HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Mengapa RUU Ormas?

Bukan kali ini saja HTI merespon dengan keras  RUU yang tengah disusun di Gedung Parlemen. Sebelum ini ada RUU Kamnas, RUU BPJS, RUU Intelijen, RUU Kelistrikan dan masih banyak lainnya, yang juga mendapat respon kritis dari HTI. Namun, di antara semua RUU itu kiranya RUU Ormas-lah yang paling istimewa. Mengapa? Karena berbeda dengan RUU lainnya, inilah RUU yang bersentuhan langsung dengan eksistensi HTI, juga puluhan atau bahkan ratusan organisasi atau kelompok Islam lain. Oleh karena itu, HTI harus memastikan bahwa RUU Ormas itu tidak bakal memberikan kesulitan apalagi bahaya kepada Ormas Islam pada umumnya, dan HTI pada khususnya.

Dalam konteks Indonesia, Ormas Islam jelas sekali telah memegang peran sangat penting dalam kegiatan dakwah. Jadi, sangat tidak layak membiarkan sebuah RUU meluncur begitu saja dari Gedung Parlemen bila kita tahu itu bakal menimbulkan dharar terhadap kegiatan dakwah secara keseluruhan.

++++

Secara umum, RUU Ormas kentara sekali mengusung semangat represif ala Orde Baru. Indikasinya sangat jelas. Utamanya dengan dihidupkan kembali ketentuan asas tunggal  sebagaimana disebut Pasal 2: “Asas Ormas adalah Pancasila dan UUD 1945 serta dapat mencantumkan asas ciri lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.”

Meski dibantah, karena dibolehkan ada asas ciri, tetapi ketika semua Ormas harus mencantumkan asas Pancasila, bukankah itu berarti asas tunggal? Adanya asas ciri hanyalah sekadar penghalusan dari ketentuan asas tunggal (astung) atau asas bersama (asma). Juga sangat mengherankan, bagaimana bisa sebuah organisasi memiliki asas lebih dari satu?  Yang namanya asas mestinya kan cuma satu. Untuk organisasi Islam, selayaknya mencantumkan asas Islam, dan itu menjadi cirinya.

HTI tentu saja tidak bisa menerima ketentuan ini. Alasannya sederhana, karena HTI adalah organisasi Islam. Masak, organisasi Islam berasas selain Islam? Lagi pula, ada masalah apa kok tiba-tiba ormas-ormas mau diwajibkan mencantumkan asas Pancasila. Sesungguhnya kehidupan keormasan sejak gerakan  reformasi tahun 1998 yang menghentikan otoritarianisme Orde Baru—dengan program asas tunggalnya yang gagal itu—hingga sekarang, selama tidak kurang dari 15 tahun, telah berjalan dengan sangat bagus. Ormas Islam khususnya, telah banyak sekali memberikan kontribusi bagi masyarakat. Mereka bekerja secara mandiri dan taat hukum. Tidak pernah terdengar adanya Ormas, misalnya, terlibat dalam korupsi. Kalaupun ada soal, hanya satu dua ormas yang dituding berbuat anarki.

Nah, di tengah situasi yang sudah kondusif seperti ini kok tiba-tiba diluncurkan aturan yang justru membuat gaduh dan berpotensi membuka luka lama. Ada apa? Tidak salah kalau banyak orang menilai, RUU ini merupakan pintu kembalinya rezim represif ala Orde Baru. Lihatlah, belum lagi RUU Ormas disahkan, Pemerintah sudah main ancam akan membubarkan Ormas yang menolak asas Pancasila. Apalagi nanti kalau RUU ini sudah disahkan.

Munculnya ketentuan mengenai asas ini juga merupakan kemunduran besar mengingat TAP MPR no. II/1978 tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), termasuk di dalamnya tentang ketentuan asas tunggal, sudah dibatalkan oleh TAP MPR No. XVIII/1998, sehingga Ormas Islam sejak saat itu bisa kembali berasas Islam.

