Meraih sukses pada bulan Ramadhan, yakni meningkatkan takwa, perlu perjuangan tersendiri. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Imam ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah, “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Firman Allah SWT ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman. Dengan demikian Allah SWT pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu apakah iman itu? Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan (Lihat: QS Yusuf [12]: 17).
Secara gamblang Rasulullah saw. menjelaskan makna iman dalam sebuah hadis:
اْلإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِه
Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kiamat, qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim).
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang beriman. Orang yang enggan beribadah hanya kepada Allah, atau menyembah selain kepada Allah, bukanlah orang yang beriman. Orang yang enggan mengimani Muhammad saw. sebagai Rasulullah, tidak mempercayai keberadaan para malaikat, tidak percaya akan kedatangan Hari Kiamat dan tidak mempercayai takdir juga bukan orang beriman. Orang yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, misalnya menghalalkan zina atau menolak penerapan Islam secara kaffah, adalah kafir. Orang yang mengingkari atau ragu terhadap perkara yang pasti (qath’i) juga kafir, sama saja apakah dalam perkara akidah atau syariah.
Iman menuntut konsekuensi, tidak hanya ucapan di mulut. Allah SWT berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa’ [4]: 65).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Tidaklah patut laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah benar-benar tersesat (QS al-Ahzab [33]: 36).
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, membayar zakat dan amalan-amalan lahiriah lainnya; atau enggan terikat dengan syariah Allah SWT yang manapun. Orang Mukmin itu harus terikat dengan Islam secara keseluruhan tanpa kecuali. Dia wajib menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji serta jihad. Di wajib terikat dengan syariah dalam hal makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dia juga wajib terikat dengan syariah dalam hal muamalah seperti masalah politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, kesehatan serta bagaimana mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
Allah SWT pun berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, “Sebagaimana Allah SWT telah menyatakan kewajiban hukum qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah SWT juga menyatakan kewajiban puasa atas mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai kewajibannya.”
Namun, ada sebagaian Muslim saat ini yang mengeluhkan bahwa dari hari ke hari Ramadhan makin terasa hambar, seperti makan sayur tanpa garam. Tidak ada ruh. Tidak ada spirit. Hanya menjalani rutinitas tahunan: menjalankan ibadah puasa, shalat terawih, membaca al-Quran dan lain-lain. Tak ubahnya seperti kegiatan pergi-pulang ke kantor. Tak terasa nikmat lagi menjalani Ramadhan. Ramadhan pun berakhir dengan gempita Idul Fitri, kemudian semua aktivitas kembali seperti semula.
Kapitalisme sekular juga membuat umat Islam salah dalam berpikir; menganggap Islam hanya mengatur urusan ibadah mahdhah. Akibatnya, umat merasa perlu bertanya tentang aturan Islam hanya jika berkaitan dengan ibadah. Ketika membahas persoalan dunia seperti politik dan ekonomi, mereka merasa tidak perlu bertanya tentang dalil-dalinya. Mereka bersemangat berpuasa, tetapi tidak peduli dengan upaya perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Mereka tidak peduli dengan fakta negara dan pemerintahan yang mencampakkan syariah Islam dan mengagungkan demokrasi. Mereka bahkan menganggap bahwa semua itu sudah benar. Jika demikian, hakikatnya orang seperti ini telah gagal dalam berpuasa sejak awal karena akidahnya yang tidak benar.
Sekularisme telah merusak dan menghancurkan keislaman kita, termasuk ibadah puasa kita. Mayoritas umat Islam yang awam menjalani saja rutinitas Ramadhan tanpa memahami apa yang terjadi. Mereka kebanyakan gagal meraih takwa kecuali sebentar saja. Sebagian umat Islam lainnya malah menjadi penganut sekularisme. Mereka meyakini sekularisme sebagaimana meyakini Islam. Bahkan mereka menjadi propagandis dan pembela sekularisme. Lalu apa makna puasa mereka? Tidak ada artinya. Mereka seungguh-nya bukan orang yang beriman. Karena itu, pasti mereka tidak dapat meraih takwa. Kondisi inilah yang menjadi problem umat Islam sedunia saat ini.
Karena itu, perubahan pemikiran umat terkait bagaimana mereka harus meyakini Islam apa adanya secara totalitas tanpa dicampur dengan isme-isme lain menjadi syarat mutlak teraihnya spirit Ramadhan, yakni takwa. Baru kemudian kita berbicara tentang bagaimana amaliah kita pada bulan Ramadhan.
