HTI

Seputar Khilafah

Khalifah Tunduk Pada Syariah

Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari).

Hadis ini memberikan kepada Imam (Khalifah) hak untuk mengatur urusan-urusan rakyat secara mutlak tanpa batasan apapun. Untuk memudahkan Khalifah dalam menjalankan tanggung jawabnya yang begitu besar, Khalifah diberi kewenangan (otoritas) mutlak untuk mengatur urusan-urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Namun, sejauhmana kewenangan mutlak itu diberikan kepada Khalifah?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 38, yang berbunyi:

Khalifah memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur urusan-urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Khalifah berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan negara dan pengaturan urusan rakyat. Khalifah tidak boleh menyalahi hukum syariah dengan alasan maslahat. Khalifah tidak boleh melarang sebuah keluarga memiliki lebih dari seorang anak dengan alasan minimnya bahan makanan, misalnya. Khalifah tidak boleh menetapkan harga kepada rakyat dengan dalih mencegah eksploitasi. Khalifah tidak boleh mengangkat orang kafir atau seorang perempuan sebagai Wali dengan alasan (memudahkan) pengaturan urusan rakyat atau terdapat kemaslahatan, atau tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan hukum syariah. Khalifah tidak boleh mengharamkan sesuatu yang mubah atau membolehkan sesuatu yang haram (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 160).

Terikat Syariah

Khalifah memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur urusan-urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Namun, semua urusan ini wajib dijalankan sesuai dengan syariah. Dengan demikian, kewenangan itu—meski diberikan secara mutlak kepada Khalifah—dibatasi oleh syariah. Khalifah, misalnya, diberi kewenangan untuk mengangkat para wali yang ia kehendaki. Namun, Khalifah tidak boleh mengangkat orang kafir, anak-anak atau perempuan menjadi wali. Syariah melarang itu. Ini karena wali itu termasuk hakim (penguasa), seperti halnya Mu’âwin at-Tafwîdh (pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan). Syaratnya sama seperti syarat Khalifah, yaitu: laki-laki, merdeka, Muslim, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan (An-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 170; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 59).

Di antara dalil larangan itu adalah sabda Rasulullah saw.:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).

Hadis riwayat al-Bukhari ini menunjukkan bahwa syariah melarang perempuan menjabat sebagai penguasa. Sekalipun hadis itu datang dalam bentuk khabar (berita), karena disertai dengan celaan, ini merupakan bentuk larangan. Adapun penggunaan huruf “lan” yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bîd) ini benar-benar telah menafikan keberuntungan dari mereka yang menjadikan perempuan sebagai penguasa. Ini merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat tegas. Dengan demikian haram hukumnya perempuan menjabat sebagai penguasa, termasuk menjadi wali (Al-Khalidi, Qawâid Nizâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 296).

Khalifah juga diberi kewenangan secara mutlak untuk memberi izin pembukaan kedutaan bagi negara-negara kafir di dalam negeri yang berada dalam kekuasaannya. Namun, Khalifah tidak boleh memberi izin pembukaan kedutaan bagi negara kafir yang hendak menjadikan kedutaannya sebagai alat untuk mengontrol negeri Islam. Ketentuan syariah melarang hal itu. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ulama telah menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan menjual budak Muslim kepada orang kafir (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, 2/386). Artinya, haram menjadikan seorang Muslim, sekalipun ia budak, ada di bawah kekuasaan orang kafir. Dengan demikian, pemberian izin untuk pembukaan kedutaan bagi negara kafir untuk mengontrol negeri Islam adalah haram, sebab itu merupakan jalan untuk menguasai kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 162).

Mewajibkan Perkara Mubah

Dengan kewenangan (otoritas) mutlak Khalifah untuk mengatur urusan-urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya, Khalifah berhak mewajibkan perkara mubah, dan memerintahkan semua rakyat untuk taat. Dalam perkara seperti ini, wajib bagi seluruh rakyat untuk taat. Rasulullah saw. bersabda:

وَمَنْ يُطِعْ الأَمِير فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

Siapa saja yang menaati amir (pemimpin), ia benar-benar telah menaati aku. Siapa saja yang membangkang kepada amir (pemimpin), ia benar-benar telah membangkang kepada diriku (HR al-Bukhari).

Hadis ini dengan tegas memerintahkan semua orang untuk taat kepada amir (pemimpin). Taat kepada amir sama dengan taat kepada Rasulullah saw., sedangkan taat kepada Rasulullah adalah wajib. Jadi, taat kepada amir hukumnya adalah wajib.

Namun, Khalifah tidak dapat mewajibkan semua perkara mubah dengan kewenangan mutlak yang dia miliki. Ada dua ketentuan saat Khalifah dapat mewajibkan dan mengharamkan perkara mubah. Pertama: perkara itu hanya mubah bagi Khalifah saja, tidak mubah bagi semua orang. Misalnya, syariah Islam telah memberi Khalifah hak untuk mengatur semua urusan Baitul Mal (Kas Negara) dengan pendapat dan ijtihadnya, serta memerintahkan semua orang untuk menaatinya. Dalam hal ini Khalifah berhak melegislasi undang-undang keuangan untuk Baitul Mal. Menaati undang-undang ini hukumnya wajib. Khalifah juga berhak mengatur semua departemen yang melayani kepentingan rakyat dengan pendapat dan ijtihadnya;  mengangkat orang yang akan mengelola dan mengerjakannya dengan pendapat dan ijtihadnya; memerintahkan semua orang untuk menaati hal itu. Karena itu Khalifah berhak melegislasi undang-undang pengelolaan departemen dan undang-undang kepegawaian serta memerintahkan semua orang untuk menaatinya. Begitulah, terkait setiap perkara yang menurut syariah Islam berada dalam kewenangan Khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya, maka Khalifah berhak membuat undang-undang, dan menaatinya adalah wajib bagi semua rakyat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 162).

