Negara madani (civil state, dawlah madaniyyah) menjadi pro-kontra yang sengit dalam Revolusi Mesir sejak Januari 2011. Ide ini diusung oleh kaum liberal atau sekular, dengan propaganda bahwa negara madani tidak bertentangan dengan Islam. Mereka mengklaim, negara madani merupakan lawan dari negara militer yang absolut dan represif; atau negara yang netral terhadap agama; atau negara yang memperlakukan setiap warga negara secara sama (setara) tanpa melihat perbedaan warna kulit, suku atau agama.
Para aktivis Islam terbelah dua. Ada yang menentang ide negara madani secara mutlak karena dianggap sama saja dengan negara sekular-demokratis. Ada yang menerimanya dengan memberi penafsiran baru yang sudah disesuaikan dengan Islam. Yang terakhir ini memberikan batasan, bahwa yang dikehendaki bukan negara madani secara mutlak, tetapi negara madani yang merujuk pada Islam (bi marja’iyyah islamiyyah).
Sejarah Negara Madani
Sebelum membincangkan definisi negara madani, perlu diketahui dulu aspek sejarah dari istilah dan konsep negara madani itu sendiri agar dapat diketahui karakter-karakter negara madani secara tepat sesuai konteks sejarahnya.
Sesungguhnya istilah negara madani (dawlah madaniyyah) tidak ditemukan sama sekali dalam literatur ilmu-ilmu keislaman (tsaqafah islamiyah), khususnya dalam literatur fikih siyasah atau al-ahkam as-sulthaniyyah. Maka dari itu, istilah negara madani pastilah diimpor dari peradaban di luar Islam, khususnya dari peradaban Barat (“Ad-Dawlah al-Madaniyah wa Ad-Dawlah al-Islamiyyah,” Al-Waie [Arab], edisi 295-297, hlm. 119).
Dari sejarah peradaban Barat akhirnya dapat diketahui, bahwa istilah negara madani muncul sebagai anti tesis (reaksi) terhadap negara agama/teokrasi (dawlah diniyyah, religious state) yang mendominasi Barat pada Abad Pertengahan (V – XV M). Negara madani mulai digagas kira-kira mulai abad XV M yang menjadi titik awal penentangan terhadap kekuasaan absolut Gereja yang berkolaborasi dengan para raja di Eropa. Para filsuf dan pemikir Eropa yang menggagas negara madani itu antara lain Nicholo Machiaveli (1496-1527), Jean Bodin (1530-1596), Thomas Hobbes (1558-1679), Espinoza (1632-1677) dan John Locke (1632-1703). Benang merah dari gagasan-gagasan mereka adalah bahwa sebuah negara haruslah bersifat sekular, dalam arti diatur sendiri oleh manusia dan terlepas sama sekali dari agama dan pemuka agama (rijaluddin). (Abu Fihr as-Salafi, Ad-Dawlah al-Madaniyyah Mafahim wa Ahkam, hlm. 37-50).
Jadi, negara madani pastilah negara sekular, yaitu negara yang memisahkan peran agama dari pengaturan kehidupan masyarakat (fashluddin ‘anil-hayah). Karakter sekular pada negara madani ini sudah disepakati tanpa ada “khilafiyah” di kalangan para filsuf Barat. Jadi tak ada negara madani, kecuali pasti bersifat sekularistik (‘Arif bin Ahmad ash-Shabri, Ad-Dawlah al-Madaniyyah ad-Dimuqrathiyyah wa Khathruha ‘ala ats-Tsawrah al-‘Arabiyyah, hlm 4).
Selain karakter sekular, karakter pokok lainnya pada negara madani adalah karakter demokratis. Terdapat dua makna dalam karakter demokratis ini. Pertama: bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan lagi mendapatkan kekuasaan secara turun-temurun seperti para raja Eropa yang mengklaim berkuasa karena pilihan Tuhan berdasar “hak suci raja” (Divine Rights of King, al haq al ilahi al malaki). Kedua: bahwa semua hukum haruslah bersumber dari kehendak rakyat, bukan lagi dibuat oleh tokoh gereja atau raja. Jadi, di sini yang menjadi sumber hukum (mashdar at tasyri’) adalah rakyat itu sendiri (Ibrahim Khalil ‘Ilyan, Ad-Dawlah ad-Diniyyah wa ad-Dawlah al-Madaniyyah, hlm. 17; Abu Fihr as-Salafi, Ad-Dawlah al-Madaniyyah Mafahim wa Ahkam, hlm. 31)
Jadi, negara madani pastilah berdasarkan demokrasi, sebagai reaksi dari kondisi sebelumnya dalam sebuah negara agama (teokrasi) di Eropa pada Abad Pertengahan, yaitu kekuasaan yang dimonopoli oleh raja/gereja, dan hak membuat hukum yang dimiliki oleh raja/gereja. Sebagai negara demokratis, negara madani meniscayakan adanya kebebasan (liberty, al-hurriyat), agar rakyat dapat mengekspresikan kehendaknya secara bebas, baik itu kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah ar-ra’yi), kebebasan berusaha (hurriyah at-tamalluk), maupun kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah).
