HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Masyarakat

Istilah al-mujtama’ secara bahasa berasal dari akar kata jama’a.  Menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab (II/357) dan Ibrahim Anis, dkk, dalam  Al-Mu’jam al-Wasîth (I/136), al-jam’u adalah penggabungan sesuatu yang terpisah-pisah.  Lawannya adalah tafrîq (pemisahan) dan ifrâd (penyendirian).  Al-Mujtama’ berarti topik pertemuan atau jamaah manusia.

Kata al-mujtama’, sebagai sebuah istilah, belakangan digunakan untuk menyebut entitas masyarakat. Istilah al-mujtama’ itu tidak kita temukan dalam nas al-Quran maupun as-Sunnah. Istilah ini pun belum dikenal dalam khazanah keilmuan kaum Muslim sebelumnya hingga tidak dijumpai di dalam berbagai kamus bahasa, atau kitab-kitab karya para ulama terdahulu.

Boleh jadi istilah mujtama’ (masyarakat) itu digunakan untuk menerjemahkan istilah society di Barat.  Istilah society itu baru dikenal pada Abad Pertengahan.  Menurut Oxford Dictionary istilah society mulai digunakan pada abad ke-16 M dalam arti persahabatan dan hubungan yang ramah dengan orang lain (companionship, friendly association with others).  Asalnya dari bahasa Prancis société, berasal dari bahasa latin societas yang diturunkan dari kata socius. (http://oxforddictionaries.com/definition/english/society).

Ada beragam definisi society dari para ahli.  August Comte menggambarkan society sebagai organisme sosial yang punya harmoni struktur dan fungsi. Michael Howard dan Patrick McKim dalam Contemporary Cultural Anthropology menjelaskan society adalah kumpulan orang yang dihubungkan satu sama lain, langsung atau tidak langsung, melalui interaksi sosial. Menurut Amin al-Mishriy (Al-Mujtama’ al-Islâmî, hlm. 14) dan Mushthafa Syahin (‘Ilmu al-Ijtimâ’ wa al-Mujtama’ al-Islâmî, hlm. 43), mujtama’ adalah sejumlah besar individu yang menetap, dihimpun oleh ikatan-ikatan sosial dan kepentingan bersama, disertai oleh sistem yang mendisiplinkan perilaku dan kekuasaan yang mengurusinya.

Pengertian al-mujtama’ (society) bukan merupakan pengertian syar’i. Hanya saja, masyarakat merupakan realita, bisa diindera, mungkin untuk dipahami oleh akal dan ditetapkan penilaian yang benar atasnya.  Karena itu al-mujtama’ (society) itu mungkin untuk didefisikan dan diketahui hakikatnya.  Ini penting. Dengan mengetahui makna dan hakikat masyarakat itu bisa dirumuskan solusi yang tepat untuk reformasi masyarakat.  Proses rekayasa sosial mengubah masyarakat saat ini menjadi masyarakat islami pun bisa dirumuskan.

Hakikat Masyarakat

Dalam realitasnya masyarakat merupakan kumpulan manusia yang di antara mereka tumbuh interaksi-interaksi yang terus-menerus.   Kumpulan dari individu manusia membentuk kelompok manusia.  Jika di antara kelompok manusia itu tumbuh interaksi-interaksi terus-menerus maka terbentuklah sebuah masyarakat.  Jika tidak, maka yang ada hanya sekadar kumpulan manusia saja. Yang membuat kelompok manusia itu menjadi masyarakat tidak lain adalah interaksi-interaksi yang bersifat terus-menerus di antara mereka. Satu masyarakat berbeda dengan yang lain menurut interaksi-interaksi itu.

Interaksi-interaksi ini tumbuh atas dasar kemaslahatan-kemaslahatan.  Tanpa adanya kemaslahatan, interaksi tidak terjadi. Hanya saja, makna kemaslahatan bergantung pada pemahaman (persepsi) manusia atas kemaslahatan itu.  Kemaslahatan itu dibangun di atas pemikiran tentang sesuatu atau satu perkara bahwa itu merupakan maslahat.  Jika ada kesesuaian di antara pemikiran orang-orang bahwa sesuatu itu maslahat maka interaksi akan terjadi dan sama di antara mereka.  Jika pemikiran mereka berbeda-beda, yang satu memandang suatu perkara maslahat sedangkan yang lain tidak, maka tidak akan terjadi interaksi.  Jadi yang mewujudkan interaksi di antara manusia itu adalah kesesuaian pemikiran atas sesuatu atau satu perkara sebagai maslahat. Ini adalah hal pertama dalam adanya interaksi.

Namun, itu saja belum cukup. Perasaan mereka atas maslahat itu pun harus bersesuaian dari sisi suka atau benci, rela atau tidak, dan manifestasi perasaan lainnya. Jika perasaan mereka tak bersesuaian, maka tidak terjadi interaksi, meski ada pemikiran, sebab pemikiran itu hanya menjadi pemikiran falsafi.  Pemikiran tidak menjadi pemahaman kecuali jika dikaitkan dengan perasaan.  Dengan demikian adanya pemikiran dan perasaan yang bersesuaian atau sama itulah yang menciptakan interaksi-interaksi di tengah kumpulan manusia itu.