Penyusunan RUU ini juga dirasakan tidak nyambung dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa ini seperti kemiskinan, ketidakadilan, kriminalitas, kerusakan moral, maraknya narkoba dan korupsi yang makin menjadi-jadi, termasuk yang dilakukan oleh partai-partai politik yang mengaku berasas Pancasila. Mengapa bukan itu semua yang menjadi prioritas sasaran tembak? Mengapa justru Ormas-ormas yang selama ini sudah banyak membantu Pemerintah yang diuyel-uyel?

Satu hal lagi, mana sih rezim yang pernah berkuasa yang boleh disebut benar-benar Pancasilais? Orde Lama? Orde Baru? Atau Orde Reformasi di bawah SBY sekarang ini? Apakah pemerintahan yang penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai manipulasi ini pantas disebut Pancasilais? Kalau tidak, lantas mengapa mereka memaksakan orang lain harus berasas Pancasila?

Dari semua itu, kita menjadi tahu bahwa bangsa ini sesungguhnya tengah berada dalam situasi yang sangat gawat. Bagaimana tidak, setelah sekian lama berjalan, ternyata tak kunjung jelas siapa sebenarnya kawan dan siapa lawan.  Karena itu sungguh aneh, bagaimana bisa di negeri yang mayoritas Muslim ini Islam justru terus dicurigai? Padahal dari  fakta yang ada, ancaman yang terbesar buat negeri ini tidak lain adalah ideologi sekularisme, kapitalisme dan imperialisme modern yang telah mencengkeram negeri ini di berbagai aspek kehidupan terutama di bidang politik dan ekonomi sehingga negeri ini bergerak ke arah yang salah.

Di tengan kontroversi RUU Ormas yang makin memanas itu, ada satu cerita menarik. Di sela jeda iklan dalam acara “Debat” di TV One pada 1 April lalu, saya dan Ali Muchtar Ngabalin yang aslinya duduk di tengah penonton, bergegas mendekat ke tempat berdiri Abdul Malik Haramain (Ketua Pansus RUU Ormas) dan Reydonnyzar Moenek (Kepala Pusat Penerangan Kemendagri) yang menjadi lawan debat malam itu. Kepada keduanya, kita bertanya, “Terus terang, katakan siapa sebenarnya yang ingin disasar oleh RUU Ormas ini”. Dijawab tegas oleh keduanya, itulah LSM-LSM yang menjadi kaki tangan asing, dan yang selama ini bekerja demi kepentingan asing. Hampir serempak, saya dan Ngabalin menyahut, “Kalau begitu bagus, tapi jangan lagi kita (Ormas Islam) yang menjadi sasaran tembak.”

Ketentuan tentang asas jelas itu menyasar Ormas Islam. “Sudahlah, ubah redaksi tentang asas itu”, pinta kita berdua.

++++

Saya tidak tahu, apakah karena dialog singkat di panggung acara“Debat”di  TV One lalu, RUU Ormas kemudian mengalami perubahan yang signifikan, termasuk ketentuan asas tunggal dicabut, diganti dengan rumusan baru yang memberikan keleluasan pada Ormas untuk menetapkan asas sendiri asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD ‘45.

Yang pasti, RUU ini memang seperti membangunkan macan tidur. Semua Ormas Islam bergerak.  Bahkan NU yang awalnya agak cenderung menerima akhirnya ikut menolak juga. Suara keras masyarakat bertambah nyaring dengan kehadiran puluhan ulama dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI bahkan juga dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang secara  bergantian menyampaikan aspirasinya kepada Pansus RUU Ormas dan fraksi-fraksi di DPR. Hasilnya, Alhamdulillah, meski RUU Ormas mungkin akan tetap disahkan pada periode sidang di bulan Mei ini, isinya sudah banyak mengalami perubahan, mengakomodasi aspirasi umat, sehingga ketentuan-ketentuan yang bakal menimbulkan dharar bagi kegiatan dakwah bisa diminimalisir. Insya Allah. [HM Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*