus pada 4 April 2013.  Perwakilan ulama Jawa Barat dan Sumatera Utara juga berhasil dipertemukan dengan Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN).  Para pewaris nabi itu menyampaikan dengan tegas: tolak kembalinya rezim represif, tolak asas tunggal!

Rupanya penolakan itu diekspresikan juga dengan mengirim surat ke Pansus dan Fraksi.  Ketika saya berkunjung ke daerah mengatakan, “Kami dari berbagai pesantren dan organisasi mengirim surat ke DPR.” Bahkan seorang tokoh perempuan menyampaikan  di hadapan saya, “Banyak tokoh dari organisasi/lembaga perempuan mengirimkan surat penolakan RUU Ormas ke DPR; ada yang melalui titipan kilat, email, atau fax”.

Belakangan, terjadi perubahan sikap baik Pemerintah maupun DPR.  Banyak pasal berubah.  Pasal tentang asas pun diubah, tidak ada lagi asas tunggal. Itu draft RUU Ormas yang akan disahkan akhir Mei atau awal Juni 2013. Adanya perubahan ini tidak terjadi tiba-tiba melainkan setelah adanya tekanan politik dan opini.

Beberapa pelajaran dapat diambil.  Pertama: opini dan tekanan politik merupakan kekuatan dahsyat yang dapat mengubah kebijakan.  Kedua: kesatuan visi dan langkah bersama ormas merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan.  Ketiga: selama belum diketok palu perjuangan all out tetap mesti dilakukan. Tidak ada kata ‘percuma’ dalam perjuangan.  Yang perlu diingat, perubahan dalam RUU Ormas belum tentu menghilangkan hidden agenda untuk menghalang-halangi perjuangan Islam.  Tetaplah waspada! []

One comment

  1. Kejahatan yang direncanakan akan menimpa si pembuat rencana. itulah janji Allah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*