Perubahan dunia kontemporer sudah dimulai sejak awal tahun 1990-an, yakni saat Sosialisme runtuh, kemudian Kapitalisme menjadi ideologi tunggal yang memimpin dunia. Keruntuhan Sosialisme bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet sebagai pengembannya telah mengantarkan Amerika sebagai satu-satunya adidaya dunia. Uni Soviet pun hilang dari peta dunia, meski tidak menghapus Rusia, sebagai pewaris tunggalnya.
Uni Eropa pun semakin menguat dengan penyatuan ekonomi dan mata uangnya, Euro. Cina juga tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia dengan pertumbuhan di atas rata-rata. Namun, kondisi ini hanya bertahan tidak kurang dari dua dekade. Krisis ekonomi kemudian meremukkan negara-negara maju pada tahun 2008. Meski krisis telah berlangsung selama lima tahun, dampak dari krisis ekonomi tersebut belum bisa dipulihkan hingga saat ini.
Krisis Ekonomi Global
Globalisasi telah menjadikan perekonomian dunia saling berkaitan satu sama lain lain. Akibatnya, krisis di satu negara berdampak pada bagian belahan dunia lainnya. Dampak dari globalisasi ini tampak ketika pasar properti di Amerika Serikat rontok. Efek dominonya kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia dan menyebabkan runtuhnya sejumlah bank. Ini mengharuskan pemerintah melakukan intervensi, sesuatu yang sebelumnya ditolak oleh Kapitalisme.
Hasilnya, terjadilah apa yang sekarang disebut resesi besar (Great Recession). Ini merupakan kondisi terburuk sejak depresi besar (Great Depression) tahun 1929. Krisis keuangan global ini memunculkan kenyataan bahwa booming ekonomi pada dekade lalu faktanya merupakan hasil dari utang. Hingga sekarang raksasa perekonomian dunia masih gagal mengatasi krisis yang sudah berjalan selama lima tahun itu.
Usaha bersama dari raksasa perekonomian dunia untuk menyelaraskan penyelesaian krisis terus dilakukan. Dasarnya, karena ekonomi global telah terkait satu sama lain. Karena itu pendekatan bersama dan global merupakan kepentingan global yang terbaik.
Namun, pendekatan sinergis dan bersama-sama ini tidak berlangsung lama karena faktor nasionalisme ekonomi; setiap negara berjuang sendiri untuk mempertahankan eksistensinya.
Ini tampak dalam berbagai pertemuan dan konferensi negara-negara G-20 yang menyetujui berbagai model bailout untuk membantu negara yang perekonomiannya ambruk. Sebagian besar proyek bailout itu tidak lebih dari sekadar dokumen tertulis saja karena nasionalisme ekonomi negara-negara besar. Koran The Economist pada tahun 2010 menggarisbawahi, “Akan tetapi, munculnya kembali hantu dari masa paling gelap dalam sejarah modern membutuhkan respon yang berbeda, bahkan yang serius. Nasionalisme ekonomi yang bekerja keras untuk menjaga kesempatan kerja dan modal di dalam [dalam negeri setiap negara] telah menyebabkan berubahnya krisis ekonomi menjadi krisis politik dan mengancam dunia dengan depresi. Jika nasionalisme ekonomi tidak dikubur segera maka berbagai konsekuensinya akan menyusahkan.”
Perdebatan sengit terjadi antara Jerman dan Amerika mengenai solusi terbaik untuk masa depan perekonomian global. Angela Merkel kanselir Jerman dan mayoritas negara Eropa lainnya berpandangan, bahwa model pertumbuhan yang tidak berkelanjutan yang digunakan oleh Amerika Serikat, yaitu pertumbuhan yang dihidupkan oleh kredit dan utang, sesuai pendanaan pemerintah dengan menggunakan dana sebagai stimulus pertumbuhan, dianggap sebagai model pertumbuhan yang sudah usang.
Adapun pendekatan Eropa tampak pada perlunya kontrol terhadap tingkat defisit nasional pada setiap negara melalui langkah-langkah pengetatan atau penghematan. Kebijakan penghematan ini biasanya diambil jika ada ancaman, bahwa pemerintah tidak bisa membayar utang-utangnya. Ini adalah tujuan yang sangat spesifik dan berbeda dengan pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Amerika dengan stimulus pertumbuhan ini tidak mewujudkan hasil yang lebih baik. Stimulus pertumbuhan meniscayakan terjadinya peningkatan belanja pemerintah dengan memanfaatkan dana, yang bersumber dari utang luar negeri (seperti dari Cina), sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat; atau dana yang direkayasa oleh Bank Sentral dengan memasukkan angka ke dalam komputer.
Meski semuanya telah dilakukan, perekonomian global pada awal tahun 2013 tidak lebih baik dari kondisi perekonomian pada awal tahun 2012. Bahkan resesi besar (great recession) telah menelan beberapa negara yang berusaha menyelamatkan diri dari resesi tersebut. Laporan yang diterbitkan di awal tahun 2013 menyatakan kuatnya kemungkinan masuknya Inggris dalam resesi ekonomi yang berlipat ganda, sebagaimana negara-negara Eropa lainnya.