Hanya saja, interaksi-interaksi itu tidak menjadi riil dan punya pengaruh kecuali jika sistem aturan yang mengaturnya sama.  Adanya interaksi yang riil dan punya pengaruh hanya datang dengan penyatuan pemikiran, perasaan dan sistem aturan yang mengatur kemaslahatan di tengah mereka. Jadi interaksi kontinu di tengah-tengah kumpulan manusia itu akan terjadi jika ada kesatuan pemikiran, perasaan dan sistem aturan di antara mereka.  Dalam hal ini, dengan ada sistem aturan yang mengatur kemaslahatan itu, meski berupa paksaan, akan tumbuh pemikiran dan perasaan di tengah mereka.  Karena itu dalam pembentukan sebuah masyarakat, sistem aturan merupakan faktor penting, selain adanya pemahaman yaitu pemikiran yang dikaitkan dengan perasaan.

Jadi, interaksi kontinu tidak akan ada di tengah kumpulan manusia kecuali di antara mereka terealisasi kesatuan pemikiran, perasaaan dan sistem aturan.  Jika tidak ada kesatuan ketiga hal itu maka tidak terwujud interaksi kontinu sehingga tidak terwujud masyarakat.  Oleh karena itu, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang dihimpun oleh pemikiran, perasaan dan sistem aturan yang sama.

Masyarakat Islami

Atas dasar itu, bisa dirumuskan hakikat masyarakat islami.  Masyarakat islami adalah masyarakat yang interaksi-interaksi di antara mereka dijalankan sesuai pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan sistem aturan Islam. Artinya, masyarakat islami itu merupakan kumpulan orang-orang Muslim yang di antara mereka terjadi interaksi terus-menerus dan antara mereka dengan selain mereka, yang dikendalikan sesuai dengan akidah islamiyah dan hukum-hukum syariah.

Jadi, adanya orang-orang Muslim saja yang saling berinteraksi tanpa dikontrol oleh pemikiran, perasaan dan sistem islami tidak menjadikan kumpulan orang Muslim itu sebagai masyarakat islami. Dengan demikian  adanya pemikiran, perasaan dan sistem aturan Islam menjadi syarat mendasar agar sebuah masyarakat itu menjadi masyarakat islami.

Rekayasa Sosial Menuju Masyarakat Islami

Atas dasar hal di atas, proses rekayasa sosial untuk mewujudkan masyarakat islami tidak lain adalah proses mewujudkan interaksi-interaksi kontinu di tengah-tengah masyarakat yang dikontrol oleh akidah islam dan hukum-hukum syariah.  Dengan kata lain masyarakat islami bisa diwujudkan dengan mewujudkan pemikiran dan perasaan islami yang dikendalikan oleh akidah islamiyah di tengah-tengah masyarakat, yang  semua itu dibingkai dan dilembagakan melalui penerapan hukum syariah untuk mengatur interaksi yang terjadi di masyarakat.

Masyarakat bukanlah ruang kosong yang begitu saja bisa langsung diisi dengan pemikiran dan perasaan Islami.  Pemikiran dan perasaan di tengah kaum Muslim saat ini tidak sepenuhnya islami akibat bercokolnya pemikiran dan konsepsi Barat di tengah-tengah mereka.

Agar pemikiran dan perasaan yakni pemahaman dan konsepsi islami dominan di tengah kaum Muslim, maka pemikiran tak islami, pemikiran Barat harus digusur dan dicampakkan dari tubuh kaum Muslim.  Hal itu hanya bisa dilakukan melalui pergolakan pemikiran (intelectual struggle/shira’u al-fikri), yaitu dengan menjelaskan kebatilan pemikiran dan pemahaman Barat, menelanjangi keburukannya, memaparkan kebobrokannya dan bahayanya bagi eksistensi umat manusia.  Hal itu diiringi dengan menjelaskan kebenaran pemikiran dan pemahaman Islam, mendeskripsikan kebaikannya, mencuatkan kemaslahatan dan kerahmatannya bagi umat manusia.

Pemikiran dan konsepsi tak islami itu dilembagakan dalam sistem aturan yang diterapkan untuk mengatur berbagai urusan masyarakat.  Karena itu proses pergolakan pemikiran itu juga harus disertai proses perjuangan politik (political struggle/kifâh siyâsî), yaitu dengan menjelaskan kebatilan sistem aturan yang ada, mengungkap kebobrokannya, mendeskripsikan ketidaklayakannya dan bahayanya bagi eksistensi umat manusia.  Harus diungkap pula kebobrokan penguasa dan aparatur pelaksana sistem aturan yang ada dan Barat yang menjadi tuan-tuan pelindungnya. Strategi untuk mempertahankan konsepsi sistem aturan yang ada dan rencana-rencana makar untuk mengendalikan atau menjajah kaum Muslim juga harus dibongkar.

Itulah sesungguhnya esensi dan substansi dakwah Islam.  Proses dakwah dalam kedua bentuknya, pergolakan pemikiran (intelectual struggle/shira’u al-fikri) dan perjuangan politik (political struggle/kifâh siyâsî), itulah proses rekayasa sosial (social engineering) yang sesungguhnya dan mesti dilakukan dan sekaligus menjadi kunci sukses untuk mewujudkan masyarakat islami. WalLâh a’am bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*