Amaliah Ramadhan kita, kita khususnya puasa, wajib memenuhi dua syarat: ikhlas dan shawab. Ikhlas bermmakna, kita menjalani puasa hanya karena Allah SWT; hanya mengharap ridha dan pahala-Nya. Shawab bermakna, kita berpuasa dengan mengikuti sunnah Rasulullah saw.; yaitu sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi saw. Demikianlah seharusnya kita berpuasa pada bulan Ramadhan, termasuk di dalamnya qiyamul lail, bersedekah, membaca al-Quran dan sebagainya. Dengan itu hati kita akan semakin dekat kepada Allah SWT, bahkan hingga Dia mencintai kita. Inilah inti taqarrub ilaLlah, sebagaimana dalam sabda Nabi saw. dalam hadis qudsi riwayat Imam al-Bukhari.
Memelihara Takwa
Allah SWT berfirman di ujung ayat QS al-Baqarah [2]: 183: la’allakum tattaqûn. Imam ath-Thabari menafsirkan ayat ini, “Maksudnya adalah agar kalian bertakwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjimak dengan wanita ketika berpuasa.”
Imam al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya, “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa dengan sebab berpuasa. Puasa adalah wasilah menuju takwa karena dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jimak.”
Dalam Tafsir Jalalayn dijelaskan dengan ringkas, “Maksudnya, agar kalian bertakwa dari maksiat. Sebab, puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat.”
Dalam bahasa Arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Adapun secara istilah, definisi takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin Habib al-’Anazi:
اَلْعَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، خَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan-Nya, meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya (dalil) dan takut terhadap azab-Nya.”
Demikianlah sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan pahala dari Allah SWT; bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Orang bertakwa juga senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia selalu mengingat ancaman-Nya yang pedih. Dari sini kita tahu bahwa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki ilmu tentang al-Quran dan as-Sunnah.
Orang yang bertakwa tidak akan berani memilih-milih dan memilah-milah perintah dan larangan Allah SWT. Semua perintah dan larangan-Nya akan diperhatikan secara seksama agar tidak ada yang dilanggar. Semua ajaran Islam diyakini dan ditaati tanpa bersikap mendua, termasuk kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan Khilafah merupakan tajul furudh (mahkota kewajiban) karena begitu banyak kewajiban syariah yang bergantung pasda keberadaan Khilafah. Karena itu orang yang bertakwa pasti sangat bersemangat memperjuangkan Khilafah. Apalagi dengan raihan spirit Ramadhan, yakni dengan peningkatan derajat ketakwaan. Inilah bahan bakar untuk berjuang yang tak akan padam.
Sudah sepantasnya umat Islam seluruhnya berlomba-lomba untuk berjuang menegakkan Khilafah sebagai bukti ketakwaannya kepada Allah SWT. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisi-Nya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ramadhan dan Penegakkan Khilafah
Umat Islam wajib bersatu secara riil, bukan teoretis. Mereka harus bersatu dalam satu wilayah negara dengan satu akidah dan satu syariah di bawah satu pemimpin, yakni khalifah. Itulah Khilafah. Haram hukumnya ada dua negara bagi kaum Muslim sedunia. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا آخَرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang khalifah), lalu dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut serta fakta Khilafah Islamiyah yang berjalan selama 14 abad, Imam Taqiyyuddin an-Nabhani mendefinisikan Khilafah sebagai: kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, 2002: 34).
Abdurrahman al-Jazairi menjelaskan kesepakatan empat Imam Mazhab sebagai berikut, “Para imam (Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) rahimahumulLâh bersepakat bahwa umat Islam tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua orang imam (khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, V/308).
Dengan demikian, substansi dari ide Khilafah yang wajib diperjuangkan oleh umat Islam adalah perwujudan kehidupan Islam yang dicirikan oleh dua hal pokok. Pertama: kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah Islam dalam seluruh sendi kehidupan; baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara; menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muamalah serta ‘uqubat. Kedua: penyatuan kembali umat Islam yang kini bercerai-berai dalam lebih dari 50 negara ke dalam naungan Negara Khilafah Islamiyah.
Berjuang menegakkan Khilafah, selain merupakan perkara paling penting saat ini, juga menuntut pengorbanan besar. Para pejuangnya mestilah orang-orang yang siap mati. Hal ini hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, yang bertakwa, yang hanya berharap kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk.
Ramadhan berperan membentuk dan memperkokoh takwa. Ramadhan mestinya memperkuat kesanggupan kita untuk berjuang menegakkan Khilafah dan menanggung segala risikonya. Jika kita ingin dicintai oleh Allah SWT maka taqarrub dengan berjuang menegakkan Khilafah merupakan jalan yang taqarrub yang sangat mendekatkan kita kepada-Nya. WalLahu a’lam. [Abu Zaid; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]
Daftar Pustaka:
1 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, III/409.
2 Ibn Katsir, Tafsîr Qur’ân al-‘Azhîm, 1/497.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, II/272.
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, III/413.
5 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 1/196.
6 Jalalain, Tafsir al-Jalalayn, 1/189.
7 Siyar A’lam an-Nubala, VIII/175.