(Tafsir QS al-A’la [87]: 1-8)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى * الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى * وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى * وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى * فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatingi; Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya); Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk; dan Yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu Dia jadikan rumput-rumput itu kering (kehitam-hitaman) (QS al-A’la [87]: 1-8).
Surat ini dinamakan Al-A’lâ. Nama tersebut diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat pertama. Nama lainnya, sebagaimana dikemukakan asy-Syaukani dan al-Alusi, adalah surat Sabbih.1 Surat yang terdiri dari sembilan belas ayat ini tergolong Makkiyyah.2 Menurut asy-Syaukani dan al-Alusi, ini merupakan pendapat jumhur. Di antara yang menyebut bahwa surat ini turun di Makkah adalah Ibnu Abbas, Ibnu Zubair dan Aisyah.3 Adapun menurut adh-Dhahhak, ia termasuk Madaniyyah.4
Surat ini merupakan surat yang dibaca Rasulullah saw. dalam shalat Id, shalat Jumat dan shalat witir (Hadis penuturan An-Nu’man bin Basyir dalam riwayat Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, an-Tirmidzi dan Ahmad).
Tafsir Ayat:
Allah SWT berfirman: Sabbih [i]sma Rabbika al-A’lâ (Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatingi). Surat ini diawali dengan perintah yang ditujukan kepada Rasulullah saw., yang berarti juga ditujukan kepada umatnya. Sebab, khithâb ar-Rasûl khithâb li ummathi (seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya). Di sebutkan: sabbih (sucikanlah). Kata sabbih merupakan bentuk fil al-amr (kata perintah) dari kata tasbîh. Dengan demikian, ayat ini memerintahkan mereka untuk bertasbih. Tasbih itu ditujukan kepada ism Rabbika al-A’lâ (nama Tuhanmu Yang Mahatinggi).
Dijelaskan Ahmad Mukhtar, pengertian tasbîh adalah qaddasahu wa nazzahahu ‘an kulli naqsh wa majjadahu (menyucikan dan membersihkan-Nya dari segala kekurangan dan memuliakan-Nya).5
Mensucikan Allah SWT tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk ucapan sebagaimana dinyatakan al-Khazin. Menurut mufassir tersebut, ayat ini berarti: Katakanlah, “Subhâna Rabbiya al-A’lâ (Katakanlah, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi).” Masih menurut al-Khazin, ini merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi’in. Kesimpulan tersebut didasarkan pada riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa setelah Rasulullah saw. membaca Sabbih [i]sm Rabbika al-A’lâ, beliau lalu membaca “Subhâna Rabbiya al-A’lâ”.6
Menurut Abdurrahman as-Sa’di, perintah Allah SWT untuk bertasbih kepada-Nya itu meliputi zikir dan beribadah kepada-Nya, merendah pada kemuliaan-Nya, dan merunduk pada keagungan-Nya. Tasbih tersebut juga dilakukan untuk berlindung pada keagungan-Nya dengan menyebut al-asmâ‘ al-husnâ al-‘âliyah yang mengandung makna-makna yang baik lagi mulia.7
Ada dua penafsiran mengenai objek yang diperintahkan ayat ini untuk disucikan. Pertama: Sang Pemilik nama, yakni Allah SWT. Artinya, sucikan Tuhanmu dan bersihkanlah Dia dari semua yang disifatkan oleh orang-orang yang ingkar. Kata al-ism berkedudukan sebagai ash-shilah (penghubung, sisipan). Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa tidak dikatakan: Subhâna [i]smil-Lâh, wa subhâna [i]smi Rabbinâ, namun dikatakan: Subhânal-Lâh, wa subhâna Rabbinâ. Dengan demikian seolah-olah makna: Sabbih [i]sma Rabbika al-A’lâ adalah Sabbih Rabbka (sucikanlah Tuhanmu).8