Karakter menonjol lainnya dalam negara madani adalah karakter nasionalisme. Pada Abad Pertengahan, Gerejalah yang memberi legitimasi dan otoritas atas nama agama bahwa seorang pangeran berhak memerintah rakyat dalam wilayah tertentu, tanpa memperhatikan kehendak rakyat dalam wilayah itu. Sebagai contoh, dalam tiga abad sebelum Revolusi Prancis (1789), apa yang sekarang disebut Belgia adalah kawasan yang terus-menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan Kaisar Austria. Setelah tersebarnya paham nasionalisme, sumber legitimasi dan otoritas bagi suatu unit politik itu bukan lagi dari gereja, tetapi dari kehendak rakyat dalam wilayah itu, atau dari apa yang disebut “bangsa”. Inilah paham nasionalisme yang melekat pada negara madani (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, hlm. 119-120).
Walhasil, tiga karakter pokok yang selalu melekat pada negara madani adalah paham sekularisme, demokrasi dan nasionalisme. Tiga ide pokok inilah yang disimpulkan secara cermat oleh sebagian ulama, seperti Ash-Shabri dan Abu an-Naja, yang mereka sebut sebagai tiga pondasi (da’a’im tsalatsah) bagi sebuah negara madani (Muhammad Abdul Aziz Abu An-Naja, Al-‘Ilmaniyyah, al-Libraliyyah, ad-Dimuqrathiyyah, ad Dawlah al-Madaniyyah, hlm. 26; ‘Arif bin Ahmad ash-Shabri, Ad-Dawlah al-Madaniyyah ad-Dimuqrathiyyah wa Khathruha ‘ala ats-Tsawrah al-‘Arabiyyah 16).
Definisi Negara Madani
Berdasarkan uraian sebelumnya, lalu apa definisi negara madani itu? Jelas, bahwa negara madani hakikatnya adalah negara yang berlandaskan tiga paham pokok dari Barat: sekularisme, demokrasi dan nasionalisme. Definisi teknis dari para pakar mungkin saja redaksinya bisa berlain-lainan, bergantung pada unsur-unsur definisi yang ingin ditonjolkan. Meski demikian, unsur-unsur itu jika ditelusuri akan kembali pada tiga paham pokok tersebut. Mungkin saja definisinya akan didasarkan pada latar belakang historisnya sehingga seakan-akan berbeda substansinya. Padahal substansinya tetap sekularisme, demokrasi dan nasionalisme.
Sebagai contoh, Lipscomb dalam Civil Government (1913) mendefisinikan negara madani adalah negara yang para penyelenggaranya bukanlah para agamawan (rijaluddin). Jadi negara madani di sini dijelaskan dengan menunjukkan kebalikan negara madani, yaitu negara agama (teokrasi) (Ibrahim Khalil ‘Ilyan, ibid., hlm. 17).
Ada yang mendefinisikan bahwa negara madani adalah negara yang berdasarkan kewargaan (citizenship, al-muwathanah) yang setara, yaitu bahwa negara memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara tanpa diskriminasi atas dasar warna kulit, suku, atau agama (Muhammad Abdul Aziz Abu an-Naja, ibid., hlm. 25).
Namun, ada yang mendefinisikan, khususnya dari sebagian intelektual Muslim, bahwa negara madani adalah negara yang penyelenggaranya bukan tentara (militer); atau bahwa negara madani adalah negara modern yang mengikuti kemajuan sains dan teknologi. Definisi ini jelas tidak benar, karena mengabaikan konteks sejarah lahirnya negara madani di Eropa. Sebab, kalau mengacu pada latar belakang sejarahnya di Eopa, akan jelas bahwa substansi negara madani bukanlah pada aspek dominasi militer atau sains dan teknologinya, melainkan bagaimana relasi pengaturan urusan dalam negara dengan dominasi agama (gereja). Negara madani dengan demikian adalah negara yang segala urusannya terlepas dari dominasi dan intervensi gereja (Ash-Shabri, ibid., hlm. 18).
Bagaimanapun negara madani didefinisikan, yang paling substansial adalah tiga ide pokoknya, yaitu sekularisme, demokrasi dan nasionalisme. Tak boleh dilupakan pula, negara madani tak lahir dari peradaban Islam yang berpangkal dari al-Quran dan as-Sunnah, namun lahir dari latar belakang sosio-historis peradaban Barat yang Kristen dan sekular.
Sikap Islam
Jelas, negara madani bertentangan secara total dengan konsep negara Khilafah dalam Islam. Pasalnya, tiga ide pokok negara madani—yaitu sekularisme, demokrasi, dan nasionalisme—adalah ide batil dalam pandangan Islam.
Islam menolak sekularisme karena Islam mengatur segala aspek kehidupan dari aspek politik, ekonomi, sosial dan seterusnya (QS an-Nahl [16]: 89; QS al-Maidah [5]: 3), bukan hanya mengatur ibadah personal seseorang dengan Tuhannya.
Islam juga menolak demokrasi karena Islam menetapkan hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum (QS al-An’am [6]: 57), berbeda dengan demokrasi yang memberikan hak membuat hukum kepada manusia.
