Ada pelajaran amat penting dari panggung perubahan di sejumlah negeri Islam. Membiarkan arus perubahan tanpa kawalan umat sama artinya dengan membiarkan para penumpang gelap perubahan ‘membajak’ arah perubahan lalu men-’drive’-nya ke arah ideologi dan kepentingan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Indonesia adalah contoh tepat arah perubahan yang gagal. Alih-alih menciptakan perbaikan, arus reformasi yang diusung masyarakat dan mahasiswa justru menciptakan derita baru bagi bangsa. Jatuhnya rezim Orba pada zaman reformasi ternyata bukan tanda berakhirnya era pemerintahan yang korup. Meski sudah dibentuk KPK, praktik korupsi justru mengalami peningkatan. Itu tampak dari laporan hasil survei lembaga Transparency Internasional (TI) yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Dari situs resmi TI, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari 0 yang terkorup dan 100 merupakan negara terbersih. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia
Penguasaan aset-aset strategis milik bangsa oleh pihak asing juga semakin meluas. Perekonomian bangsa kini dikendalikan oleh kaum liberalis yang melegislasi sejumlah perundang-undangan yang membuat pihak asing kian leluasa menguasai berbagai aset vital bangsa. UU Minerba, UU Air, penjualan Indosat ke konglomerat Singapura, adalah skenario liar yang terjadi di luar perkiraan masyarakat.
Di bidang politik, pemerintah dan DPR justru berusaha kembali mengontrol dan membatasi dengan ketat sikap kritis publik. Lahirnya UU Intelijen dengan dalih kontra-terorisme benar-benar memperlihatkan semangat pihak eksekutif dan legislatif untuk menghentikan nalar kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang merugikan umum. Pasalnya, yang akan disasar dengan UU Intelijen bukan hanya kelompok teroris, tetapi siapa saja yang dianggap menjadi ancaman bagi pemerintah.
Di belakang UU Intelijen masih mengantri RUU Kamnas dan RUU Ormas yang memiliki spirit sama; melegalkan tindakan represif dan mengebiri suara vokal masyarakat terhadap penguasa. Ironinya, salah satu alasan kuat mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat menjatuhkan Soeharto adalah karena sikap represifnya. Maka dari itu, kemunculan RUU dan UU yang bermuatan represif adalah simbol ngawurnya arah reformasi yang meledak pada tahun 1998.
Selain Indonesia, Mesir dan Tunisia juga adalah dua negara yang terus mengalami konflik dalam negeri pasca revolusi. Mesir menjatuhkan Mubarak. Tunisia berhasil menggulingkan Ben Ali. Akan tetapi, baik Mesir maupun Tunisia terus mengalami pergolakan di dalam negeri mereka masing-masing. Tunisia telah mengalami dua kali pergantian perdana menteri pasca revolusi, tetapi tak kunjung tercipta stabilitas. Terakhir, Perdana Menteri Tunisia Ali Layaredh didemo ratusan kaum nasionalis-sekular karena dianggap akan mengekang kebebasan warga.
Di Mesir, Presiden Mursi juga terus menerus digoyang aksi menuntut pengunduran dirinya. Aksi-aksi ini diorganisir oleh kelompok oposisi National Salvation Front (NSF) yang menuntut pembentukan pemerintahan baru keselamatan nasional. Oposisi juga mendesak amandemen konstitusi yang membuat bangsa Mesir terpecah sejak disahkan pada Desember 2012 lalu.
Aksi demo ini akan berlangsung setelah terjadinya kerusuhan di sejumlah wilayah Mesir, yang telah menewaskan hampir 60 orang dalam sepekan terakhir. Ini merupakan krisis politik terburuk sejak Mursi dilantik pada Juni 2012 lalu.
Dalam Revolusi Suriah, Barat berusaha sekuat tenaga membajak revolusi rakyat Suriah yang berjihad memerangi rezim Assad, dengan menciptakan boneka Koalisi Nasional Suriah, oposisi yang mereka katakan sebagai “wakil sah” satu-satunya rakyat Suriah. Obama mengatakan Koalisi Nasional Suriah yang baru dibentuk “saat ini cukup inklusif” untuk bisa diberikan peningkatan statusnya. Selain juga patut diwaspadai kemungkinan AS menyelusupkan agen-agennya ke dalam barisan Mujahidin untuk memecah belah perjuangan sebagaimana mereka telah lakukan di Afganistan.
Karena itu, wajib bagi umat untuk mengawal arah perubahan yang diharapkan. Perubahan yang dituju adalah semata untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan penegakkan syariah Islam di bawah kepemimpinan Khilafah. Perubahan ini harus dilakukan tanpa kompromi atau mentoleransi masuknya pemikiran-pemikiran asing ke dalamnya.
