(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-39)
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kekhilafan, kealfaan dan apapun yang dipaksakan atas mereka (HR Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ibn Abbas oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibn Mâjah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ dan Ibn Hibban dalam Shahîh Ibn Hibbân yang dikomentari oleh Syuaib al-Arnauth: sanadnya sahih menurut syarat al-Bukhari. Ibn Majah juga meriwayatkan hadis ini dari jalur Abu Dzar al-Ghifari. Al-Hakim berkomentar: hadis ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak mengeluarkannya. Al-Hafizh adz-Dzahabi dalam At-Talkhîsh berkomentar: menurut syarat al-Bukhari dan Muslim. Imam an-Nawawi dalam Al-Arba’un juga berkomentar: hadis ini hasan diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Baihaqi dan yang lain.
Hadis ini menyatakan bahwa Allah SWT memaafkan—yakni tidak menghukum kemaksiatan—hamba karena khilaf (al-khatha’), lupa (an-nisyân) dan apapun yang dipaksakan. Tentang al-khatha’, Allah SWT juga berfirman:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
Tidaklah kamu berdosa atas kekhilafahan apa pun yang kalian perbuat, tetapi (yang berdosa itu) apa saja yang disengaja oleh hati kalian (QS al-Ahzab [33]: 5).
Namun di sisi lain, Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa kemaksiatan karena khilafah (khatha’) dan lupa (nisyan) tetap dijatuhi hukuman. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Ini adalah doa agar Allah SWT tidak menghukum karena lupa atau khilaf. Ini artinya, lupa atau khilaf itu berakibat dosa dan kita memohon agar tidak dijatuhi sanksi karena lupa atau khilaf itu.
Jadi hadis dan QS al-Ahzab ayat 5 di atas menyatakan tidak ada dosa atas kemaksiatan karena lupa atau khilaf. Adapun QS al-Baqarah ayat 286 di atas mengisyaratkan adanya sanksi atas kemaksiatan karena lupa atau khilaf. Lalu mana an-nisyân atau al-khatha’ yang dimaafkan dan mana yang dipertanggung-jawabkan?
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah memberi penjelasan di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ketika menafsirkan QS al-Baqarah ayat 286 tersebut:
An-Nisyân (lupa) itu asalnya adalah meninggalkan perbuatan tanpa kesengajaan. Jadi yang dimaksudkan di sini adalah menyalahi hukum syariah tanpa sengaja, baik melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban. Ini ada dua bentuk. Pertama: yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari (pilihan). Misalnya, orang yang makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, atau orang yang karena sakit atau usia tua sehingga melupakan sebagian hapalan al-Qurannya. Perbuatan ini dan semisalnya dimaafkan oleh Allah dan tidak berdosa. Kedua: yang ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari. Misalnya, orang yang menyibukkan diri dengan suatu perbuatan hingga melupakan shalat dan tidak memperhatikan waktunya; lalu ia baru ingat ketika waktunya sudah lewat. Contoh lain, orang yang tidak menaruh perhatian pada al-Quran lalu melupakan sebagian hapalannya, bukan karena sakit atau usia tua; atau orang yang menyibukkan diri dengan berbagai urusannya hingga melupakan janji-janjinya alias tidak mengingatnya; dan semisalnya. Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya berakibat dosa dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Perbuatan karena khilaf (al-khatha’) juga ada dua jenis. Pertama: yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari menyengaja kesalahan itu. Misal: orang yang sudah berusaha serius menentukan matahari sudah tenggelam, sementara dia tidak punya jam, lalu dia berbuka, dan ternyata matahari belum terbenam; atau orang yang tak tahu arah, lalu dia berusaha sungguh-sungguh menentukan arah kiblat, kemudian dia shalat dan ternyata dia tidak menghadap ke arah kiblat; atau orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah dengan benar karena kelemahan akalnya atau masalah lisannya sehingga ia melafalkannya secara salah; atau orang yang pada umumnya tidak mengetahui hukum syariah, lalu dia melakukan perbuatan tidak sesuai syariah karena ketidaktahuannya seperti orang baduwi pada masa Rasul saw. yang mendoakan orang yang bersin, sementara dia sedang shalat, karena dia tidak tahu bahwa itu tidak boleh dan membatalkan shalat, ia tidak tahu karena lokasinya di kampung dan tidak ada yang mengajarinya; dan semisalnya. Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya termasuk yang dimaafkan oleh Allah.
Kedua: orang yang sengaja melakukan perbuatan keliru meninggalkan yang shawab, yakni melakukan perbuatan menyalahi syariah. Misal: orang yang sengaja berbuka pada siang Ramadhan dan dia tahu; atau orang yang tidak mempelajari hukum syariah yang menjadi tuntutan perbuatan atau kehidupan sehari-harinya, sementara dia mampu mempelajarinya lalu dia melakukan kemaksiatan akibat ketidaktahuan yang disengajanya itu; atau perbuatan semisalnya. Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya tetap berakibat dosa dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Adapun tentang perbuatan yang dipaksakan, Allah SWT berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
Siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa) (QS an-Nahl [16]: 106).
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang dipaksa kafir, sementara hatinya tetap tenteram dalam keimanan, ia dimaafkan dan tidak berdosa. Jika demikian, perbuatan maksiat yang lebih rendah dari kekufuran, jika dipaksakan, tentu saja tidak berdosa dan dimaafkan. Misal: diancam bunuh jika tidak melakukannya; dipaksa dengan kekuatan; dipaksa secara fisik seperti wanita yang diperkosa, dan dia tidak kuasa menolak atau menghindarinya, maka dia tidak berdosa dan namanya tetap bersih.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]