HTI

Kisah Inspiratif

“Kami Menginginkan Khilafah”

Dengan tertatih-tatih H. Muhtadin (72) menuruni anak tangga bis yang membawa beliau dari Banjar Kota, Jawa Barat, ke Gelora Bung Karno (GBK), Senayan. Bersama dengan peserta Muktamar Khilafah (MK) yang lainnya, Muhtadin yang harus menggunakan bantuan tongkat berjalan dari Parkir Timur Senayan tempat bis rombongan parkir menuju pintu 12 GBK.

Meski harus menempuh perjalanan cukup jauh, berangkat dari Banjar sekitar pukul 22.00 malam dan sampai di kawasan GBK sekitar pukul 06.00 pagi, semangatnya tak kalah dengan peserta lainnya yang lebih muda. “Untuk ibadah,” kata Muhtadin mengenai alasannya ikut MK.

Ya, peserta muktamar memang beragam, bukan hanya syabab (pemuda), seperti beragamnya warga Khilafah kelak. Mulai dari bayi yang masih merah, sampai nenek-nenek hadir dalam muktamar. “Kebetulan, saya juga membawa bayi saya yang usianya belum genap 2 bulan. Saya duduk di samping nenek yang menurut saya usianya sudah lebih dari 70 tahun,” ungkap seorang peserta MK Jakarta, Noneng Vera, kepada al-wa’ie.

Nenek itu bilang, “Wah, masih bayi udah diajak berjuang. Hebat!”

Noneng tersenyum sambil menimpali, “Ibu juga hebat! SubhanalLah bisa hadir di sini.”

Nenek itu menjawab, “Iya, takut tidak bisa menyaksikan tegaknya Khilafah. Kan banyak yang bilang masih lama. Jadi ibu ingin ikut berjuang juga. Mudah-mudahan segera tegak.”

Puluhan peserta tunanetra, termasuk delapan di antaranya tergabung dalam Ikatan Tunanetra Muslimin Indonesia (ITMI) Jakarta Utara, ibu-ibu berkursi roda tampak pula dalam perhelatan yang dihadiri sekitar 120 ribu umat Muslim tersebut.

Dalam muktamar yang pesertanya membludak sehingga panitia harus menyediakan dua puluh ribu kursi tambahan itu, ada juga yang ngaku seumur-umur belum pernah masuk ke halaman DPR. Namun, untuk pagi yang penuh berkah itu, gerbang utama Gedung DPR/MPR dibukakan untuk bus yang dia  tumpangi dan bus serta puluhan kopaja lain. Ribuan warga pun bisa masuk ke gedung wakil rakyat tersebut.

“Akhirnya bus kami terparkir di komplek MPR-DPR. Ini adalah kali pertama saya mendatangi gedung yang katanya diisi oleh wakil-wakil rakyat itu,” tulis salah seorang peserta muktamar dari IPB Bogor di blog pribadinya.

Memang pada umumnya peserta berasal dari Jakarta, Jawa Barat dan Banten, namun tidak sedikit pula peserta yang berdatangan dari berbagai daerah Indonesia lainnya. Bahkan dari mancanegara pun ada. Salah satunya adalah Bilal Abdel Waheed (22 tahun) dari Australia. Mahasiswa Komunikasi University of Western Sydney ini mengaku menabung terlebih dulu agar dirinya memiliki ongkos ke Jakarta.

Acara spektakuler ini diisi pula oleh pembicara dari 14 negara. Salah satunya pembicara tamu dari Inggris, Taji Mustafa. Jangan ditanya bagaimana perasaannya bahwa peserta yang hadir di GBK ini lebih dari 100 ribu orang. Soalnya ketika diberitahu bahwa panitianya berjumlah 1300 orang saja, ia kaget bukan alang kepalang: “What? One thousand three hundred people?! That’s the number of people we will gather in the conference in England. (Apa? 1300 orang?! Itu jumlah yang akan kami kumpulkan dalam konferensi di Inggris).”