Ada yang mengatakan bahwa undang-undang seperti itu adalah uslûb (cara atau tehnik). Adapun uslûb termasuk perkara mubah sehingga mubah bagi semua orang. Jadi, Khalifah tidak berhak menetapkan uslûb tertentu dan mewajibkannya. Sebab, hal itu sama dengan mewajibkan beramal dengan perkara mubah. Padahal mewajibkan beramal dengan perkara mubah sama dengan mengubah hukum mubah menjadi fardhu (wajib); melarang orang lain dari sebuah uslûb sama dengan mengubah hukum mubah menjadi haram. Tentu semua ini tidak boleh dilakukan oleh Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 163).

Pendapat di atas tidak benar. Sebab, yang mubah itu adalah uslûb (cara atau tehnik) dilihat dari sisi zatnya sebagai uslûb. Adapun uslûb pengelolaan Baitul Mal, maka itu perkara mubah bagi Khalifah, bukan mubah bagi semua orang. Juga, uslûb pengelolaan departemen yang melayani kepentingan rakyat adalah mubah bagi Khalifah, bukan mubah bagi semua orang. Oleh karena itu, mewajibkan beramal dengan perkara mubah yang telah dipilih oleh Khalifah, tidak menjadikan hukum mubah menjadi fardhu (wajib), namun menjadikan taat kepada Khalifah itu yang wajib dalam perkara dimana syariah telah memberi kewenangan kepada Khalifah dalam mengatur suatu urusan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Sebab, sekalipun perkata itu mubah, Khalifah telah mewajibkan pelaksanaannya dan melarang yang lainnya. Jadi, ini bukan persoalan Khalifah mengubah status hukum mubah menjadi fardhu (wajib), atau mengubah status hukum mubah menjadi haram, melainkan persoalan wajibnya taat kepada ketetapan Khalifah dalam perkara dimana Khaifah diberi kewenangan untuk mengaturnya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 163).

Artinya, Khalifah tidak boleh mewajibkan setiap perkara mubah, kecuali perkara yang mubah bagi Khalifah saja, dalam kapasitasnya sebagai khalifah. Adapun hukum-hukum syariah yang lain, seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah untuk semua orang, maka Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah tersebut, dan sama sekali tidak boleh menyimpang darinya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan dari agama, maka sesuatu itu ditolak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini umum mencakup Khalifah dan yang lainnya. Artinya, siapa saja yang membuat perkara baru dalam urusan agama, yang tidak sesuai dengan syariah, maka itu bid’ah, yang pelakunya berdosa dan amalnya ditolak, baik ia Khalifah maupun yang lainnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 164; an-Nawawi, Syarah Matan al-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 53).

Misalnya, Khalifah mewajibkan kepada rakyat model pakaian atau rumah tertentu dan melarang model lain yang itu mubah bagi semua orang, maka ini tidak boleh dilakukan oleh Khalifah, sebab hal-hal tersebut mubah bagi semua orang. Jika Khalifah melakukannya, ini sama dengan Khalifah mengubah status hukum mubah menjadi wajib atau haram. Rakyat tidak wajib menaatinya. Rakyat bisa mengajukan persoalan itu ke Mahkamah Mazalim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 164).

Kedua: menyebabkan dharar (bahaya). Pada dasarnya Khalifah tidak boleh mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, meski dengan dalih untuk mengurusi urusan umat. Akan tetapi, Khalifah boleh melarang sesuatu tertentu yang memang dibolehkan oleh syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Dalam hal ini, Khalifah boleh mengikat (mewajibkan) rakyat dengan pendapat tertentu atau ijtihad tertentu, dan rakyat wajib taat. Misalnya, Khalifah tidak boleh mengharamkan penjualan bulu domba (kain wol) ke luar negeri dengan dalih mengurusi urusan umat, sebab jual-beli mubah bagi semua orang, sehingga Khalifah tidak boleh mengharamkan atau melarangnya. Namun, apabila penjualan bulu domba, senjata atau sesuatu apapun dari sesuatu yang mubah itu dipastikan menyebabkan dharar (bahaya), maka sesuatu yang menyebabkan dharar itu saja yang statusnya menjadi haram. Adapun hukum sesuatu secara umum tetap mubah. Hal ini didasarkan pada kaidah yang diambil dari larangan Rasulullah saw. kepada tentara dari meminum air di sumur Tsamud (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 165).

Oleh karena itu, Khalifah boleh mengharamkan sesuatu yang mubah jika sesuatu itu dipastikan menyebabkan dharar (bahaya), dengan membuat undang-undang atau peraturan yang mengharamkan atau melarangnya.

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan:

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Ibnu Katsir, Abu Fida’ Ismail bin Umar al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, (Dar Thayyibah), Cetakan II, Riyad. 1999.

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

An-Nawawi, al-Imam Yahya bin Syarifuddin, Syarah Matan al-Arba’în an-Nawawiyah, (Beirut: Darul Fikr), tanpa tahun.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*