HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Wewenang Khalifah Mangadopsi Hukum Syariah

Pengantar

Khalifah adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak mengadopsi hukum syariah dan menetapkan konstitusi (legislasi). Bahkan hak Khalifah itu merupakan salah satu dari empat pilar yang menjadi rahasia kekuatan sistem pemerintahan dalam Islam: “Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah dan menetapkan konstitusi.” (An-Nabhani, Nizham al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 44).

Namun demikian, tidak berarti Khalifah bebas mengadopsi dan menetapkan apa saja sesuai dengan kehendak nafsunya. Ada batasan yang mengikat Khalifah dalam melakukan semua itu, yang jika dilanggar, adopsinya menjadi batal dan tidak lagi bernilai sebagai undang-undang yang mengikat semua rakyat. Saat demikian rakyat tidak wajib menaati undang-undang tersebut. Lalu apa batasan yang mengikat Khalifah dalam mengadopsi hukum syariah dan menetapkan konstitusi?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 37, yang berbunyi: “Dalam menetapkan hukum, Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah. Haram atas Khalifah menetapkan hukum yang tidak digali secara benar dari dalil-dalil syariah. Khalifah terikat dengan hukum-hukum yang dia tetapkan dan dengan metode istinbâth (penggalian hukum) yang dia gunakan. Khalifah tidak boleh menetapkan hukum yang digali melalui metode yang bertentangan dengan metode yang telah dia tetapkan, dan tidak boleh memberikan intruksi yang bertentangan dengan hukum-hukum yang telah dia tetapkan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 157).

Khalifah Terikat dengan Syariah

Dalam mengadopsi hukum dan menetapkan konstitusi, Khalifah terikat dengan syariah Islam. Apapun alasannya, Khalifah tidak boleh mengadopsi selain syariah Islam, seperti undang-undang Eropa, Amerika, Rusia dan lainnya, sebab selain syariah Islam adalah hukum-hukum kufur. Jika Khalifah mengadopsi selain syariah Islam, dan ia sadar bahwa yang dia adopsi itu bukan syariah Islam, serta menyakini kebaikannya, maka dengan itu ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw. (Lihat: QS al-Maidah [5] : 44).

Artinya, jika ia meyakini hukum yang dia adopsi, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam. Namun, apabila ia tidak meyakininya, dan ia mengambilnya karena melihatnya tidak bertentangan dengan Islam, seperti yang dilakukan para Khalifah Utsmani di akhir-akhir masa Kekhilafahannya, maka apa yang dilakukan mereka itu adalah haram, tidak sampai membuat mereka kafir, dan umat wajib mengoreksinya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 158; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 365).

Intinya, pengkafiran itu bagi siapa saja yang menghalalkan berhukum dengan selain yang Allah turunkan, mengingkari hukum Allah dengan hati, dan menolaknya dengan lisan. Tindakan seperti itulah yang menjadikan pelakunya kafir. Adapun siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka ia bersalah dan berdosa, abai dan fasik, serta akan disiksa karena ridha dengan hukum selain yang Allah turunkan (Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, hlm. 559).

Jika dalam pengadopsiannya terdapat syubhah ad-dalîl (dalil yang masih diperselisihkan), seperti orang yang menetapkan hukum tanpa memiliki dalil untuk kemaslahatan yang ia yakini, sedangkan dalam pengadopsiannya ia bersandar pada kaidah al-mashâlih al-mursalah (kemaslahatan universal), saddu adz-dzarâ’i’ (menutup pintu kerusakan), mâlât al-af’âl (akibat perbuatan), atau yang lainnya. Dalam hal ini, jika ia melihat semua itu sebagai kaidah syariah atau dalil syariah, maka ia tidak haram dan tidak menjadikan dirinya kafir, tetapi ia salah. Hukum yang dia gali adalah hukum syariah bagi seluruh kaum Muslim, serta wajib ditaati jika memang diadopsi oleh Khalifah, sebab ia merupakan hukum syariah yang memiliki syubhah ad-dalîl. Sekalipun ia salah dalam berdalil, ia statusnya seperti orang yang salah dalam menggali hukum dari dalil (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 158).