Akhirnya, hanya ada tiga kemungkinan yang bisa mengantarkan pada pemulihan ekonomi. Dari kemungkinan yang terendah hingga yang tertinggi. Pertama: resesi yang ada akan berubah menjadi depresi dan jatuhnya harga-harga. Ini akan menyebabkan jatuhnya harga utang, properti dan komoditas yang bisa menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam kemudahan membayar utang-utang itu. Kemungkinan ini sangat kecil, karena ekonomi kapitalis berdiri berdasarkan utang dan riba yang lahir dari utang. Jatuhnya harga utang “riba” tidak akan berlangsung panjang selama ekonomi kapitalis berdiri.
Kedua: Cina menyelamatkan (mem-bailout) negara-negara Barat. Perdagangan Cina memang sangat besar. Surplus neraca perdagangannya terkait dengan utang Amerika Serikat, Inggris dan berbagai zona Euro. Ini merupakan utang yang tidak berkelanjutan. Menyelamatkan Barat akan menjadi bagian dari kepentingan Cina. Itu artinya, Barat dipaksa untuk menerima kepemimpinan global Cina. Masalahnya di sini bukan pada apakah Barat mau menerima bailout seperti itu. Namun masalahnya, apakah Cina akan mengambil kebijakan seperti itu.
Ketiga: fajar Negara Khilafah bersinar dan sistem ekonomi Islam diterapkan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Negara Khilafah, tetapi juga negara-negara yang berhubungan dengan Negara Khilafah. Ini akan membuat krisis global seperti ini menjadi tidak ada lagi, atau berada pada kondisi yang bisa dikontrol.
Babak Akhir Kapitalisme
Tanda-tanda akan tumbangnya peradaban Barat Kapitalisme tampak dari krisis ekonomi tahun 2008 yang bahkan hingga kini belum juga berakhir. Celakanya (bagi AS tentunya) krisis ini terjadi di saat kondisi AS sendiri kritis, terutama setelah Invasi AS ke Irak dan Afganistan karena AS harus menanggung beban Perang Irak dan Afganistan yang tidak ringan. Memang, Perang Teluk I yang menelan biaya USD 61 miliar sebagian besarnya ditanggung bersama oleh Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Jerman, Korea Selatan dan Jepang; sementara AS hanya mengeluarkan USD 7 miliar dolar. Namun tidak dengan Invasi AS ke Irak dan Afganistan. Hanya dalam 18 bulan saja, AS harus mengeluarkan biaya lebih dari USD 200 miliar. Biaya itu harus dipikul oleh AS. 90% dari biaya tersebut diambil dari cadangan devisa AS. Karena itu defisit APBN AS tahun 2006 saja hampir mencapi USD 1 triliun.1
Karena itu, AS sendiri tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi krisis perekonomian 2008 ini. Krisis ini telah mendorong para pemikir Barat untuk mencari solusi, sampai ada yang mengatakan, “Kita harus membaca al-Quran, sebagai ganti Injil, agar kita bisa memahami apa yang menimpa bank-bank kita.”
Bahkan Paus Benektikus XVI, beberapa bulan setelah ucapannya yang menyerang Islam, akhirnya mengakui pentingnya mengadopsi metode Islam dalam melakukan pembiayaan tanpa bunga dan judi.2
Zbigniew Brzezinski mantan penasehat keamanan nasional AS, mengatakan, “Masyarakat yang tenggelam dalam syahwat (masyarakat AS) tidak akan mampu menyusun UU yang bermoral bagi dunia. Peradaban apapun yang tidak mampu mempersembahkan kepemimpinan bermoral pasti akan musnah.”3
Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel Huntington, bahwa peradaban Barat sedang menuju kehancuran. Penyebab utamanya adalah masalah moral hazard, budaya bunuh diri dan konflik politik. Dalam masalah moral hazard, Huntington menyoroti meningkatnya perilaku asosial seperti tindak kriminal, konsumsi narkoba dan kekerasan sosial; meningkatnya fenomena broken home, angka perceraian, anak-anak hasil zina, banyaknya remaja hamil di luar nikah, dan semakin merebaknya fenomena singgle parent. Khusus Amerika, kata Huntington, lebih parah lagi, telah mengalami penurunan modal sosial, lemahnya semangat belajar, kegiatan intelektual, hingga lemahnya etos kerja, dan meningkatnya pemujaan personal.4
Bukan hanya Huntington, banyak ahli kebijakan di AS yang memprediksi, bahwa AS akan hancur sebagaimana yang dialami Uni Soviet. Dalam bukunya, The Sorrows of Empire: Militarism, Secrecy and the End of the Republic, yang diterbitkan di New York tahun 2007, Chalmers Johnson mengemukakan prediksinya. Analisis ini juga banyak diamini oleh pakar yang lain.5 Yang perlu dicatat, bahwa bangkrutnya AS dan negara-negara Barat ini sekaligus mengakhiri era Kapitalisme dan demokrasi.
