إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Allah SWT berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang terhadap dia. Tidaklah hamba-Ku ber-taqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Hamba-Ku senantiasa ber-taqarrub kepada-Ku dengan melakukan amalan nafilah sehingga Aku mencintai dia. Jika Aku mencintai dia, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan menggenggam; dan menjadi kakinya yang ia gunakan melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku lindungi (HR al-Bukhari).
Man ‘âda lî waliyyan, maknanya adalah man ittakhadzahu ‘aduwan (siapa yang menjadikan waliku musuh). Menurut Ibn Hajar al-‘Ashqalani, memusuhi wali Allah di sini tak lain karena kewaliannya.
Allah SWT menjelaskan siapa wali Allah itu dalam firman-Nya:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (QS Yunus [12]: 62-63).
Jadi, wali Allah itu diketahui dari keimanan dan ketakwaannya. Betapapun “sakti” seseorang, jika tak beriman, berlaku syirik, tidak takwa, suka bermaksiat maka dia bukan wali Allah, dan bisa jadi adalah wali setan. Sebaliknya, jika orang beriman, takwa, salih, taat syariah, mendakwahkannya dan memperjuangkannya, boleh jadi ia adalah wali Allah meski tidak “sakti”. Hadis ini memberitahu, derajat wali Allah bisa diraih melalui taqarrub dengan menunaikan apa-apa yang Allah fardhukan, dan menambahnya dengan selalu melakukan amalan-amalan nafilah.
Faqad âdzantuhu bi al-harb (sungguh Aku mengumumkan perang terhadap dia). Ini adalah ancaman luar biasa, sebab siapa yang Allah perangi niscaya Allah binasakan. Ini menunjukkan bahwa perbuatan memusuhi wali Allah merupakan dosa besar. Hanya ada tiga perbuatan yang dinilai sebagai pernyataan perang terhadap Allah. Pertama: tetap mengambil riba (QS al-Baqarah [2]: 278-279). Kedua: melakukan hirabah (QS al-Maidah [5]: 33). Ketiga: memusuhi wali Allah yang dijelaskan di dalam hadis ini, termasuk juga menyakiti dan merendahkan wali-Nya.
Wa mâ taqarraba ilyya ‘abdi bi syai`in ahabba ilayya min mâ iftaradhtu ‘alayh. Ini menunjukkan, amalan fardhu merupakan amal yang paling disukai oleh Allah dan paling mendekatkan kepada-Nya. Amalan fardhu itu mencakup fardhu ‘ayn maupun fardhu kifayah.
Wa mâ yazalu ‘abdi yataqarrabu ilayya bi an-nawâfil hattâ uhibbahu. Al-Fakihani mengatakan, maknanya bahwa jika orang menunaikan berbagai fardhu dan secara ajeg menunaikan berbagai nafilah maka hal itu akan mengantarkan dia pada kecintaan Allah. Ibn Hubairah mengatakan, “Dari sini dapat dipahami bahwa nafilah tidak dikedepankan atas fardhu. Sebab, nafilah disebut nafilah karena datang sebagai tambahan atas fardhu. Selama fardu tidak ditunaikan maka tidak terealisasi nafilah. Siapa yang menunaikan fardhu lalu menambahnya dengan nafilah dan mengajegkannya maka terealisasilah keinginan taqarrub.”
Nafilah posisinya sebagai pelengkap dan penyempurna amalan fardhu. Rasul saw. bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلاَةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ
Sungguh, yang pertama dihisab dari amal manusia pada hari Kiamat adalah shalat. Rabb kita berfirman kepada Malaikat dan Dia Mahatahu, “Lihatlah shalat hamba-Ku, dia sempurnakan atau kurang.” Jika sempurna maka dituliskan baginya sempurna. Jika kurang darinya sesuatu, Allah berfirman, “Lihatlah apakah hamba-Ku punya (shalat) tathawwu’ (nafilah). Jika dia punya tathawwu’ maka sempurnakanlah untuk hamba-Ku faridhahnya dengan tathawwu’-nya, kemudian amal-amal dihisab demikian.” (HR Ahmad, Abu Dawud).
Ibn Hajar mengatakan bahwa dari sini jelaslah bahwa taqarrub dengan nafilah itu terjadi dari orang yang menunaikan yang fardhu, bukan dari orang yang melalaikan yang fardhu. Karena itu para ulama mengatakan, “Siapa saja yang disibukkan oleh fardhu dari nafilah maka ia dimaafkan dan sebaliknya siapa yang disibukkan nafilah dari fardhu maka ia tertipu.”
Fa idzâ ahbabtuhu kuntu sam’ahu al-ladzî yasma’u bihi wa basharahu… Al-Khathabi mengatakan, ini adalah permisalan. Maknanya adalah taufik dan kemudahan dari Allah kepada hamba-Nya dalam amal-amal yang dia lakukan dengan anggota-anggota tubuh itu, juga dalam meraih mahabbah dengan menjaga tubuhnya dan melindunginya dari terjerumus di dalam apa yang tidak Allah sukai, mendengarkan apa yang melalaikan, melihat apa yang Allah larang, memegang apa yang tidak halal baginya dan berjalan pada kebatilan. Al-Khathabi juga mengatakan, bisa juga ini adalah ungkapan tentang cepatnya Allah mengijabah doa dan keberhasilan dalam permintaan/pencarian. Ath-Thufi mengatakan, para ulama yang ucapannya bisa diteladani bersepakat bahwa ini merupakan majaz (kiasan) dari pertolongan, bantuan dan dukungan terhadap hamba sehingga seolah-olah Allah menurunkan diri-Nya dalam posisi anggota tubuh yang digunakan hamba itu. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]