Kewajiban Khalifah mengadopsi syariah Islam saja ini merupakan perkara agama yang semua orang pasti tahu (ma’lûmun min ad-dîn bidh-dharûri). Pasalnya, keumuman dalil secara tegas mewajibkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Dari sisi konstitusi ada tiga alasan terkait hal ini. Pertama: Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim—Khalifah atau bukan—agar menjalankan semua aktivitasnya sesuai dengan syariah Islam. Allah SWT berfiman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan (QS an-Nisa’ [4] : 65).

Ayat ini menunjukkan tentang tiadanya iman dari orang yang berhukum pada konstitusi selain Islam dengan rela dan sadar. Lalu bagaimana dengan orang yang melegislasi konstitusi kufur dengan meyakini kebaikan dan kelebihannya dalam mengatasi berbagai persoalan hidup, kemudian mengharuskan masyarakat terikat dengannya serta mewajibkan mereka taat pada sesuatu yang dimurkai Allah?

Kemudian ada hadis penuturan Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian dari agama itu, maka sesuatu itu ditolak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam itu tertolak. Jadi, apabila Khalifah mengadopsi sesuatu selain syariah Islam, berati ia memaksa masyarakat dengan adopsinya itu untuk melakukan seuatu yang tidak ada nilainya di sisi Allah, karena amalnya tertolak. Tentu hal seperti ini haram dilakukan oleh seorang khalifah yang semua tindakan dan kebijakannya harus membawa kemaslahatan bagi rakyat, bukan sebaliknya, apalagi membawa rakyat pada kekufuran. Demikianlah sebagaimana kaidah fikih menyatakan:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan imam (pemimpin) terhadap rakyat disyaratkan memberikan kemaslahatan (Syahari, Idhâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, hlm.62).

Tentu sulit terbayangkan bahwa kemaslahatan dunia, apalagi kemaslahatan akhirat, akan dapat terwujudkan jika hukum dan konstitusi yang diadopsi Khalifah adalah hukum dan konstitusi selain syariah Islam.

Dengan demikian, Khalifah tidak boleh mengadopsi meski hanya satu hukum, selain dari syariah Islam. Jika ia melakukan itu, maka ia telah mengeluarkan sistem pemerintahan dari sistem Islam menjadi sistem pemerintahan kufur di antara sistem pemerintahan sekular (Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 365).

Kedua: baiat umat terhadap seorang khalifah mengharuskan khalifah terikat dengan syariah Islam. Sebab, baiat memang untuk mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah, yakni terikat dengan nash-nash syariah Islam. Oleh karena itu, Khalifah tidak boleh menyimpang dari apa yang terdapat dalam akad. Artinya, Khalifah tidak boleh mengadopsi selain syariah Islam. Jika Khalifah mengadopsi selain syariah Islam, dan meyakini kebenarannya, maka ia telah kafir; jika ia tidak meyakininya maka ia bermaksiat (Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 366).

Ketiga: Khalifah diangkat untuk menerapkan syariah Islam. Ia tidak boleh mengambil selain syariah Islam untuk diterapkan kepada kaum Muslim, sebab syariah melarang hal itu dengan tegas, hingga meniadakan keimanan dari orang yang berhukum dengan selain Islam. Artinya, Khalifah dalam mengadopsi hukum dan menetapkan konstitusi wajib terikat dengan syariah Islam saja. Apabila Khalifah menetapkan konstitusi dari selain syariah Islam, maka ia menjadi kafir jika meyakininya, dan bermaksiat jika tidak meyakininya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 158).

Khalifah Terikat dengan Metode Istinbâth

Sesungguhnya pemahaman terhadap hukum syariah akan berubah dan berbeda karena metode istinbâth (penggalian hukum). Apabila Khalifah seorang mujtahid dan telah menetapkan metode istinbâth untuk dirinya, lalu ia berpendapat bahwa ‘illat hukum yang dianggap sebagai ‘illat syariah adalah yang diambil dari nash-nash syariah, serta berpendapat bahwa maslahat (kepentingan) bukan sebagai ‘illat syariah, juga berpendapat bahwa mashâlih al-mursalah bukan dalil syariah, maka dengan semua ini Khalifah telah menetapkan metode istinbâth untuk dirinya. Karena itu, Khalifah wajib terikat dengan metode tersebut. Dengan demikian, Khalifah tidak boleh mengadopsi hukum yang dalilnya mashâlih al-mursalah, atau menggunakan qiyas yang illat-nya tidak diambil dari nash-nash syariah, sebab bagi dia hukum yang dia adopsi ini tidak dianggap sebagai hukum syariah, karena ia berpendapat yang dalilnya bukan dalil syariah. Dalam hal ini al-Qurafi berkata:

لِأَنَّ الْحَاكِمَ إِنْ كَانَ مُجْتَهِدًا فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَحْكُمَ إِلاَّ بِالرَّاجِحِ عِنْدَهُ

Sebab apabila hakim itu seorang mujtahid, ia tidak boleh menetapkan hukum kecuali dengan dalil yang menurut dirinya paling kuat (Al-Qurafi, Al-Ihkâm fi Tamyîzi al-Fatâwa ‘an al-Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdhi wa al-Imâm, hlm. 79).

Selama hukum itu tidak dianggap sebagai hukum syariah bagi Khalifah, maka hukum itu juga tidak dianggap sebagai hukum syariah bagi kaum Muslim. Dengan demikian jika Khalifah mengadopsinya maka seolah-olah ia mengadopsi hukum selain dari syariah Islam. Hal seperti itu haram dilakukan oleh Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 160; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 367).

Apabila Khalifah seorang mukallid atau mujtahid masalah, bukan mujtahid mutlak atau mujtahid mazhab, serta tidak memiliki metode istinbâth untuk dirinya, maka dalam mengadopsi hukum syariah dia mengikuti mujtahid yang dia ikuti, atau menurut ijtihadnya dalam suatu masalah, asalkan ia memiliki dalil atau syubhah ad-dalîl (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 160).

Khalifah Terikat dengan Hukum Yang Dia Adopsi

Hukum syariah yang diterapkan oleh Khalifah adalah hukum syariah bagi dirinya, bukan bagi yang lain, karena hukum syariah yang telah dia adopsi itulah yang digunakan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya, bukan hukum syariah yang lain. Apabila Khalifah telah menggali hukum syariah (ber-istinbâth), atau bertaklid terkait hukum syariah apapun, maka hukum syariah itu menjadi hukum Allah bagi dirinya, dan kaum Muslim terikat dengan hukum syariah yang telah dia adopsi itu. Oleh karena itu, Khalifah tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum yang telah dia adopsi. Sebabnya, kebijakan yang dia buat itu bukan hukum Allah bagi dirinya. Dengan demikian hukum itu bukan hukum syariah bagi dirinya yang wajib diikuti, selanjutnya juga bukan hukum syariah bagi kaum Muslim. Jadi, Khalifah tidak boleh mengeluarkan kebijakan apapun yang bertentangan dengan hukum syariah yang telah dia adopsi (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 159; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 369).

Dalam hal ini, sekalipun Khalifah satu-satunya yang memiliki hak mengadopsi hukum syariah dan menetapkan konstitusi, semua itu tidak akan menjadikan dirinya bertindak semaunya, berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan emosional sesaat. Sebab, ketentuan Pasal 37 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam ini telah membatasi hak Khalifah yang sangat besar dan luas tersebut. Apabila Khalifah melanggar batasan itu, maka adopsinya tidak lagi bernilai dan juga tidak lagi memiliki sifat konstitusi yang mengikat rakyat sehingga rakyat tidak wajib menaatinya. Pasalnya, kedaulatan (as-siyâdah) dalam sistem pemerintahan Islam ada di tangan syariah, bukan di tangan Khalifah. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []

Daftar Bacaan:

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2002.

Al-Qurafi, Syihabuddin Ahmad bin Idris, Al-Ihkâm fi Tamyîzi al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdhi wa al-Imâm, (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah), tanpa tahun.

Asy-Syahari, asy-Syaikh Abdullah bin Sa’id Muhammad Ubbadi al-Luhji al-Hadhrami, Idhâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (tanpa penerbit), Cetakan III, 1989.

Az-Zuhaili, Prof. DR. Wahbah, At-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr), Cetakan X, 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*