Ibnu ‘Abbas dan as-Sudi juga berkata, pengertian sabbih [i]sma Rabbika al-A’lâ adalah ‘azhzhim Rabbaka al-A’lâ (Agungkanlah Tuhanmu Yang MahaTinggi).9 Mereka yang mendukung penafsiran ini menguatkannya dengan Hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir, “Ketika turun firman Allah: Fasabbih bi [i]smi Rabbika al-‘Azhîm (QS al-Waqi’ah [56]: 96), Rasulullah saw. bersabda, “Jadikanlah ia sebagai bacaan dalam rukukmu.” Ketika turun firman Allah SWT: Sabbih [i]sma Rabbika al-A’lâ (QS al-A’la [87]: 1) beliau bersabda, “Jadikanlah sebagai bacaan dalam sujudmu.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Kedua: asma Allah SWT. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurut beliau penafsiran yang benar tentang ayat ini adalah: Bersihkanlah nama Tuhanmu yang kamu panggil dari semua berhala dan patung! Kesimpulan ini didasarkan pada riwayat dari Rasulullah saw. dan para sahabat. Dalam riwayat tersebut diberitakan bahwa ketika membaca ayat ini, mereka lalu membaca Subhâna Rabbiya al-A’lâ. Ini menunjukkan bahwa maknanya menurut mereka telah maklum, yakni: Azhzhim [i]sma Rabbika wa nazzih-hu (agungkanlah Tuhanmu dan bersihkan namanya [dari segala cela dan kekurangan]).10
Kata al-A’lâ berkedudukan sebagai sifat bagi Rabbika. Bisa juga sifat bagi al-ism.11 Kata tersebut merupakan bentuk ism at-tafdhîl (bentuk superlatif) dari kata al-‘aliy yang menunjukkan makna ketinggian, baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Ini menegaskan bahwa yang diperintahkan untuk disucikan dan dibersihkan dari segala kekurangan itu adalah Tuhan Yang Mahatinggi. Tidak ada satu pun yang menyamai, menandingi, apalagi mengalahkan Allah SWT. Dijelaskan al-Jazairi, pengertian al-A’lâ adalah fawqa kulli syay` wa al-qâhir li kulli syay` (di atas segala sesuatu dan mengalahkan segala sesuatu).12
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: al-Ladzî khalaqa fa sawwâ (Yang menciptakan dan menyempurnakan [penciptaan-Nya]). Ayat ini memberitakan sifat lainnya dari Allah SWT. Dia adalah Dzat Yang menciptakan: al-ladzî khalaqa. Kata khalaqa digunakan untuk menyatakan tindakan membuat sesuatu, baik sesuatu itu benar-benar baru, yang tidak ada asal-usul sebelumnya seperti dalam QS al-An’am [6]: 1, maupun sesuatu yang berasal dari sesuatu yang lain, seperti dalam QS an-Nisa’ [4]: 1, al-Nahl [16]: 4 dan al-Mulminun [23]: 12.13 Inilah sifat Tuhan yang diperintahkan untuk disucikan. Dialah Yang menciptakan langit, bumi dan seluruh isinya. Kata khalaqa dalam ayat ini tidak disertai kata yang menjadi al-maf’ûl bih (objeknya). Ini memberikan makna bahwa Dia menciptakan segala sesuatu.14
Tak sekadar menciptakan. Allah SWT juga fa sawwâ (lalu menyempurnakan). Dikatakan adh-Dhahhak, Allah menciptakan, lalu menyempurnakan ciptaannya itu.15 Menurut Ibnu ‘Athiyah, kata sawwâ berarti ‘addala wa atqana (meluruskan dan menyempurnakan) sehingga urusan tersebut menjadi mustawiyah (lurus lagi rata).16 Dalam konteks ayat ini, kata sawwâ berarti menjadikan makhluk ciptaan-Nya itu cocok semua bagiannya, seimbang dan berada dalam sistem yang sempurna.17
Ayat berikutnya masih memberitakan sifat Allah SWT lainnya. Alah SWT berfirman: Wa al-ladzî qaddara fahadâ (Yang menentukan kadar [masing-masing] dan memberi petunjuk). Diterangkan ar-Razi, kata qaddara di sini berarti Allah SWT menetapkan segala sesuatu dengan kadar atau ukuran tertentu.18 Masih menurut ar-Razi, kata qaddara (menetapkan kadar) ini mencakup semua makhluk, baik dari aspek zat maupun sifatnya. Masing-masing telah ditetapkan secara seimbang. Dengan demikian Dia telah menetapkan kadar pada langit, bintang, logam, tumbuhan, hewan dan manusia dengan kadar tertentu, baik badan maupun tulangnya; juga menetapkan kadar usia segala sesuatu pada masa tertentu; termasuk pula sifat, warna, rasa, bau, keadaan, kebaikan dan keburukan, kebahagaian dan kecelakaan, petunjuk dan kesesatan dengan kadar tertentu (Lihat: QS al-Hijr [15]: 21).19
Makhluk yang telah diciptakan, disempurnakan, dan ditetapkan kadarnya itu pun tidak dibiarkan begitu saja. Semuanya diberi petunjuk oleh Allah SWT: fa hadâ (lalu Dia memberikan petunjuk). Imam al-Qurthubi menafsirkan hadâ di sini sebagai arsyada (membimbing, menunjukkan). Dikatakan Ibnu ‘Athiyah, hadâ (menunjukkan) tersebut ‘âmm li wujûh al-hidâyât (bersifat umum untuk semua jenis hidayah atau petunjuk).20 Dikatakan Mujahid, Dia menunjukkan kepada manusia kecelakaan dan kebahagiaan serta kepada hewan ternak rerumputan.21 (Lihat pula, misalnya, QS Thaha [20]: 50.