Upaya Menghambat
Harus disadari sejak awal bahwa arus perubahan yang tengah dilakukan umat Islam sedikitpun tidak pernah direstui oleh Barat. Mereka akan mencoba untuk menelikung arah perubahan agar sesuai dengan kepentingan ideologi mereka. Untuk itu pihak Barat pastinya akan melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan arus perubahan yang tengah dijalani umat. Pertama: menciptakan stigma terhadap perjuangan menegakkan syariah Islam dan Khilafah. Seperti biasa, Barat dan para kompradornya memfitnah syariah Islam dan Khilafah sebagai sistem yang utopia, tidak layak diterapkan pada zaman modern, intoleran dan penuh kekerasan.
Pada tahun 2005 Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, berpidato di hadapan Kongres Partai Buruh dan menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri: (1) ingin mengeliminasi Israel; (2) menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum; (3) menegakkan Khilafah; (4) bertentangan dengan nilai-nilai liberal.
Mantan Presiden AS George W. Bush juga pernah mengingatkan negaranya dan dunia akan cita-cita kaum Muslim yang akan menegakkan Khilafah. Di American Legion Convention pada 28 Ogos 2007, Bush mengaitkan aktivitas menegakkan Khilafah sebagai sebagian dari aktivitas terorisme. “And then the thinking enemy, recognizing that a free society in the Middle East would be a major blow to their ambitions to spread their caliphate throughout the Middle East , tried to create sectarian violence. They murdered the innocent in order to cause people to doubt government and doubt the coalition.”
Kedua: melakukan politik belah-bambu. Barat melihat kelemahan pemikiran umat adalah celah yang cukup besar untuk melakukan politik belah-bambu. Caranya adalah dengan membenturkan vis a vis kelompok Islam ‘radikal’ dengan kelompok Islam ‘moderat’ dan golongan tradisionalis. Sebagaimana disarankan oleh RAND Foundation dalam makalahnya, “Deradicalization Islamic Extremist,” yang dipublikasikan pada tahun 2010, think-tank asal AS ini menyarankan negeri manapun untuk bermitra dengan Islam moderat dalam rangka melakukan kebijakan deradikalisasi.
Pola ini juga digunakan oleh Pemerintah RI terhadap kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan syariah Islam. Dalam Muktamar ke-6 Dewan Mesjid Indonesia 2009, Wapres Boediono melontarkan pernyataan politis belah-bambu kepada peserta agar masjid jangan jatuh ke tangan kaum radikal. Selain bersekutu dengan apa yang dinamakan kelompok Islam moderat, Pemerintah juga merangkul kalangan Islam tradisionalis untuk diadu-domba menghadapi apa yang dinamakan kelompok radikal. “Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung pada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran,” kata Boediono dalam perhelatan tersebut.
Ketiga: melegislasi undang-undang yang mengesahkan kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam. Sejumlah negara telah memberlakukan ISA (Internal Security Act) pasca serangan tragedi WTC. Dengan ISA maka negara boleh memata-matai dan menangkap orang yang terduga teroris. Di Indonesia, setelah pengesahan UU Intelijen, berikutnya giliran RUU Ormas dan RUU Kamnas akan disahkan. Seluruh UU dan RUU tersebut berisi pasal-pasal yang dapat memberangus siapa saja yang dianggap mengancam stabilitas negara.
Keempat: bekerjasama dengan media massa sekular untuk menyembunyikan setiap aktivitas dakwah penegakkan syariah Islam dan Khilafah. Harus disadari keberadaan media massa bukanlah hanya sebagai pewarta, tetapi juga berperan sebagai gatekeeper, penjaga gerbang informasi. Media massa bisa melakukan buka-tutup atas berbagai peristiwa. Media masa dengan leluasa bisa melakukan agenda setting seperti mensortir peristiwa, memberikan stressing sebuah peristiwa agar menjadi besar, atau justru bisa menguburnya agar tak terendus publik.
Revolusi Syam adalah contoh menarik bagaimana hampir tidak ada satu pun media massa internasional maupun lokal yang mengangkat tema besar yang diusung oleh mayoritas kelompok-kelompok Mujahidin di Suriah adalah penegakkan syariah Islam dan Khilafah serta penolakan terhadap demokrasi. Padahal jumlah video dengan tema Khilafah dan syariah—serta penolakan terhadap demokrasi—yang diunggah oleh kaum revolusioner Syam ke Youtube sudah mencapai ratusan.
Tak Akan Terbendung
Meski demikian, berbagai upaya yang coba dilakukan untuk menghentikan laju perubahan ke arah Islam tak akan berhasil. Hal ini disebabkan dua faktor. Pertama: sifat dari sistem buatan manusia, baik itu demokrasi maupun kapitalisme, yang gagal memenuhi harapan masyarakat. Demokrasi dengan prinsip kebebasannya merusak akidah umat, menciptakan perilaku amoral, kebebasan berpendapat yang mendorong orang berani melecehkan agama, dan juga melahirkan kapitalisme yang membuat gap antara masyarakat kaya dan miskin.
