Setelah drama politik Sidang Paripurna DPR menyetujui kompensasi kenaikan BBM untuk rakyat miskin, akhirnya pada tanggal 20 Juni 2013 Pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM. Kebijakan ini sebenanrnya banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Hasil survey LSI menunjukkan, 79,21 persen rakyat tak setuju kenaikan harga BBM. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM, ternyata juga tak disetujui mayoritas pemilih Partai Demokrat, parpol yang paling ngotot menuntut pengurangan subsidi BBM. Mayoritas pemilih partai koalisi lainnya juga tak setuju harga BBM naik. Pemilih Partai Demokrat yang tak setuju sebanyak 77,56 persen; pemilih Partai Golkar 80,81 %; PPP 82,06 %; PAN 66,21 %; PKB 85,65 %; Gerindra 89,33 %; PKS 82,56 %; Hanura 85,88 % dan PDIP 88,69 % (Kompas, 24/6).
Pujian justru datang dari lembaga dunia ketika pertama kali Pemerintah menggulirkan isu kenaikan BBM awal tahun lalu. Dana Moneter Internasional (IMF) sudah menyatakan dukungannya atas rencana ini. Ketika harga BBM akhirnya benar-benar dinaikkan, lembaga internasional lainnya yakni Bank Dunia angkat suara dan juga mengapresiasi langkah Pemerintah memberikan dana kompensasi kepada warga miskin selepas kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Kebijakan kenaikan BBM ini melengkapi kebijakan Pemerintah di bidang energi yang tidak pro rakyat. Sebelumnya, Pemerintah bersama DPR sepakat untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk pelanggan dengan daya di atas 450-900 VA sebesar 15 persen yang dilakukan secara bertahap. Kebijakan Pemerintah menaikan BBM dan TDL merupakan kebijakan yang ironis di tengah sumberdaya energi yang begitu melimpah.
Qua Vadis Kedaulatan Energi?
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dari sisi sumberdaya energi primer baik yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak gas dan batu bara ataupun yang dapat diperbaharui seperti energi matahari, angin, panas bumi dan biomassa. Bahkan menurut IEA (2010) Indonesia merupakan negara produsen energi primer terbesar ke-8 di dunia di bawah Cina dan AS yang berada di posisi puncak.
Kondisi ini sempat mendapat perhatian dari berbagai media. Salah satunya Metro TV yang pernah menayangkan sarasehan anak negeri dengan tema, “Runtuhnya Kedaulatan Energi” atau dengan kata lain kedaulatan energi kita sedang terjajah. Ini bisa diketahui setidaknya dari beberapa indikator: pengelolaan, pemanfaatan dan pedapatan dari sektor energi.
1. Pengelolaan dan Pemanfaatan Energi
Meskipun Indonesia kaya akan sumber energi terbarukan yang lebih murah dan ramah lingkungan, penggunaan sumber energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara masih sangat dominan. Dari total konsumsi energi primer Indonesia, BBM masih sekitar 48 persen; gas alam dan LPG masih 21 persen.
Dari sisi produksi, sumber energi primer Indonesia didominasi oleh sektor swasta baik asing maupun domestik. Untuk migas, misalnya, porsi Pertamina yang merupakan wakil Pemerintah dalam pengelolaan migas sekitar 86 persen. Ini pun sudah termasuk kerjasama dengan sejumlah Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) swasta. Untuk batu bara, dominasi swasta jauh lebih besar. BUMN yang bergerak di sektor barubara hanyalah Bukit Asam.
Meskipun demikian, pengelolaan oleh swasta tidak berarti seluruhnya pendapatannya menjadi milik swasta. Untuk sektor migas, misalnya, Pemerintah menganut sistem PSC, yakni pendapatan swasta diberikan kesempatan yang sama dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Setiap hasil produksi dibagi berdasarkan skema tertentu berdasarkan lokasi, tingkat kesulitan, jumlah kandungan sumur dan sebagainya. Dari total produksi migas Indonesia tahun 2013, rata-rata bagi hasil tersebut adalah 56 untuk Pemerintah dan 44 persen untuk KKKS termasuk di dalamnya biaya pengolahan (cost recovery) sebesar 17 persen.1 Jatah yang menjadi hak KKKS diukur dengan satuan minyak perbarel dan harga yang ditentukan Pemerintah (ICP) berdasarkan harga internasional. Bagian tersebut selanjutnya menjadi hak mereka yang bebas dijual, termasuk diekspor ke luar negeri.
Oleh karena itu tidak heran jika pada saat yang sama KKKS mengekspor jatah mereka dan di sisi lain Pertamina justru mengimpor minyak mentah dari luar negeri yang tentu saja biaya menjadi lebih mahal. Hasil audit BPK juga menemukan bahwa pembelian minyak mentah dan BBM oleh Pertamina ditemukan banyak infisiensi seperti mark-up dan kongkalikong. Memang, ada kewajiban KKKS menyisihkan sebagian dari bagian mereka, namun jumlahnya maksimal 25 persen dari bagian mereka. Itu pun dibeli Pemerintah dengan harga internasional.
Lain halnya dengan produksi gas. Sebagian besar diikat dengan kontrak yang bersifat jangka panjang. Sejumlah produksi ladang gas di negeri ini lebih banyak diekspor ke mancanegara seperti ke Jepang, Korea Selatan dan AS. Dengan sistem kontrak tersebut, alokasi untuk domestik menjadi minim. Tidak heran jika sejumlah pembangkit listrik PLN yang sejatinya berbahan bakar gas terpaksa menggunakan BBM yang harganya lebih mahal. Akibat kekurangan pasokan gas karena Pemerintah lebih memprioritaskan ekspor gas, PLN sempat mengalami kerugian (inefiseinsi) sebesar Rp 37,6 triliun dan penyawaan genset senilai 4 triliun. Hal yang sama juga dialami oleh sejumlah industri pengguna gas baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan baku.