Ayat ini memberitakan salah satu benda yang Allah ciptakan: Wa al-ladzî akhraja al-mar’â (dan yang menumbuhkan rumput-rumputan). Ada beberapa penjelasan mengenai makna al-mar’â. Menurut al-Qurthubi, kata tersebut adalah an-nabât wa al-kalâ‘ al-ahdhar (rerumputan yang hijau).22 Menurut ar-Razi, makna kata al-mar’â memiliki cakupan yang lebih luas; al-mar’â berarti semua yang tumbuh dari bumi, baik rerumputan, tanaman berbuah, pepohonan, maupun rumput kering.23
Kemudian Allah SWT berfirman: Faja’alahu ghutsâ‘[an] ahwâ (lalu Dia menjadikan rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman). Setelah ditumbuhkan dalam keadaan segar dan berwarna hijau, semua tumbuhan itu Dia ubah sehingga menjadi ghutsâ‘[an] ahwâ.
Kata ahwâ berarti al-aswad (hitam),24 yakni rerumputan ini menjadi hitam setelah berwarna hijau.25 Abdurrahman Zaid berkata: “Dia mengeluarkan rerumputan dalam keadaan hijau. Kemudian ketika kering berubah menjadi hitam karena terbakar lalu menjadi sampah yang dibawa oleh angin dan ombak. Ini merupakan permisalan yang dibuat Allah bagi orang kafir tetang lenyapnya dunia setelah sebelumnya hijau lagi segar.26
Perintah Bertasbih
Terdapat banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: perintah bertasbih kepada Allah SWT. Perintah itu disebutkan dalam ayat pertama surat ini: Sabbih [i]sma Rabbika al-A’lâ. Melalui ayat ini manusia diperintahkan untuk menyucikan dan membersihkan Allah SWT dari segala cela dan kekurangan serta semua anggapan keliru kaum kafir. Bertasbih bisa berbentuk sikap dan ucapan. Dalam ucapan, perintah tersebut diwujudkan dengan membaca kalimat tasbih, seperti kalimat subhânal-Lâh atau subhâna Rabbiy al-A’lâ.
Perintah bertasbih juga disebutkan dalam banyak nash lainnya seperti: QS al-Hijr [15]: 98; QS al-Waqi’ah [56]: 74, 96, al-Haqqah [69]: 52, an-Nahsr [110]: 3. Bertasbih diperintahkan dilakukan pada malam hari dan setiap selesai shalat (lihat QS Qaf [50]: 40); ketika ketika bintang-bintang terbenam, yakni waktu fajar (lihat ath-Thur [52]: 48), pagi dan petang (lihat QS al-Ahzab [33]: 42); sebelum dan sesudah terbit matahari; juga pada waktu-waktu siang dan malam hari (lihat QS Thaha [20]: 130).
Kedua: beberapa sifat Allah SWT yang wajib diimani. Dalam ayat ini sebutkan Tuhan yang diperintahkan untuk disucikan itu adalah al-A’lâ, Yang Mahatinggi. Sifat ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang menyamai, menyerupai, menandingi, apalagi mengalahkan Allah SWT. Allah SWT jauh dari semua sifat keliru yang disangkakan oleh orang-orang kafir.