Islam pun menolak nasionalisme. Pasalnya, Islam menetapkan bahwa identitas kebangsaan tidak boleh menjadi pengikat antarindividu dan juga menjadi dasar untuk mendirikan sebuah negara (nation state). Dalam Islam, akidah Islam saja yang menjadi pengikat antarindividu Muslim, sekaligus yang menjadi satu-satunya dasar negara bagi negara Khilafah (QS al-Hujurat [49]: 10).
Konsep dan Praktik Negara Madani
Kalau kita ingin mengetahui bagaimana praktik negara madani, lihatlah negara-negara sekular-demokratis di Eropa dan AS saat ini. Ringkas kata, antara konsep ideal dan praktiknya terdapat jarak yang jauh seperti halnya bumi dan langit.
Prancis, misalnya, yang konon mengagungkan kebebasan dan persamaan, ternyata melarang perempuan Muslimah mengenakan “jilbab” (kerudung). AS yang konon negara demokratis dan menjunjung HAM, ternyata mempunyai kebijakan luar negeri yang kejam dan imperialistik seperti invasi ke Irak, Afganistan, Pakistan, dan sebagainya. As juga melancarkan proyek biadab ‘perang melawan terorisme’ (The War Against Terrorism) yang banyak membunuh Muslim yang tak berdosa. Inikah negara madani yang selalu digembar-gemborkan para pemikir sekular itu?
AS dan negara-negara Barat lainnya, yang katanya sebagai pelopor demokrasi, ternyata banyak mendukung para diktator di negara-negara Dunia Ketiga. Siapakah yang dulu mendukung Hosni Mubarak, Muammar Qadhafi, Soeharto, Ferdinand Marcos, Shah Iran, dan diktator-diktator lainnya sebelum ditumbangkan rakyatnya sendiri, kalau bukan negara-negara Barat yang notebene adalah negara madani? Jika demikian faktanya, apa gunanya negeri Muslim (seperti Mesir) ingin menjadi negara madani? Bukankah itu kebodohan yang nyata?
Bahaya Negara Madani
Sungguh propaganda untuk menjadi negara madani adalah seruan yang sangat berbahaya. Mengapa? Pertama: karena konsep negara madani bukanlah konsep dari Islam melainkan konsep dari negara penjajah, yaitu negara yang berlandaskan sekularisme, demokrasi dan nasionalisme. Maka dari itu, menjadi negara madani jelas hanya melanggengkan penjajahan Barat atas umat Islam, khususnya penjajahan dalam bidang ideologi dan politik.
Kedua: karena negara madani jika diterapkan hanya akan menjauhkan umat dari Islam. Sebab, umat akan dipaksa mengamalkan sekularisme, demokrasi dan nasionalisme yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Selain itu, negara madani juga tidak ada faktanya dalam realitas. Fakta bobroknya negara-negara Eropa dan AS tak terbantahkan lagi. Tegasnya, negara madani adalah konsep yang gagal.
Maka dari itu, kalau seorang Muslim apalagi tokoh dan intelektual Muslim menyerukan negara madani, itu sama artinya menyerukan kegagalan. Jadi negara madani adalah proyek gagal, karena itu jangan diamalkan. Buang saja ke tong sampah peradaban. WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Pustaka
Abdul Karim, Khalid. 1995. Al-Islam bayna ad-Dawlah ad-Diniyyah wa ad-Dawlah al-Madaniyyah. Kairo: Sina li an-Nasyr.
Abu an-Naja, Muhammad Abdul Aziz, t.t. Al-‘Ilmaniyyah, al-Libraliyyah, ad-Dimuqrathiyyah, ad-Dawlah al-Madaniyyah.
Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir. Terjemahan oleh Ali Noerzaman dari Political Ideology Today. Qalam: Yogyakarta.
Ad Diyab, Hatim bin Hasan. 2011. Madzaa Ta’rif ‘an ad-Daulah al-Islamiyyah, ad-Dawlah al-Madaniyyah, ad-Dimuqrathiyyah, al-‘Ilmaniyyah, al-Libraliyyah, ath-Thiyuqrathiyyah. Kairo: Mu’assasah Ash Shahabah.
Ash-Shabri, ‘Arif bin Ahmad. 2011. “Ad-Dawlah al-Madaniyyah ad-Dimuqrathiyyah wa Khathruha ‘ala ats-Tsawrah al-‘Arabiyyah.” www.olamaa-yemen.net.
As-Salafi, Abu Fihr. 2011. Ad-Dawlah al-Madaniyyah Mafahim wa Ahkam. Kairo: Dar ‘Alam an-Nawadir.
Budiarjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet. ke-14.
‘Ilyan, Ibrahim Khalil. 2012. Ad-Dawlah ad-Diniyyah wa ad-Dawlah al-Madaniyyah. Makalah dalam Muktamar Baitul Maqdis III, Universitas Terbuka Al-Quds, Palestina.
Syam, Firdaus. 2010. Pemikiram Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.
Majalah Al-Waie (Arab), edisi no 293; 295-297; 299; dan 306-308.