Dunia Menuju Khilafah
Ketika para pemikir, pemimpin dan pemuka agama di Barat mulai mencari akar masalah dan solusi dari krisis yang mendera mereka, meski tidak secara terbuka mereka jelas sekali mengakui, bahwa solusi itu ada pada Islam. Hanya saja, solusi Islam itu tidak bisa mereka adopsi sepotong-sepotong; sebagaimana ketika mereka menambal kebobrokan Kapitalisme dengan Sosialisme dalam bentuk Welfare State, atau Social Justice, dan sebagainya di era 50 an abad lalu.
Tentu, solusi itu benar-benar akan terwujud, jika Islam diadopsi oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan dalam sebuah institusi negara. Itulah Negara Khilafah. Negara Khilafah, dengan sistem ekonominya yang sempurna, adalah satu-satunya solusi yang dibutuhkan oleh dunia saat ini. Namun, Negara Khilafah ini akan mengakhiri kekuasaan Barat di dunia Islam sehingga. Karena itu Negara Khilafah ini menjadi monster yang sangat menakutkan mereka.
Pada saat yang sama, gelombang perubahan di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah, telah mengembalikan kesadaran umat Islam pada agama mereka, Islam. Sekaligus menyadarkan mereka, bahwa berbagai musibah yang menimpa mereka selama ini bersumber pada para penguasa boneka yang didukung oleh Barat. Mereka pun beramai-ramai menumbangkan rezim boneka itu; di mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain kemudian Suriah. Sayangnya, kesadaran umat Islam yang belum sempurna di beberapa wilayah itu telah berhasil dimanfaatkan oleh Barat, khususnya AS, Inggris, Prancis dan Rusia. Akibatnya, perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tersebut hanya berhasil mengganti boneka yang satu dengan boneka yang lain, sementara sistemnya tetap.
Namun, pada saat yang sama, Allah membuktikan kebenaran sabda Nabinya, “Ina-Llaha takaffala bi Syam wa ahlihi (Allah telah menjamin Syam dan penduduknya).” 6
Iya, ini tampak dari terus berkobarnya api Revolusi Syam hingga kini meski telah memasuki tahun ke-3. Selain itu, Revolusi Syam juga berbeda dengan Revolusi Mesir, Tunisia, Libya maupun Yaman. Revolusi Syam adalah Revolusi Islam, yang tidak hanya bertujuan menumbangkan Rezim Kufur, Bashar Assad, tetapi bertujuan untuk menegakkan Khilafah yang menerapkan sistem Islam.
Karena itu AS, Rusia, Cina dan negara-negara Barat lainnya, berikut para penguasa boneka di sekitarnya, seperti Iran, Irak, Turki, Mesir, Yordania, Libanon, Qatar dan Saudi saling bahu-membahu untuk membendung tegaknya Khilafah di Suriah. Mereka paham betul, bahwa “Uqru Dar al-Islam bi as-Syam (Pusat/ibukota Negara Islam ada di Syam).” 7
Jika ini terbukti, ini jelas akan menjadi mimpi buruk bagi mereka. Mimpi buruk itu terus menghantui mereka. Berbagai upaya pun mereka lakukan, mulai dari pembentukan Koalisi Nasional, Pemerintahan Transisi dan berbagai upaya lain untuk membendungnya. Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, semuanya gagal. Pada saat yang sama, hampir seluruh wilayah Suriah, termasuk Damaskus, telah berhasil dikuasai oleh para pejuang Islam yang mukhlis itu.
Maka dari itu, “Bukankah waktu Subuh itu telah dekat? (QS Hud [11]: 81),” tanya Allah. Iya, fajar Khilafah itu kini hampir tiba. Umat Islam kini pun menanti detik-detik berkumandangnya “Azan Fajar”: berdirinya Khilafah.
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ * بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Pada hari itulah, perasaan orang-orang Mukmin penuh sukacita akan pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4-5).
Catatan kaki:
1 Dr. ‘Abdul Hayyi Zallum, Amrika bi ‘Uyuni ‘Arabiyyah, al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr, Beirut, cet. I, 2007, hal. 320.
2 Majallah al-Wie, “Fi ‘Uyûn al-Gharb: al-Islâm, al-Khilâfah, Hizb ut-Tahrîr, Hadiyyah Majallati al-Wa’i, www.al-waie.org, hlm. 19.
3 Majallah al-Wie, Fi ‘Uyûn al-Gharb: al-Islâm, al-Khilâfah, Hizb ut-Tahrîr, Hadiyyah Majallati al-Wa’i, www.al-waie.org, hlm. 20.
4 Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Qalam, Kaliurang, DIY, cet. II, 2001, hlm. 603-604.
5 Dr. ‘Abdul Hayyi Zallum, Amrika bi ‘Uyuni ‘Arabiyyah, al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr, Beirut, cet. I, 2007, hlm. 316.
6 Al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, III/188.
7 Al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Fikr, Beirut, t.t, X/40; al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, XVII/ 99.