Sifat lainnya adalah kekuasaan-Nya dalam khalaqa (menciptakan) segala sesuatu. Ini jelas tidak dimiliki makhluk-Nya. Tak hanya itu, segala yang telah Dia ciptakan dengan sempurna. Semuanya tepat, seimbang dan sempurna. Manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna dan baik bentuknya (lihat QS al-Tin [95]: 4). Karena itu tidak ada alasan bagi manusia menolak bertasbih kepada-Nya, apalagi bersikap sombong di hadapan-Nya. Sehebat-hebatnya manusia tidak bisa menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Bahkan manusia adalah ciptaan-Nya.
Sifat lainnya adalah qaddara fa hadâ. Semua yang telah Allah ciptakan itu telah ditetapkan kadarnya yang cocok dan tepat bagi makhluk tersebut. Semua makhluk itu pun diberi petunjuk yang bermanfaat bagi mereka. Hewan diberi insting yang membuat mereka bisa hidup dna menikmati kehidupan. Manusia diberi petunjuk jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan dan kesengsaraan. Manusia juga dianugerahi akal, pendengaran dan penglihatan untuk dapat memahami petunjuk tesebut (lihat QS al-Insan [76]: 2-3).
Di antara makhluk ciptaan-Nya adalah rerumputan yang menghampar luas di padang rumput. Rerumputan yang segar nan hijau tersebut amat penting bagi kehidupan. Rumput-rumput hijau itu menjadi makanan utama bagi hewan ternak yang amat dibutuhkan oleh manusia. Semua itu merupakan kenikmatan tak terhingga bagi manusia.
Jika diperhatikan, semua sifat Allah SWT yang diterangkan ayat ini, selain menunjukkan ketinggian dan kemuliaan-Nya yang mustahil tandingi makhluk-Nya, juga menunjukkan besarnya kasih sayang-Nya kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya. Semuanya bisa merasakan kenikmatan tiada tara karena telah diciptakan, disempurnakan, ditetapkan kadarnya yang sesuai dan diberi petunjuk yang benar. Karena itu sudah sepantasnya manusia bertasbih dengan memuji dan mengagungkan kebesaran-Nya seraya membersihkan-Nya dari segala cela dan kekurangan. Mereka yang menolak peritah ini adalah makhluk tak tahu diri sehingga layak mendapat hukuman yang berat.
Ketiga: kepastian berakhirnya kehidupan. Ayat ini mengingatkan manusia tentang siklus kehidupan. Rerumputan adalah yang disebutkan ayat ini sebagai sebuah obyeknya. Disebutkan bahwa Allah SWT telah mengeluarkan rumput-rumput dari bumi. Rumput-rumput dan semua tumbuhan lainnya itu tumbuh dalam hijau dan segar. Sungguh menyenangkan bagi siapa pun yang memandangnya. Namun, perlu diingat, seiring degan waktu, rumput-rumput itu yang hijau, segar dan memesona itu akan mengalami penuaan dan pengeringan. Warnanya pun akan berubah menjadi hitam dan kusam. Sesaat kemudian kehidupan rumput-rumput tersebut berakhir.
Inilah siklus kehidupan yang dialami semua makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan dewasa. Ibarat rumput, itulah masa hijau, segar dan memesoana. Sebagaimana rumput pula, seiring dengan usia, manusia itu kemudian menjadi tua hingga akhirnya mati. Secara khusus, siklus kehidupan manusia diterangkan dalam QS Abasa [80]: 19-22.
Realitas ini harus benar-benar disadari oleh manusia. Kesadaran ini harus dimiliki dan dicamkan pada diiri manusia setiap saat. Kesadaran ini bisa mencegah manusia bersikap sombong dan meringankan mereka untuk bertasbih memuji kebesaran dan keagungan-Nya.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 13; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 513; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 313.
2 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1887), 738; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1420 H), 125; al-Baidhawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1997), 396; Al-Khazin, Lubâb at-Ta`wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 417; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikmah, 2003), 555.
3 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 8 (Beirut: Dar al-Zfikr, tt), 479.
4 al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 13; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 313
5 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1024.
6 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 417.
7 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 920.
8 Al-Baghawi, Ma’ânî at-Tanzîl , vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 241.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 13.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 367.
11 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 455
12 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 555.
13 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 158.
14 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 187. Lihat juga al-Zamakhsyari, A-Kasysyâf, vol. 4, 738.
15 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 514.
16 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 468.
17 Ar-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 187.
18 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 128.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 128.
20 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 468.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 15; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 372.
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 16.
23 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 129.
24 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 370.
25 Asyyaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 514.
26 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 18.