Sejak zaman dulu sampai sekarang, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk menguasai Indonesia, terutama bangsa-bangsa Barat. Hal itu disebabkan karena geo ekonomi dan geopolitik Indonesia yang sangat strategis. Indonesia juga memiliki tanah yang sangat subur serta kekayaan alam berlimpah seperti minyak, gas, emas, uranium dan tembaga.
Sebaliknya, bangsa-bangsa Eropa rata-rata letaknya kurang strategis di jalur perdagangan dunia. Mereka juga tidak mempunyai sumberdaya alam yang dapat diandalkan.
Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia, Belandalah yang paling bernafsu menguasai Indonesia. Selama 340 tahun Belanda menjajah Indonesia. Namun jika dicermati lebih lanjut, masa penjajahan Belanda di Indonesia dapat dibagi dalam dua periode: periode tahun 1602 sampai 1799 dan periode tahun 1800 sampai 1942 (Wiharyanto, 2007). Periode pertama yaitu antara tahun 1602 sampai 1799, Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda. Persekutuan dagang itu dibentuk pada tahun 1602 dan merupakan hasil penyatuan atau merger beberapa serikat dagang di Belanda. Serikat dagang ini bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Adapun periode kedua, setelah adalah setelah VOC secara resmi dibubarkan dan dialihkan kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
VOC dan Perusahaan Multinasional
Pada masa itu, VOC diberi hak Istimewa (Hak Octroi) oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu:
1) Sebagai wakil Pemerintah Belanda di Asia;
2) Monopoli dagang di wilayah-wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika;
3) Memiliki angkatan perang dan membangun benteng pertahanan;
4) Hak menyatakan perang dan atau membuat perjanjian secara adil dengan penguasa pribumi;
5) Hak mengangkat pegawai;
6) Hak memungut pajak;
7) Hak melakukan pengadilan dan hak mencetak serta menyebarkan uang sendiri.
Sekarang, mirip dengan VOC, hak istimewa tersebut tampaknya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Beberapa perusahaan asing tersebut ketika akan berinvestasi, menteri luar negerinya didatangkan ke Indonesia untuk melakukan negosiasi.1 Indikasi ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asing tersebut benar-benar di-support oleh negara asalnya. Ada juga perusahaan asing di Indonesia yang mempunyai tentara bayaran.2 Terjadi pula kesenjangan gaji pribumi dengan ekspatriat atau bule.3
Pada masa VOC di Indonesia, beberapa kebijakan yang diberlakukan oleh VOC antara lain:
1) Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC;
2) Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
3) Ekstirpasi, yaitu hak VOC untuk menebang atau menggagalkan panen rempah-rempah agar tidak terjadi over produksi yang dapat menurunkan harga rempah-rempah;
4) Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam;
5) Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan menggunakan perahu Kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli dagang VOC dan menindak pelanggarnya.
Menurut Hariyono (2012), melalui sistem verlichte leveranties dan contingenten elit pribumi makin terjebak dalam sistem kolonial. Bila mereka berhasil mengumpulkan hasil bumi melebihi target, mereka akan mendapatkan hadiah yang lebih dikenal dengan istilah batig slot (saldo lebih). Kondisi tersebut menyebabkan ketergantungan elit pribumi terhadap Pemerintah Kolonial menjadi makin tinggi. Posisi para pejabat pribumi tidak ubahnya tengah bergeser menjadi komprador atau centeng.4
Bandingkan dengan perusahaan multinasional saat ini yang ada di Indonesia. Mirip dengan sistem verlichte leveranties dan contingenten, mekanisme penentuan harga minyak dan gas bumi yang berlaku di Indonesia mengabdi pada sistem pasar. Padahal pasar terindikasi dikuasai oleh perusahaan multinasional.5 Jika zaman dulu harga ditentukan oleh VOC secara langsung, kini harga ditentukan secara tidak langsung oleh perusahaan multinasional atas nama pasar bebas. Untuk memperlancar investasi pertambangan di Indonesia dengan sistem mirip contingenten pada masa VOC, beberapa oknum pejabat terindikasi mendapatkan “upeti” atau saham perusahaan multinasional tersebut.6