Ustman Bakhash, pembicara tamu dari Libanon, melihat kompaknya lebih dari seratus ribu orang memekikkan, “al-Ummah Turid Khilafah Islamiyah (Umat menginginkan Khilafah Islamiyah),” merasa terharu. “Seperti berada dalam surga beberapa saat,” ungkapnya pada al-wa’ie.

Terbesar di Kendari

Selain di Jakarta, kisah-kisah unik mewarnai juga dalam Muktamar Khilafah di 30 kota lainnya. Di Kendari, misalnya. Untuk menyediakan kursi bagi 25.000 peserta muktamar, panitia harus menyewa di tiga kabupaten.

Pemasangannya pun memakan waktu hingga dua hari dua malam. Pada malam hari kursi dipasang hingga pukul 3 dini hari. Maklum, di sana tidak ada penyewaan kursi yang jumlahnya sebanyak itu. Pasalnya, memang tidak pernah ada acara yang menghimpun orang sebanyak itu, kecuali pada 2011, ada konferensi yang dihadiri 15.000 orang. Siapa penyelenggaranya? Tentu saja HTI Kendari juga.

Di Yogyakarta, ketika muktamar berlangsung, masuk puluhan pemuda berpakaian tentara tradisional khas kraton DIY, seakan hendak melakukan grebeg mulud. Namun, yang mereka bawa bukanlah makanan atau hasil bumi, melainkan Bendera Nabi Muhammad saw. yang berwarna hitam dan putih; keduanya bertuliskan dua kalimat syahadat.

“Kapan Khilafah Tegak?”

Di Banjarmasin, Aufa Jaida Aziza membuat ribuan peserta muktamar di Masjid Raya Sabihal Muhtadin berurai air mata. Ketika latihan pun gadis yang masih duduk di sekolah dasar ini berulang menangis.

Saat latihan, Muthi’ah Winarti, Ibunda Aufa mendapati dia menangis. “Kenapa Aufa menangis,” tanya Muthi’ah. Aufa menjawab, “Umi Aufa sedih sekali dengan kondisi saat ini, saat tidak ada lagi khalifah bersama kita.  Kasihan kaum Muslim banyak yang miskin, banyak yang terzalimi, Umi.  Umi…umi….Bagaimana ya anak-anak di Palestina. Mereka kehilangan rumahnya. Main-mainannya hancur dan yang sangat menyedihkan lagi, banyak dari mereka kehilangan umi dan abi mereka.”

Sambil menjelaskan Aufa  terus menangis.  “Umi…Aufa ingin sekali Khilafah segera tegak. Aufa ingin bersama Umi, Abi; menjadi pejuang yang selalu memperjuangkan tegaknya Khilafah.”

SubhanalLah, sambil meneteskan air mata Muthi’ah peluk Aufa. Terakhir, Aufa bertanya, “Umi, kira-kira kapan ya Khilafah Islam tegak?”

“Insya Allah sebentar lagi, sayang. Semoga kaum Muslim segera terbangun dan tersadar bahwa anak-anak kita pun menginginkan tegaknya kembali Khilafah dengan berjuang untuk mengembalikan syariah dan Khilafah.  Allahu Akbar,” ungkap Muthi’ah kepada al-wa’ie.

Di Palembang, usai muktamar puluhan peserta langsung mendatangi meja panitia dan langsung menawarkan diri bergabung bersama Hizbut Tahrir. Imam, mahasiswa Fakultas Kedoteran Universitas Muhammadiyah Palembang bertanya bagaimana caranya bergabung dengan Hizbut Tahrir. Ia juga mengaku sangat tersentuh dengan acara Muktamar Khilafah dan menyatakan keinginannya untuk bisa hadir di puncak acara pada 2 Juni di Jakarta.

Terkena Musibah

Perjuangan tentu tak luput dari ujian dan tantangan. Saudari-saudari seiman dari Palopo harus berjuang untuk sampai di MK Makasar yang berjarak 450 kilometer dari Palopo. Sepuluh kilometer  menuju  Kabupaten Sidrap, terjadi  tabrakan beruntun yang melibatkan enam kendaraan  dan satu di antaranya adalah kendaraan keluarga Umu Wildan yang tengah hamil 7 bulan.

