HTI

Ibrah (Al Waie)

Istiqamah

Ramadhan tinggal kenangan. Syawal datang menjelang. Suasana Idul Fitri kini menyertai. Peralihan bulan ini mengisyaratkan hal yang tidak sama bagi setiap Muslim. Adakalanya seorang Muslim tetap taat baik selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan. Ia tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT. Muslim yang lain ada yang biasa maksiat sebelum Ramadhan, taat saat Ramadhan, tetapi kembali maksiat pasca Ramadhan. Muslim yang lainnya lagi ada yang bahkan sebelum Ramadhan, selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan tetap “istiqamah” dalam kemaksiatan. Saat Ramadhan atau di luar Ramadhan, ia tak ada bedanya.

Yang terbaik tentu saja adalah yang selalu berupaya tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, saat Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Masalahnya, bersikap istiqamah tidaklah mudah. Selain karena tarikan hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, godaan setan juga tak pernah absen menghantam setiap orang.

*****

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dari Islam ini suatu ucapan yang mana aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelah engkau.” Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian beristiqamahlah!” (HR Ahmad).

Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi saw. ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 246).

Istiqamah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqamah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali.

Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nâzhirîn, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn juga berkata, “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan luzûm thâ’atilLâh, artinya tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.”

Lalu bagaimana agar kita bisa tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT? Beberapa hal mesti dilakukan. Pertama: Beriman secara benar dan lurus; menyatu antara keyakinan, ucapan dan tindakan (Lihat: QS Ibrahim [14]: 27).

Kedua: Mengkaji, menghayati dan mengamalkan seluruh isi al-Quran (Lihat: QS an-Nahl [16]: 102; QS al-Furqan [25]: 32).

Ketiga: Menjalankan segala amal dengan ikhlas dan selalu berusaha terikat dengan  syariah (QS al-Bayyinah [89]: 5).

Keempat: Banyak menjalankan amal-amal yang sunnah—seperti shalat malam, shaum sunnah, dll—selain tentu konsisten dalam menjalankan berbagai kewajiban.

Kelima: Membaca kisah-kisah orang shalih terdahulu sehingga bisa dijadikan teladan dalam beristiqamah. Dalam al-Quran banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dan tentu orang-orang Mukmin (Lihat: QS Hud [11]: 11). Contohnya kita bisa mengambil kisah tentang sikap istiqamah Nabi Ibrahim as. saat dibakar oleh para penentangnya (QS al-Anbiya’ [21]: 68-70). Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Akhir perkataan Ibrahim as. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api adalah, ‘HasbiyalLâhu wa ni’ma al-Wakîl (Cukuplah Allah sebagai Penolong dan sebaik-baik Tempat bersandar).’” (HR al-Bukhari).

Akhirnya, Ibrahim as. pun selamat.

Oleh karena itu, para salafush-shalih sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang shalih terdahulu untuk diambil sebagai teladan. Basyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan, “Betapa banyak orang-orang shalih yang telah wafat membuat hati menjadi hidup saat mengingat mereka.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, II /333).

Imam Abu Hanifah juga amat senang mempelajari kisah-kisah para ulama. Ia berkata,  “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fikih. Itu karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.(Al-Madkhal, I/164).

Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnu al-Mubarak biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnu al-Mubarak menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi saw.?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah,  I/438).

Maksudnya, Ibnu al-Mubarak tidak pernah merasa kesepian karena biasa sibuk mempelajari jalan hidup Nabi saw.

Keenam: Bergaul dengan orang-orang shalih. Allah SWT menyatakan dalam al-Quran bahwa salah satu sebab utama yang menguatkan para Sahabat adalah keberadaan Rasulullah saw. di tengah-tengah mereka. Allah SWT juga memerintahkan agar kita selalu bersama dengan orang-orang yang baik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 119).

Para ulama pun memiliki nasihat agar kita selalu dekat dengan orang shalih. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Pandangan seorang Mukmin kepada Mukmin yang lain akan mengkilapkan hati.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/435). Maksudnya, hanya dengan memandang orang shalih saja, hati seseorang bisa kembali tegar.

Ketujuh: Memperbanyak doa kepada Allah SWT agar diberi keistiqamahan. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 146-148; QS al-Baqarah [2]: 250; QS Ali Imran [3]: 8).

Doa yang paling sering Nabi saw. panjatkan adalah, “Ya Muqallib al-qulûb, tsabbit qalbî ‘alâ dînik (Duhai Zat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” (HR at-Tirmidzi).

Imam Hasan al-Bashri juga mengajari kita untuk banyak memohon keistiqamahan kepada Allah SWT dengan doa, “AlLâhumma Anta Rabbunâ, farzuqnâ al-istiqâmah (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, berilah kami keistiqamahan).” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 245).

*****

Alhasil, Ramadhan boleh saja tinggal kenangan. Namun, selayaknya kita tetap menjadi orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, termasuk dalam berdakwah demi memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*