Pada masa VOC para penguasa pribumi (raja, sultan dan semisalnya) tidak lagi menjadi penguasa utama. Mereka bukan lagi penguasa yang berdaulat dan mempunyai kewenangan mutlak (Hariyono, 2012). Adapun ara bupati dan pejabat di bawahnya masih mendapat kebebasan mempertahankan posisinya sebagai penguasa selama mereka dianggap tidak membahayakan VOC atau Pemerintah Kolonial. Kekuasaan dan kewenangan mereka berjalan di daerah atas nama VOC atau atas nama Pemerintah Kolonial Belanda. Sistem indirect rule berhasil menjerat penguasa pribumi sebagai agen kekuasaan asing. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah makin kuatnya elit zalim dan tidak mengakar pada rakyat namun patuh pada kekuasaan asing.7
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Beberapa kasus menunjukkan bagaimana Pemerintahan Indonesia dipertanyakan kedaulatannya ketika dua menterinya ditolak kedatangannya di sebuah pertambangan untuk mengecek kecelakaan yang diduga mengakibatkan meninggalnya belasan pekerja di sana.8
Pada masa VOC, para elit pribumi dan bawahannya cenderung menghamba kepada para pejabat kolonial Belanda yang diperlakukan sebagai kelompok superior. Proses dominasi dan hegemoni kekuasaan terhadap penguasa pribumi berlangsung secara efektif. Rasa rendah diri/inferior di kalangan pribumi terhadap mereka yang berkulit putih makin mendominasi cara pandang budaya pribumi (Sutherland, 1983).
Jika kembali ke masa sekarang, indikasi inferior para pejabat negara dan pandangan superior terhadap negara Barat terlihat dari rasa bangga mendapatkan penghargaan demokrasi dan Indonesia dielu-elukan di luar negeri. Ironinya, kemiskinan terjadi dimana-mana, kesenjangan kekayaan dan kesejahteraan rakyat dengan pejabat kian menganga, dan lain-lain. Seolah-olah, kondisi di dalam carut-marut tidak masalah, yang penting baik di mata asing.
Dengan jebakan utang luar negeri berbunga dan kurs dolar, Indonesia merasa rendah diri. Para para donor (pemberi utang) dipandang superior. Akibtanya, ketika mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, misalnya, maka dengan lancar UU tersebut diasahkan. Akibat selanjutnya, pihak asing makin menguasai perekonomian Indonesia. Padahal UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik. Perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot dan lainnya makin mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, konstribusi SDA Migas dan Non-Migas terhadap APBN makin lama makin kecil.
Di sisi lain, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon dan BBM. Lihatlah, Indosat dijual, PLN diprivatisasi, perusahaan air minum didominasi asing, pendidikan asing mulai bertebaran di Indonesia, SPBU asing mulai dibangun di banyak tempat.9
Pangkal Penjajahan
Dari uraian tersebut, muncul pertanyaan: mengapa imperialisme masih terus bercokol di Indonesia? Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, memberikan jawaban yang cemerlang dalam kitab Nida‘ al-Har. Kata beliau, “Sesungguhnya umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama: penguasa mereka menjadi centeng kafir penjajah. Kedua: di tengah mereka diterapkan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, yaitu sistem kufur.”
Pasca runtuhnya Khilafah, sebagian besar Dunia Islam mengalami penjajahan kolonial secara langsung. Negara-negara penjajah mengirim pasukannya secara langsung. Penjajahan model langsung seperti ini dianggap tidak efektif. Keberadaan musuh yang nyata di depan mata, perlawanan dari umat relatif lebih mudah digerakkan, ditambah dengan biaya pendudukan langsung yang mahal dengan risiko yang tinggi.
Barat lalu mengganti strategi penjajahan dengan cara memberikan kemerdekaan semu dan mendudukkan para pengusa lokal yang merupakan agen-agen mereka di Dunia Islam.
Cengkeraman penjajah ini semakin kokoh melalui sistem kufur yang diterapkan atau tepatnya dipaksakan di Dunia Islam. Itulah sistem kapitalisme atau sosialisme dalam bentuk negara republik atau monarki tribal (kesukuan) atau keluargaan dan bentuk lainnya. Sistem kufur ini kemudian memberikan jalan bahkan melegalkan penjajahan atas Dunia Islam.
