Soal:
Sehubungan dengan masalah harta terpendam (rikâz) terdapat dalam kitab al-Amwâl, bahwa dalam harta terpendam itu wajib dikeluarkan khumusnya seperlima. Pertanyaannya di sini berkenaan dengan benda dan barang yang memiliki pandangan hidup tertentu, seperti salib dan patung yang terbuat dari gading. Apakah boleh memilikinya jika termasuk harta terpendam (rikâz)? Dengan kata lain, boleh juga memanfaatkan uang hasil penjualannya, lalu dikeluarkan seperlimanya?
Jawab:
Harta terpendam (rikâz), jika barangnya termasuk barang yang diharamkan, maka memiliki dan menggunakannya, baik menjual maupun membelinya adalah haram.
Karena itu, jika seorang Muslim menemukan harta terpendam (rikâz) berupa benda yang diharamkan, seperti “salib atau patung”, maka tidak boleh memilikinya, karena bentuknya memang merupakan bentuk benda yang memang diharamkan. Alasannya, karena baik salib maupun patung, sama-sama merupakan asykâl mâdiyyah (bentuk materi), yang terkait dengan pandangan hidup tertentu. Salib adalah asykâl mâdiyyah (bentuk materi) yang menjadi ciri khas umat Kristen, sebagai simbol penyaliban Yesus, yang diklaim sebagai Tuhan Anak dan penebus dosa. Ini jelas bukan benda biasa, tetapi benda yang telah mengandung mafâhîm ‘an al-hayâh (konsepsi kehidupan) tertentu, yang jelas bertentangan dengan Islam. Adapun patung, baik manusia maupun binatang yang bernyawa, juga merupakan asykâl mâdiyyah (bentuk materi) yang diharamkan, karena adanya larangan dalam Hadis Nabi saw.:
أَتَانِي جِبْرَائِيْلُ فَقَالَ: إِنِّيْ كُنْتُ أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعَنِيْ أَنْ أَكُوْنَ دَخَلْتُ عَلَيْكَ الْبَيْتَ الَّذِي كُنْتَ فِيْهِ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ فِيْ بَابِ الْبَيْتِ تِمْثَالُ الرِّجَالِ
Aku didatangi Jibril, lalu dia berkata, “Aku sebenarnya telah mendatangi engkau tadi malam, namun tidak ada yang menghalangi aku untuk menemuimu di rumah di mana kamu berada, kecuali di pintu rumah itu ada patung beberapa orang.” (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Timtsâl menurut Ibn Hajar al-Asqalâni, maknanya as-syai’ al-mushawwar (sesuatu yang digambar), lebih umum daripada patung, pahatan atau batik berbentuk makhluk hidup di pakaian.1
Badru ad-Dîn al-‘Aini menjelaskan makna timtsâl dengan:
تِمْثَالٌ وَهُوَ مَا يَصْنَعُ وَيُصَوَّرُ مُشَبِّهًا بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى مِنْ ذَوَاتِ الرُّوْحِ
Timtsâl adalah apa saja yang dibuat dan digambar menyerupai ciptaan Allah SWT, yaitu makhluk yang mempunyai nyawa.2
Hadis di atas dijadikan dasar oleh para ulama tentang status keharaman patung, pahatan dan motif batik makhluk hidup. Dalil ini, dan dalil-dalil sejenis yang lainnya, menegaskan keharaman membuat, memanfaatkan dan menikmatinya. Dengan demikian, hukum asal patung makhluk hidup ini jelas haram.
Namun, keharaman tersebut bisa berubah menjadi mubah jika manâth-nya berubah, meski dari asal benda yang sama. Salib, jika dipatahkan salibnya, sehingga tidak lagi membentuk salib, tentu tidak lagi bisa dihukumi sama karena faktanya sudah berubah. Bentuknya pun berbeda, tidak lagi membentuk salib. Karena itu, hukum keharaman salib tidak bisa digunakan untuk menghukumi kayu atau benda yang asalnya salib, tetapi sudah dipatahkan atau diubah bentuknya menjadi kayu atau benda lain.
Demikian juga dengan keharaman patung makhluk hidup. Patung ini semula haram, tetapi setelah bentuknya diubah, misalnya, kepalanya dipotong, atau tangan dan bagian-bagian yang menunjukkan makhluk hidup dihilangkan, sehingga menjadi benda lain, maka hukumnya berbeda dengan hukum patung makhluk hidup. Jika patung makhluk hidup haram, maka benda yang asalnya patung, dan telah diubah bentuknya sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup ini hukumnya mubah.
Dasarnya adalah Hadis Nabi saw. Dalam riwayat lain tentang hadis Jibril di atas, Nabi saw. menuturkan:
فَمَرَّ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ يَقْطَعُ فَيَصِيْرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ
Jibril pun menghampiri kepala patung itu, kemudian memotongnya sehingga bentuknya menjadi seperti bentuk batang pohon (HR al-Baihaqi).
