HTI

Ibrah (Al Waie)

Pancasila

Pancasila itu sakti. Pancasila itu sakral. Pancasila itu suci. Pancasila itu harga mati. Pancasila itu asas; asas dari segala asas.

Karena sakral, Pancasila tak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja melecehkan Islam, mencampakkan Al-Quran, termasuk menghina Rasulullah sang teladan. Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin demokrasi. Namun, tidak dengan Pancasila. Merendahkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan tak terperi dan pastinya anti-demokrasi.

Karena suci, Pancasila tak boleh diusik dan dikritisi. Ada kesan di negeri demokrasi ini Islam boleh saja diusik; al-Quran dan as-Sunnah boleh dikritisi. Namun, tidak dengan Pancasila. Sebab, bagi sebagian orang Pancasila itu lebih tinggi dari al-Quran maupun as-Sunnah. Pancasila digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun al-Quran dan as-Sunnah hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya umat Islam semata. Karena itu, semua aturan dan perundang-undangan yang ada di negeri ini boleh tidak merujuk bahkan bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram berseberangan dan berlawanan dengan Pancasila.

Karena harga mati, Pancasila tak boleh ditawar-tawar. Menawar Pancasila adalah tindakan amoral, bahkan kriminal.  Lain halnya dengan syariah Islam. Di negeri demokrasi ini, hukum Islam hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan.

Sebaliknya sebagai asas, Pancasila tak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram jika tidak berdasarkan Pancasila. Maka dari itu, menurut Pancasilais sejati, jika negara saja harus berasaskan Pancasila, maka apalagi Parpol dan Ormas yang merupakan organisasi lebih kecil, tentu lebih wajib berasaskan Pancasila.

****

Pancasila itu ‘saudara kandung’ UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya adalah pilar kebangsaan yang tak boleh dipilah-pilah dan dipilih-pilih. Pancasilais sejati adalah pemangku UUD ‘45, penjaga kesatuan NKRI sekaligus pemelihara Bhineka Tunggal Ika.

Namun, tunggu dulu! Semua itu ternyata bergantung pada tafsiran sang penguasa. Ada kesan, di negeri ini penguasa boleh tidak melaksanakan Pancasila dan UUD ’45. Penguasa, misalnya, boleh menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing meski itu bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45. Penguasa boleh membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU Minerba, dll yang memungkinkan pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat negeri ini. Tak masalah jika semua UU itu merugikan rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing,  hal itu tak bisa dianggap bertentangan dengan amanat dalam Pembukaan UUD ’45 yang mengandung spirit: segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.

Penguasa boleh  melepaskan Timor-Timur atas rekayasa dan tekanan penjajah meski itu bertentangan dengan prinsip menjaga kesatuan NKRI. Penguasa pun tak perlu merasa berdosa saat membiarkan Organisasi Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan tetap leluasa melakukan gerakan makar dan tindakan separatis. Karena didukung pihak asing, semua itu juga tak bisa disebut sebagai anti NKRI.

Penguasa juga tak perlu merasa bersalah saat jutaan anak tak bersekolah, anak-anak yatim terlantar di jalanan dan banyak orang-orang miskin mati kelaparan. Tak perlu pula penguasa berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat negeri ini dan pengangguran melanda jutaan angkatan kerja di berbagai lini. Tak perlu pula penguasa merasa tak tega saat harus menaikkan harga BBM, gas dan listrik yang membuat rakyat tambah melarat, bahkan sekarat. Ada kesan, asal bisa memuaskan para kapitalis di dalam negeri atau kapitalis asing, kebijakan anti subsidi itu tidak bisa dianggap sebagai bertentangan dengan semangat dalam pasal-pasal yang ada dalam UUD ’45. Tak bisa pula kebijakan itu disebut tidak adil dan anti Pancasila. Ada kesan, yang disebut tidak adil itu jika rakyat menikmati subsidi, sementara pihak asing tak leluasa menikmati keuntungan tinggi.

Ada pula kesan, yang bisa disebut anti Pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang berusaha menerapkan syariah Islam secara formal dalam negara meski dengan niat untuk menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti NKRI adalah saat ada sekelompok orang memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah meski untuk mempersatukan negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk penjajahan di semua lini. Yang anti kebhinekaan itu adalah yang mendukung perda-perda berbau syariah dan menolak pendirian gereja ilegal di tengah komunitas kaum Muslim.

*****

Jika demikian kenyataannya, jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa Pancasila sejatinya hanyalah cap dan label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap-menyuap atau biasa menerima gratifikasi—termasuk gratifikasi seks—tak pernah dicap menyeleweng dari Pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan harga diri bangsa kepada pihak asing juga tak pernah dilabeli berseberangan dengan Pancasila. Mereka yang terus mempraktikkan serta mempropagandakan sekularisme, pluralisme dan liberalisme—meski semua itu telah nyata membahayakan negeri ini—tak pernah pula dituduh anti Pancasila.

Sebaliknya, Anda yang tak pernah korupsi, menolak segala bentuk gratifikasi, enggan melakukan praktik suap-menyuap dan anti terhadap tindakan amoral lainnya tak berarti Anda bisa aman dari labelisasi. Siap-siaplah Anda untuk dicap anti Pancasila, dilabeli anti UUD ’45 serta dituduh anti NKRI dan anti kebhinekaan jika Anda adalah seorang Muslim yang taat; yang menghendaki tegaknya Islam secara total dalam semua aspek kehidupan; yang menginginkan penerapan syariah secara kaffah, apalagi berjuang demi mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Namun demikian, tentu Anda tak perlu berkecil hati. Pasalnya, di negeri ini sepertinya tak ada yang namanya Pancasilais sejati. Yang malah banyak ditemukan adalah mereka yang—sengaja atau tidak—memperalat Pancasila untuk kepentingan pribadi, partai bahkan pihak asing yang justru telah banyak merusak negeri ini. Karena itu, tetaplah istiqamah dalam perjuangan mengembalikan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*