Sebagai contoh, penjajahan ekonomi menjadi mulus lewat perdagangan dan pasar bebas, kebebasan penanaman modal asing, rezim dolar yang merusak, pasar saham yang menjadi big casino, perbankan ribawi, privitasi yang merugikan rakyat dan mekanisme utang luar negeri yang menjerat. Di Indonesia, perampokan kekayaan alam dilegalkan lewat UU pro pemilik modal seperti UU Migas, UU Penanaman Modal dan UU pro pemilik modal lainnya.
Penjajahan politik menjadi kokoh lewat sistem demokrasi. Lewat prinsip utama kedaulatan di tangan rakyat, sistem demokrasi ini secara efektif digunakan untuk menentukan penguasa tertinggi yang dapat dikontrol oleh penjajah. Bisa disebut, siapapun penguasa yang lahir lewat proses demokrasi ini bisa lulus dengan catatan: mendapat keridhaan dari penjajah.
Sistem demokrasi pun secara efektif menjauhkan umat Islam dari penerapan syariah Islam secara kaffah yang mensyaratkan kedaulatan di tangan syariah. Prinsip ini berbeda seratus persen dengan demokrasi yang menyerahkan kedaulatan kepada manusia yang mengatasnamakan rakyat.
Kemerdekaan yang harus diperjuangkan pada era modern ini adalah kemerdekaan dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah SWT. Jika seorang manusia masih dicekam ketakutan kepada sesama manusia, atau makhluk lain, bisakah ia disebut merdeka? Padahal manusia sama derajatnya di sisi Allah SWT. Yang membedakan hanyalah ketakwaan-nya (QS al-Hujurat [49]: 13).
Kemerdekaan berakidah ini tentu saja berimplikasi pada kemerdekaan menjalankan syariah. Jika Islam hendak dilaksanakan secara kaffah tetapi justru dihalangi dan dibatasi, sesungguhnya kemerdekaan hakiki belum kita peroleh.
Nyatalah, negeri ini masih belum merdeka secara hakiki. Tak lain karena negeri ini berpaling dari petunjuk Allah SWT yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah; berpaling dari sistem Islam. Sebaliknya, negeri ini mengambil sistem sekular kapitalis demokrasi sebagai petunjuk dan sistem untuk mengatur kehidupan. Akibatnya, berbagai bentuk kerusakan (fasad) melanda negeri ini. Negeri ini pun tak bisa lepas dari penjajahan, eksploitasi dan kontrol dari penjajah (Lihat: QS ar-Rum [30]: 41).
Dengan kembali merujuk pada al-Quran, tidak lain dengan jalan menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) secara total dalam sistem Islam, Khilafah ar-Rasyidah, niscaya kerahmatan akan menjadi riil dan kemerdekaan yang hakiki akan terwujud.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Addin Salim; Lajnah Khusus Intelektual HTI-Soloraya]
Catatan kaki:
1 http://news.liputan6.com/read/119284/drajad-wibowo-cepu-upeti-untuk-amerika-serikat
2 http://finance.detik.com/read/2012/03/12/121448/1864486/4/bos-freeport-curhat-terpaksa-sewa-tentara-asing
3 http://economy.okezone.com/read/2008/11/30/277/169181/pembatasan-gaji-dolar-as-perkuat-nilai-tukar-rupiah dan http://suaraguru.wordpress.com/2011/08/09/renegosiasi-kontrak-karya-pt-freeport-indonesia/
4 Hariyono. 2012. Pola Demokrasi yang Dikembangkan Pendiri Bangsa. Jurnal Paramita Vol. 22, No.2 – Juli 2012: 131-248
5 http://m.pikiran-rakyat.com/node/196483
6 http://www.investor.co.id/home/konflik-freeport/31414, http://groups.yahoo.com/group/KKN-Watch/message/569, http://fahrizan.wordpress.com/, http://m.kaskus.co.id/post/51a82bef38cb178c6e000011, http://mdk.nothingbuthost.com/component/content/article/87-kajian-utama/159-membongkar-patgulipat-pertambangan
7 Kahin, G. Mc.T & Kahin, S. 1995. Foreign Policy as Subversive. Ithaca: Cornell University
8 http://jogja.tribunnews.com/2013/05/21/memalukan-kehadiran-dua-menteri-sby-ke-freeport-ditolak/
9 http://hizb-indonesia.info/2008/01/04/asing-makin-menguasai-kita/