Sebagai sistem politik, demokrasi gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih. Penyelewengan kekuasaan oleh pejabat negara dan money politics dalam Pemilu dan Pilkada menjadi hal yang biasa. Demokrasi juga tidak bisa menghalangi politik nepotisme. Di Tanah Air, sejumlah keluarga pejabat mengisi jabatan-jabatan penting di sejumlah daerah. Parpol besar seperti PDI-P dan Demokrat pun lekat dengan nuansa ‘kekeluargaan’.
Kebusukan yang datang dari internal sistem selain Islam itu pada akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan. Mereka akan mencari sistem alternatif untuk menggantikan demokrasi dan kapitalisme. Pada akhirnya, arus perubahan akan terus bergulir hingga akhirnya menemukan Islam.
Kedua: sifat dari ideologi Islam yang merupakan sistem kehidupan dengan sebuah landasan keimanan. Al-Quran senantiasa mengaitkan keimanan dengan amal salih; juga mengaitkan keimanan dengan ketundukkan pada hukum-hukum Allah SWT. Dengan demikian seorang Muslim akan terdorong untuk memenuhi ada panggilan Ilahi dan menyegerakan melaksanakan syariah Islam (Lihat QS an-Nisa [4]: 65).
Ideologi Islam sanggup menyelesaikan persoalan manusia dengan paripurna, karena Islam memandang manusia sebagai manusia seutuhnya. Ketika menyelesaikan masalah ekonomi Islam memberikan solusi bagi manusia bukan sekadar sebagai ‘homo economicus’, tetapi manusia yang memilik kebutuhan naluri dan jasmani, dan karakternya yang lemah dan membutuhkan bantuan yang lain. Ini pula yang membuat banyak bangsa akhirnya berbondong-bondong memeluk ajaran Islam.
Mengawal dengan Pemikiran
Melihat kompleksnya persoalan perubahan, sudah seharusnya umat mengetahui cara mengawal arus ini agar tetap berada di jalan yang benar. Harus disadari bahwa perubahan yang hakiki haruslah dilandasi kesadaran dan dipimpin oleh pemikiran Islam, bukan karena kemaslahatan atau kesejahteraan.
Tentu berbahaya mengajak perubahan kepada umat melalui tema-tema kemaslahatan atau kesejahteraan tanpa melandasinya dengan pemikiran Islam. Gerakan perubahan haruslah berasaskan akidah Islam dan kesadaran untuk melaksanakan syariahnya. Dengan demikian roda perubahan ini tak akan berhenti kecuali bila tujuan telah tercapai. Kita sering menyaksikan gerakan Islam atau politisi Muslim yang laju dakwahnya terhenti manakala kemaslahatan duniawinya tercapai. Ia telah sejahtera, padahal umat masih menderita. Sejahteranya pun bukan berada dalam payung Islam, tetapi sistem kufur.
Pemikiran Islam ini harus tetap genuine, tidak terinfiltrasi dengan pemikiran-pemikiran asing seperti jalan tengah atau golongan moderat, yang membuat perjuangan Islam akhirnya berkompromi dengan kebatilan. Karena itu pijakan nash syariah wajib menjadi pijakan dalam setiap pemikiran Islam yang berkaitan dengan hukum maupun dalam metode dakwah. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah jalan itu dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian diperintahkan Allah agar kalian bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).
Perubahan yang dicontohkan Nabi saw. juga bukan dengan menggunakan metode people’s power seperti yang kini banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Metode people’s power justru rawan dibajak oleh kelompok-kelompok yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Metode perubahan yang dilakukan Nabi saw. adalah dengan melakukan thalabun-nushrah (meminta bantuan) kepada kelompok masyarakat yang memiliki kedudukan sebagai ash-habul-quwwah, orang-orang yang memiliki kekuatan dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam Sirah Ibnu Hisyam bisa kita simak langkah politis Nabi saw. mendatangi berbagai pimpinan kabilah pada setiap musim haji. Beliau menawarkan ajaran Islam sekaligus dukungan politik bagi penegakkan Islam dan kaum Muslim. Akhirnya, Allah mempertemukan beliau dengan pimpinan-pimpinan suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Pada tahap selanjutnya Nabi saw. mengirim Mushab bin Umair ra. sebagai dai untuk mendakwahkan Islam di Yatsrib, sekaligus mengkondisikan masyarakat Yatsrib khususnya tokoh-tokohnya agar memberikan dukungan penuh terhadap Rasulullah saw. dan Islam.
Dengan rangkaian proses ini maka dukungan yang diberikan oleh para pemilik kekuatan bukanlah dukungan kosong, juga bukan berdasarkan vested interest personal, tetapi karena kesamaan pemikiran dan tujuan, yakni melangsungkan kehidupan Islam. Dengan begitu arah perubahan akan tetap terjaga, genuine dan menuju sasaran yang benar. [Iwan Januar/Lajnah Siyasiyah DPP HTI]