Bocornya  karburator menyebabkan mobil tidak bisa lagi bergerak. Akhirnya, para akhwat yang ada di mobil tersebut dipindahkan ke mobil rombongan lain. Sementara itu, mobil Abu Wildan bersama beberapa ikhwan diderek oleh mobil rombongan akhwat tersebut. Perjalanan sekitar 200 kilometer lagi menuju Makasar sambil menderek mobil ditempuh dengan penuh kehati-hatian. Kedatangan di Makasar yang dijadwalkan jam 12.00 malam pun tertunda, jam 5 pagi rombongan baru masuk Kota Makasar.

Tanpa sempat beristirahat, mereka larut dalam gegap gempita 60.000 peserta MK di Makasar. Seminggu setelah pelaksanaan MK, Umu Wildan harus menjalani operasi cesar. Anaknya lahir dalam kondisi prematur dan masuk ruang inkubator. Sampai tulisan ini dibuat, Umu Wildan dan bayinya masih terbaring di Rumah sakit. Semoga Allah memberi kekuatan dan menjadikan sang bayi sebagai pejuang yang tangguh. Amin.

Fajar Khilafah

Di Sorong, di daerah yang aktivis HTI-nya sangat-sangat sedikit, muktamar tetap dilakukan. Padahal tadinya HTI Sorong hanya ditugaskan untuk menyukseskan MK di Jayapura. “Daripada harus ke Jayapura, dampaknya tidak signifikan. Akhirnya, kami putuskan untuk menyelenggarakan sendiri MK. AlhamdulilLah bisa terlaksana pada 12 Mei lalu,” kata Azhari, aktivis HTI Sorong.

Ia mengakui, sebelumnya memang sempat tersirat rasa pesimis untuk bisa menggelar MK. Sebab, sumberdaya manusia (SDM) syabab HTI di Sorong hanya sedikit.

Namun, dengan semangat para syabab dan mengintensifkan kontakan dan publikasi. Ada hal menarik ketika akan memasang baliho berukuran 5 x 4 meter di terminal Kota Sorong. Ternyata baliho ini adalah baliho terbesar yang pernah dipasang di Kota Sorong. Ditambah lagi, baliho ini dipasang berhadapan dengan salah satu gereja terbesar di Kota Sorong.

AlhamdulilLah…baliho terpasang dengan gagahnya, seolah ingin menunjukkan semangat yang besar dari kaum Muslim untuk kembali pada hukum Allah SWT. Salah satu pengguna jalan yang lewat pun berkomentar, “Saya terharu dan merinding melihat dan membaca baliho ini.”

Perjuangan tidak berhenti sampai di situ saja. Kontak ke berbagai kalangan masyarakat pun dilakukan secara masif. Ada kisah menarik ketika seorang aktivis mengontak penjual nasi goreng. Ternyata penjual nasi goreng yang bernama Harto ini bukan hanya membeli tiket, tetapi juga ingin bergabung dengan HTI Sorong. Lebih dari itu, Harto pun berhasil mengajak 32 temannya. Ia pun meminta ikat kepala, bendera ar-Raya dan al-Liwa untuk konvoi ketika berangkat menuju Muktamar Khilafah.

Seorang ibu rumah tangga dari kepulauan Raja Ampat, yang dikontak akhwat menyatakan: “Saya dari kampung, tidak tahu perkembangan zaman. Namun, dari penyampaian pemateri tadi saya menjadi sadar, terharu, merinding dan menangis. Insya Allah, kami siap memfasilitasi Tablig Akbar pada bulan Ramadhan nanti di kepulauan Raja Ampat.”

Insya Allah Muktamar Khilafah kali ini benar-benar menjadi tanda bahwa fajar kemenangan umat Islam Khilafah Islamiyah akan segera terbit. “Fajar itu akan terbit dari timur. Allahu Akbar!” ungkap Uja, aktivis HTI Sorong saat melaporkan kepada al-wa’ie.

SubhanalLah. BarakalLahu fi a’malikum. Amin. [Joko Prasetyo, dari penuturan sejumlah peserta Muktamar Khilafah se-Indonesia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*