Karena itu, jika barang yang ditemukan tadi berbentuk patung atau salib, meski awalnya haram, namun jika bentuk patung dan salib tersebut telah diubah sebagaimana yang dijelaskan di atas, sehingga hukumnya tidak lagi menjadi benda yang diharamkan, kemudian dijual, maka status jual-belinya mubah (halal). Karena itu, hasil penjualan benda tersebut dikeluarkan seperlima untuk khumus rikâz. Sisanya, empat perlimanya diambil oleh orang yang menemukannya sebagai haknya yang sah.
Jika Khilafah telah berdiri, maka bagian seperlima dari hasil pejualan benda tersebut diserahkan kepada negara untuk dibelanjakan pada kepentingan kaum Muslim dan orang-orang yang membutuhkan. Namun, jika Khilafah belum berdiri, maka bagian seperlima dari hasil pejualan tersebut diserahkan kepada kaum fakir miskin, dan untuk kepentingan kaum Muslim. Yang empat perlimanya tetap menjadi miliknya yang sah. Ini dengan catatan, jika patung dan salib tersebut bukan merupakan bangkai binatang. Sebab, jika patung atau salib tersebut dibuat dari bangkai binatang, maka dengan memecah atau mengubahnya, tetap tidak bisa menghilangkan sifat aslinya sebagai bangkai (maytah) (Lihat: QS al-Maidah [5]: 03).
Bangkai juga haram dimanfaatkan, sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi saw.:
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيْتَةِ بِشَيْءٍ
Kalian jangan memanfaatkan apapun dari bangkai. 3
Adapun jika salib dan patung itu dari tulang bangkai atau tanduknya, maka dalam hal ini para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan kesucian dan kenajisannya. Pandangan yang terkuat (râjih) adalah pendapat yang mengatakan, bahwa benda-benda tersebut hukumnya najis, dan padanya berlaku predikat bangkai, karena firman Allah SWT:
قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Dia berkata, “Siapakah yang menghidupkan tulang-belulang itu, ketika tulang-belulang itu telah hancur luluh?” (QS Yasin [36]: 78).
Makna kata “yuhyi” (menghidupkan) yang bersamaan dengan kata “al-‘izhâm (tulang belulang) menunjukkan, bahwa tulang-belulang bangkai adalah bangkai juga. Ketika Allah menyatakan, “Siapakah yang menghidupkan tulang-belulang itu ketika tulang-belulang itu telah hancur-luluh?” berarti Allah menegaskan, bahwa tulang-belulang itu bisa dihidupkan. Penegasan Allah ini membuktikan, bahwa tulang-belulang itu juga makhluk hidup.
Dengan begitu, hukum tulang-belulang tersebut mengikuti hukum makhluk hidup. Jika makhluk hidup tersebut dibunuh tanpa disembelih, atau menjadi bangkai, maka tulang-belulangnya juga sama hukumnya. Jika bangkainya haram dan najis, maka tulang-belulangnya juga sama. Ini pendapat mazhab Syafii.4
Adapun mazhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad menyatakan tidak najis.5 Alasannya, kata Ibn Taimiyah, karena kata maytah (bangkai) tidak termasuk rambut, tulang dan lain-lain; karena mati adalah lawan hidup. Hidup bisa dibedakan menjadi dua. Pertama: hidupnya hewan. Kedua: hidupnya tumbuh-tumbuhan. Hidupnya hewan ditandai dengan ciri khas yang berbeda dengan hidupnya tumbuh-tumbuhan, yaitu rasa dan gerakan yang lahir dari kehendak. Adapun tumbuh-tumbuhan, ciri khasnya, adalah tumbuh dan mengkonsumsi (makanan).
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas adalah bangkai yang ditinggalkan oleh kehidupan binatang, bukan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Buktinya, pohon dan tanaman, jika basah, maka kaum Muslim sepakat, keduanya tidak najis. Karena itu, matinya tanah, tidak meniscayakan tanah tersebut menjadi najis. Jadi, bangkai yang diharamkan adalah bangkai hewan yang tidak lagi mempunyai rasa dan gerakan yang lahir dari kehendak. Dengan demikian, rambut dan sejenisnya, kehidupannya sama dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, bukan kehidupan hewan. Ia tumbuh dan mengkonsumsi makanan, sebagaimana tumbuh-tumbuhan. Ia juga tidak mempunyai rasa, dan tidak bergerak dengan kehendak. Dengan begitu, sesungguhnya rambut, tulang dan sebagainya tadi, tidak bisa dinyatakan hidup.6
Inilah perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang status kenajisan tulang bangkai. Namun, sekali lagi, pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafii. Ini berdasarkan makna lahiriah dari konteks QS Yasin di atas.
Dengan demikian, jika patung atau salib itu bagian dari bangkai, maka tidak boleh memanfaatkannya sekalipun dipecahkan dan diubah, sebab bagian dari bangkai adalah bangkai yang kepadanya berlaku hukum bangkai.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri, Dar al-Fikr, Beirut, 1993, XI/586.
2 Badr ad-Dîn al-‘Aini, ‘Umdah al-Qârî Syarah Shahîh al-Bukhâri, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., XIII/28.
3 Al-Qurthûbi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., II/216.
4 An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Dâr al-Fikr, Beirut, 1996, I/268.
5 Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Dâr ‘Alami al-Kutub, Beirut, t.t., XXI/96.
6 Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Dâr ‘Alami al-Kutub, Beirut, t.t., XXI/96.