Dari sisi harga energi, khususnya migas, semua dinilai dengan harga pasar yang bersifat fluktuatif kecuali harga BBM yang disubsidi oleh Pemerintah seperti premium, solar dan minyak tanah serta elpiji 3 kilogram. Meskipun demikian, Pemerintah berupaya agar harga komoditas tersebut sesuai dengan harga internasional. Caranya adalah menaikkan harganya sebagaimana yang dilakukan pada bulan Juni lalu.
2. Pendapatan Negara
Saat ini pendapatan APBN yang berasal dari sumberdaya alam khususnya energi terdiri dari pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan PNBP seperti bagi hasil dan royalti. Khusus untuk pajak sektor migas, kontraktor hanya membayar PPh. Kewajiban perpajakan berupa PPN, PBB, dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah semuanya ditanggung oleh Pemerintah. Bukan itu saja, untuk merangsang minat investasi, kontraktor pun mendapatkan fasilitas berupa investment credit. Untuk batubara, untuk model Kuasa Pertambangan dikenakan royalti hanya 3-7 persen, bergantung pada lokasi dan kualitas batubaranya. Untuk PKP2B sebesar 13,5 persen. Pendapatan tersebut tentu saja sangat menggiurkan. Sekadar contoh adalah PT Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009 perusahaan ini hanya menyetor royalti sebesar Rp 3,2 triliun dan pajak senilai Rp 5,9 triliun dari total pendapatan sebesar 25 triliun. Dengan biaya produksi rata-rata US$ perton maka pendapatannya masih Rp 8 trliun. Padahal sekadar diketahui, jumlah IUP batubara jumlahnya sangat besar.
Mewujudkan Kedaulatan Energi
Kondisi energi bangsa Indonesia yang sedang terjajah adalah sebuah fakta yang terang-benderang. Kondisi ini muncul karena jeratan ideologi Kapitalisme dalam pengelola-an sumberdaya alam Indonesia. Karena itu untuk mewujudkan kembali kedaulatan energi perlu ada perlawanan terhadap ideologi yang diterapkan saat ini, yaitu ideologi Kapitalisme. Ini seperti dilakukan oleh Presiden Vladimir Putin dari Rusia yang mampu mengembalikan kedaulatan migasnya dengan melakukan nasionalisasi perusahaan minyak yang selama ini dimiliki perusaahaan swasta, Rusia akhirnya bisa membayar utang dan terbebas dari jeratan Kapitalisme global atau neoimperialisme.
Tentu yang dimaksud oleh penulis bukan kita lantas mengadopsi ideologi Sosialisme seperti yang dilakukan oleh Rusia. Namun, perlu ada perlawanan secara ideologi kalau bangsa ini mau terbebas dari jeratan Kapitalisme global dan mengembalikan kedaulatan energi. Tentu ideologi yang tepat untuk dijadikan perlawanan bagi bangsa ini yang mayoritas Muslim adalah ideologi Islam.
Di sinilah perlunya kita berpikir jernih untuk menerima solusi yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengembalikan kedaulatan migas dan terbebas dari cengkeraman Kapitalisme global dengan solusi yang berasal dari sistem Islam, yaitu syariah Islam yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Langkah-langkah adalah sebagai berikut: Pertama, mengembalikan sumberdaya alam, termasuk energi yaitu minyak, gas dan batubara serta sumber energi lainnya menjadi milik umum yang wajib di kelola oleh negara.
Dalam konsep Islam, sumber energi yang jumlahnya melimpah masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-ammah). Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan bebas korupsi. Lalu seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Ini sebagaimana sabda Rosulullah saw.:
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ: أَنَّه وَفْدَ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ فَقَطَعَه لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِ س: أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاء الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزِعَ مِنْهُ
Abyadh bin Hammal pernah menghadap kepada Nabi saw. dan memohon agar ia diberi bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil berada di daerah Ma’rib. Lalu beliau memberikan tambang itu kepada Abyadh. Namun, tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata, “Tahukah Anda, bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir?” Ibn. Mutawakkil berkata: maka Rasul mencabutnya darinya (HR al-Baihaqi dan at-Tirmidzi).
Rasulullah saw. juga bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاء فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Api, dalam pengertian energi, termasuk minyak dan gas bumi serta batubara dengan demikian termasuk milik umum yang harus dikelola oleh negara. Dengan segenap kewenanganannya, negara bakal mampu mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.
Kedua, efisiensi harus dilakukan di seluruh mata rantai produksi dan distribusi. Bila minyak mentah masih harus diimpor, Pemerintah seharusnya melakukannya langsung, tanpa melalui broker.
Ketiga, pembenahan transportasi publik. Ini karena dari sisi konsumsi, bila transportasi publik dibangun dengan massif, maka konsumsi BBM untuk transportasi dapat ditekan, kemacetan diurai, dan sekaligus polusi dan pemanasan global juga dapat diturunkan.
Keempat, harus segera mewujudkan energi alternatif selain fosil secara serius; misalnya optimalisasi energi terbarukan (geotermal, surya, angin, ombak dan bahan bakar nabati) untuk lebih banyak diusahakan. Potensi geotermal yang 27 GW hampir sama dengan seluruh daya PLN saat ini.
Itulah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mewujudakan kedaulatan energi. Semua itu membutuhkan penerapan syariah Islam dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. [Dr. Arim Nasim/M. Ishak; Lajnah Maslahiyah DPP HTI]
Catatan kaki:
1 Bumi, Buletin SKK Migas, 2 Juni 2013