Setelah beberapa tahun tertunda, akhirnya 1 Januari 2013 Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan untuk melengkapi PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebagai Implementasi UU SJSN. Berdasarkan kedua peraturan tersebut pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial secara bertahap mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014 dan ditargetkan tahun 2019 seluruh penduduk sudah menjadi peserta Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kedua aturan tersebut semakin jelas menunjukkan kejahatan SJSN.
Pesanan Para Kapitalis Asing
Konsep SJSN yang ditetapkan di Indonesia ini merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis. Program SAP inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk Indonesia. D elapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002 telah menghasilkan sejumlah undang-undang yang makin membuat rakyat menderita. Ragam UU tersebut juga makin kokohnya penjajahan sosial dan ekonomi di Indonesia melalui liberalisasi dan swastanisi pengelolaan sumberdaya alam serta komersialisasi layanan publik. Di bidang ekonomi ada UU PMA , UU Migas, UU Minerba dan UU SDA yang semuanya merugikan rakyat dan mengokohkan penjarahan kekayaaan milik rakyat oleh para kapitalis baik lokal maupun asing. Di bidang Pendidikan muncul UU Sisdiknas dan UU BHP yang melahirkan swastanisasi dan komersialisasi layanan pendidikan. Di bidang kesehatan ini lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisai layanan publik di bidang kesehatan.
Hampir semua undang-undang yang disahkan oleh DPR adalah pesanan asing. Bahkan kebanyakan draft-nya sudah dibuat oleh mereka. DPR hanya bertugas untuk mengesahkan saja. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan, ”Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.”
Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$. Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis. “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).”
SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat
SJSN ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.
Dari dua pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang teregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. BPJS akan menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk merampok uang rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kedua UU tersebut mengatur asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada Pasal 1 huruf (g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.
Inilah fakta sebenarnya dan bahaya UU SJSN dan BPJS bagi rakyat. Rakyat dipalak sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memalak. UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi. Jadi, bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia. Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibuka antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf (b); disebutkan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.
Bukti Pemerasan
Berdasarkan PP 101 tahun 2012 dan Perpes No. 12 tahun 2013, SJSN akan mulai diberlakukan mulai tahun 2014 ini, Akan tetapi, kedua peraturan tersebut semakin memperjelas bahwa jaminan sosial yang selama ini dijanjikan sebenarnya adalah pemalakan kepada rakyat untuk kepentingan perusahaan asuransi. Karena itu, sangat wajar kedua peraturan tersebut juga ditolak oleh mereka yang selama ini sangat mendukung dan menuntut segera dilaksanakan UU SJSN, seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI).
Beberapa aturan tekhnis yang ada dalam PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah privatisasi atau komersialisasi layanan publik. Dalam PP itu disebutkan bentuk badan hukum saja, bukan badan hukum publik. Dengan bentuk badan hukum publik saja, seperti Perguruan Tinggi, nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan. Apalagi kalau badan hukumnya selain badan hukum publik, misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT jangan diharap ada pengutamaan pelayanan karena PT orientasinya adalah profit atau keuntungan.
Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah mereka yang membayar iuran premi asuransi. Dalam kedua PP tersebut tidak disebutkan besarnya iuran. Namun, berdasarkan draft PP dan Usulan Pokja BPJS ada 3 kelompok kepesertan, yaitu: (1) Kelompok Miskin atau Penerima Bantuan Iuran dengan premi yang harus dibayar sebesar Rp 22.500 perbulan dan berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3; (2) Kelompok yang menginginkan pelayanan kelas 2 membayar Rp 40.000 perbulan; (3) Kelompok yang menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp 50.000 perbulan.
Dalam Pasal 17 UU SJSN disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Jadi, yang tidak tercatat atau tercatat tetapi belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar akan ditolak atau tidak akan mendapat layanan dari rumah sakit.
Tim Pokja BPJS mengajukan Penerima Bantuan Iuran untuk rakyat miskin sebesar Rp 22.200 perorang perbulan dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga total sekitar Rp 25, 5 Triliun. Namun, Menkeu hanya menyetujui Rp15.500 perorang dengan orang miskin yang ditanggung sebesar 86 juta atau total Rp 16 Triliun. Artinya, rakyat miskin yang selama ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp 6.700 karena Pemerintah hanya menanggung premi Rp 15.500. Artinya, kalau nunggak atau tidak membayar jelas tidak akan mendapatkan layanan kesehatan.
Yang juga perlu diperhatikan, Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar secara penuh.
Walaupun sudah membayar iuran premi belum tentu orang miskin ini akan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Sebab, menurut Ikatan Dokter Indonesia, iuran sebesar Rp 22.200 itu dinilai belum mencukupi nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya Rp 60.000 perorang perbulan. Selain itu, ternyata tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh sistem tersebut. Di antaranya adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; juga pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah (lihat pasal 25 ayat a sampai n PERPRES No, 12 Tahun 2013). Dengan demikian, seorang pasien dirawat akibat wabah tertentu seperti Demam Berdarah (DBD), misalnya, ia tidak berhak mendapatkan layanan gratis alias harus bayar.
Yang cukup menarik, penentuan besarnya orang miskin yang akan mendapat bantuan. Tim POKJA BPJS mengajukan 96 juta orang, sementara yang disetujui 86 juta Orang. Selama ini Pemerintah menyatakan berdasarkan data BPS, misalnya tahun 2012, orang miskin itu sekitar 30 juta orang. Ini menunjukkan data orang miskin yang sebenarnya atau untuk menjadi lahan korupsi baru dengan mengkorupsi dana APBN dengan alasan untuk orang miskin?
Itulah sebagian keburukan-keburukan SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan jaminan sosial bagi masyarakat, ternyata hanya akan menambah beban atau penderitaan baru bagi masyarakat.
Hanya Sistem Islam yang Bisa Mewjudukan Jaminan Sosial
Berdasarkan hal di atas jelas bahwa sistem jaminanan sosial, khususnya dalam bidang kesehatan, hanyalah mengalihkan tanggung jawab pelayanan kesehatan oleh Pemerintah kepada rakyat. Selain membebani rakyat, sistem pelayanan kesehatan tersebut bersifat diskriminatif karena yang ditanggung oleh Pemerintah hanyalah orang miskin saja. Adapun yang dianggap mampu harus membayar sendiri. Tragisnya lagi, pelayanan kesehatan terhadap rakyat dibedakan berdasarkan status ekonomi dan jabatannya.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya pelayanan publik merupakan tugas Pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Pelayanan tersebut juga harus bersifat menyeluruh dan tidak diskriminatif. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pelayanan yang bertanggung jawab atas rakyatnya (HR Muslim).
Hadis tersebut setidaknya menunjukkan dua hal: hanya pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (ri’ayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum untuk seluruh rakyat karena kata rakyat (ra’iyyah) dalam hadis tersebut berbentuk umum.
Kewajiban pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil syariah. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat penting bagi mereka. Salah satu dalilnya adalah ketika Rasulullah saw. dihadiahi seorang tabib, beliau menjadikan tabib itu untuk kaum Muslim dan bukan untuk dirinya pribadi (Al-Maliky, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutslâ, hlm. 80). Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas). Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).
Itulah sistem jaminan pelayananan kesehatan dalam Islam. Namun, sistem tersebut hanya bisa dijalankan dalam ketika syariah Islam dijalan secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. WalLahu a’lam. [Dr. Arim Nasim, M.Si.,Ak. (Lajnah Mashlahiyyah DPP HTI)]